Catatan pemerintahan SBY yang paling membanggakan menurut saya adalah tonggak sejarah perdamaian Aceh dan ketika seorang menteri kesehatan 'berjuang' di PBB, agar WHO bisa membuka akses informasi spesimen DNA virus yang dibawa dari negara miskin-berkembang. Karena pidato yang berapi-api ini di WHO, terbuka akses informasi yang sangat berguna bagi negara miskin-berkembang untuk membuat vaksinnya sendiri, jika mampu.
Sementara yang paling gagal adalah karena selama masa 10 tahun pemerintahan SBY, kesenjangan miskin-kaya semakin dalam. Indeks GINI Indonesia tertinggi sepanjang sejarah, sebesar 0,41. Nilai tukar petani juga semakin menurun.
Keberhasilan atau kekurangan masa pemerintan SBY tentu terkait dengan kinerja kementriannya. Nah, selama beberapa tahun ini, saya memang wara-wiri di berbagai kementrian SBY. Bukan sebagai apa-apa sih, tetapi hanya ikutan urun rembuk jika ada masalah yang menyangkut kepentingan publik.
Salah satu indikator yang bisa dipakai untuk melihat apakah suatu kementrian itu baik atau tidak adalah apakah ada akses pengaduan masyarakat di kementerian tersebut. Sebenarnya adanya akses pengaduan ini juga merupakan amanat dari UU Pelayanan Publik no 25. tahun 2009, dilanjutkan dengan PP no. 76 tahun 2013 mengenai Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik.
Jadi, bukan sekedar akses, tetapi bagaimana pihak pemerintah mengelola pengaduan tersebut? Yang paling parah tentu jika bahkan akses no. pengaduannya saja tidak ada atau tidak tersosialisasi dengan baik.
Nah selama ini, yang cukup aktif melayani pengaduan adalah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). BPOM memiliki Unit Pengaduan Layanan Konsumen di no. 021-426 3333, sms ke 021-32199000, email: uplk@pom.go.id. Sementara untuk informasi umum mengenai pangan, termasuk jika ingin mengetahui apakah sebuah pangan kemasan sudah teregistrasi apa belum (legal atau ilegal), bisa dicek di website BPOM di www.pom.go.id
BPOMÂ cukup aktif melakukan surveilans mengenai kualitas pangan jajanan, pangan kemasan, walaupun berdasarkan UU Pangan 2012, otoritas mereka hanya di pangan kemasan. BPOM juga menginisiasi surveilans kesiapan UMKM pangan Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN tahun depan. Dengan surveilans ini, mereka memetakan apa dan kepada siapa pembinaan UMKM bisa dilakukan.
Hanya yang menjadi kelemahan BPOM, koordinasi untuk penegakan hukum, sehingga berbagai kasus keamanan pangan masih terjadi dari tahun ke tahun. Kemudian, koordinasi terkait dengan otonomi daerah, ini juga menjadi kendala yang sulit diatasi. Karena banyak pemda setempat yang memang tidak mengalokasikan anggaran untuk keamanan pangan.
Nah itu BPOM, bagaimana dengan institusi yang lain? Yang jelas jika menyangkut pengaduan telekomunikasi ke kementrian Informasi bakal mentok dah. Yang jadi bempernya biasanya BRTI (Badan Regulator Telekmonikasi Indonesia), tetapi BRTI tidak memiliki otoritas terkait sanksi. Ini hanya lembaga pemberi rekomendasi. Makanya, walaupun kita sudah mengadakan petisi, tekanan gimanapun supaya Kemeninfo tegas terhadap provider yang nakal, tetap tidak ada tuh sanksinya.
Kemudian, dikementrian pertanian juga, dimana saya salah satu otoritas kompeten untuk pangan organik. Kalau dibagian ini, kekecewaan berujung ketika gagal memberi masukan mengenai akses petani kecil untuk mendapat sertifikasi dalam bentuk PGS (Participatory Guarantee System). Kementan juga belum memiliki sistem perlindungan keamanan pangan segarnya yang terakses ke publik. Akses pengaduan pun belum ada.
Bagaimana dengan Kementrian Perdagangan dan Perindustrian (Kemenperin)? Kemendag memiliki program kampanye produk lokal, dan itu sangat baik, tetapi mereka jarang melakukan pengawasan barang beredar di pasar. Makanya jika ada produk ilegal, berbahaya ataupun palsu, sanksi hukumnya sangat lemah.
Koordinasi Kemenperin-Kemendag juga sangat lemah terkait pembinaan, pengawasan produk dari proses produksi (hulu)Â ke hilir. Kemenperin bahkan tidak memiliki akses pengaduan. Kementrian kelautan, kemen PU, kemenkeu, kemenhub, kemenag, kemensos, walaupun saya tidak 'bergaul' langsung, tetapi dari info teman-teman yang terlibat aktif, akses dan pengelolaan pengaduannya juga memang masih lemah sekali.
Banyak manajemen kementrian masih feodal, belum transparan, bahkan masih banyak yang korup. Jadi inget 'berantem' soal tanda tangan kehadiran dengan salah satu staf kementrian gara-gara saya tidak mau tanda tangan 3 hari, sementara acara hanya dibuat satu hari. Ehm, nyebelin emang, sambil miris, mentalnya masih gini. Semoga makin baik dah kedepannya!
Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H