Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Mamah Dedeh Mengupas Penyakit Masyarakat

18 April 2014   21:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bertetangga kalau terlalu dekat susah-susah gampang. Apalagi kalau tinggalnya didaerah yang 'terbuka' bukan dikomplek, berbaur dengan masyarakat berbagai macam. Lah, punya pohon guede satu-satunya aja diprotes ma nenek seberang jalan, hahaa.

Katanya karena pohon tersebut ada ulet bulunya, cucunya kegatelan. Parahnya, ketika si nenek protes, anak-anaknya yang juga tinggal di sekitar sini ikutan datang marah-marah. Jiahh, perasaan kek didemo satu RT...#hallah...:D

Masalahnye diulat bulu itu doank, hahaaa. Kok tetangga lain,  anak lain, malah kita yang di rumah kagak kena. Kacian dah, calon kupu-kupu ini jadi tertuduh memecah belah  stabilitas RT-RW. Ya sudah, pohon guede yang teduh ini akhirnya dipangkas abis.

Sepele ya? Nah, pas musim pemilu juga  gitu. Padahal ya satu majelis taklim. Tetapi karena beberapa orang dukung capres ma partai A, beberapa orang dukung capres ma partai B, sampe beberapa kelompok gitu, eh sempat diem-dieman, sindir-sindiran, marah-marahan. Lah,  yang didukung malah nyante tuh, hahaa.

Bertetangga dan bermasyarakat itu banyak suka dukanya. Kalau sukanya, kadang dapet kiriman makanan, hahaa.Pagi-pagi aja udah ada yang dateng bawain sarapan. Kalau ada apa-apa juga masih banyak yang bantuin.

Tetapi ya gitu deh, tetap saja persoalan ketidakcocokan bertetangga selalu  ada. Kadang masalah got aja bikin napsu, hehee. Ada tetangga yang cueknya gak ketulungan, ninggiin gotnya, lah air dari got sini jadi gak bisa ngalir. Ketua RT turun gunung baru tuh tetangga ngebenerin gotnya.

Nah mertuaku cerita, beberapa waktu lalu, Mamah Dedeh ceramah dimesjid dekat sini, ke ibu-ibu majelis taklim. Makjleb, ceramah yang dihadiri oleh beberapa guru majelis taklim ini ternyata mengupas tuntas penyakit masyarakat berupa iri-irian, sombong, kebencian, gosip-gosipan gak jelas blass, dan berikut  penyakit turunannya gitu deh.

Termasuk para guru-guru/penceramah lokal yang suka bersaing gak sehat itu habis dikupas oleh Mamah Dedeh soal akhlaknya. Mamah Dedeh memang cablak  kalau sudah omong. Tanpa tedeng aling-aling. Bermasyarakat itu harusnya kalau menganggap semua saudara, ya harus benar, pandangan persaudaraannya. Jangan jegal menjegal, jatuh menjatuhkan. Kudu empati sama nasib orang lain.

Mikirin segala sesuatunya, dampak terhadap tetangga. Tetangga juga ngapain iri kalo sebelahnya punya mobil baru, atau renovasi rumah. Eh,gitu pulang dengerin ceramah, pada berubah loh, haha. Jadi baik, malah ada yang datang ke rumah ngajak salaman minta maaf segala. Mertua ampe bengong.

Mendengar Ibu mertuaku cerita gini, jadi mikir, duh, semoga banyak yang seperti Mamah Dedeh yaa. Mengupas soal akhlak. Bukan berpolitik, atau sekedar fiqh atau ritual. Tetapi substansi hubungan antar manusia. Bukankah Nabi diutus untuk memperbaiki akhlak manusia? Substansi akhlak terhadap lingkungan, masalah kebersihan, masalah standar hidup. Masalah bagaimana bisa menghargai manusia lain.  Menjadi manusia yang utuh, insan kamil.

Apalagi dibulan politik ini, hasutan demi hasutan bisa sampai ke akar rumput dan bisa saja memprovokasi masyarakat untuk saling memusuhi. Padahal emang pengaruh ke hidup loe gitu,  siapa yang nyapres, atao nyaleg. Atau sederhananya, kehidupan orang lain mah gak berpengaruh kali kekebahagiaan kite.

Harapannya, para pemberi ceramah bisa membawa kesejukan ketengah masyarakat, sebagai  unsur pemersatu, bukan pemecah belah. Toh siapapun Presidennya gak kan terhalang kan ibadahnya atau berbuat baik kepada orang lain...jangan malah ikutan membakar, masalah SARA lah, atau memprovokasi hingga akar rumput gontok-gontokan. Karena masyarakat banyak yang masih nurut banget sama yang namanya tokoh agama. Kalaupun memberi saran, kasih aja secara nalar positif-negatifnya, kemudian biarkan masyarakat memilih.

Ah entahlah, semoga oase itu tetap menjadi oase. Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun