[caption id="attachment_355815" align="aligncenter" width="461" caption="Progres MRT di Sudirman. Foto: Ilyani"][/caption]
Pernah, saya begitu takjub dengan kondisi jalanan Jakarta. Ketika itu habis pulang dari suatu acara di Tangerang, menjelang maghrib, di ketinggian jalan tol yang begitu padat merayap, saya melihat jalan layang tol lainnya di sisi kiri-kanan yang melingker lingker seperti uler dipenuhi oleh mobil pribadi. Padat sekali, dan semuanya mobil pribadi! Merayap lambat seperti keong, sampe saya heran dan bilang ke pak supir. Pak, bisa berapa jam nih di jalan? Ya sekitar 2-3 jam-an deh.
Melihat kondisi itu, betapa tabahnya ya, para pekerja Jakarta. Dari segi energi, waktu, kesehatan, bensin yang terbuang percuma. Kalau nyetir sendiri, mesti gempor dah. Jadi inget seorang ibu yang tinggal di pinggiran Jakarta, membawa mobil sendiri ke pusat kota. Sekarang kakinya sering kram, dan sempat masuk rumah sakit gara-gara nyetir berjam-jam ke tempat kerja.
Berapa banyak bensin yang dibuang di tengah kemacetan? Berapa pencemaran udara yang dibuat? Dan setahu saya, kekuatan jalan tol tidak dirancang untuk kenderaan tidak bergerak? Wah ngeri banget dah kalau terjadi perhitungan yang salah.
[caption id="attachment_355816" align="aligncenter" width="432" caption="Transportasi di Geneva nyaman sekali. Semoga Jakarta bisa gini! Foto: Ilyani"]
Kondisi kemacetan luar biasa ini juga dialami di mulut pintu tol JOR Jatiwarna. Jalan tol dibuat secara komersial, karpet merah untuk mobil pribadi melaju di jalanan. Tetapi kondisi jalanan arteri di luar pintu tolnya tidak dibenahi. Sekarang antrian mobil masuk ke pintu tol Jatiwarna luarbiasa panjangnya. Jarak 1 km dari pintu tol bisa ditempuh hingga 1 jam!
Begitu juga ketika sore, jam padat pulang kerja, kemacetan luarbiasa juga terjadi. Antrian mobil keluar jalan tol dan kemudian beririsan disimpang jalan yang tidak dibenahi dan diperlebar. Persimpangan dekat pintu tol Jatiwarna tersebut disebut persimpangan 'SETAN'. Sering banget terjadi kecelakaan!
Dan sekarang, Ahok menyetujui lagi pembangunan 6 ruas jalan tol! Kenapa tidak fokus dulu membenahi MRT? MRT baru dibangun, dan membutuhkan konsentrasi agar tepat tenggat waktunya. Dan MRT bukan sekedar 2 jalur. Di New Delhi di India yang GDP perkapitanya hanya setengah dari Indonesia alias negara miskin, sudah memiliki 8 jalur MRT.
Yang empetnya kalau mau adu argumen ke Ahok sekarang ini jawabnya, kalo elo gak setuju gak usah milih gue nanti! Lah bukan gitu donk pak Ahok. Bapak juga bisa bikin tulisan di Kompasiana ini argumen mengapa bapak setuju pembangunan 6 ruas jalan tol lagi di Jakarta!
Jakarta itu sudah gawat darurat transportasi publik! Kalau kami yang tidak setuju, selain dari pengalaman empiris (biar rada ilmiah, hehee) sendiri pribadi, beberapa studi menunjukkan betapa tidak efisiennya pembangunan jalan tol bagi suatu kota seperti Jakarta. Sekitar 3-4 bulan jalan tol selesai, biasanya sudah langsung macet lagi.
Yang parahnya, AMDAL 6 ruas jalan tol ini juga belum selesai. Penyusunan AMDAL berdasarkan UU LH no.32 tahun 2009 harus menyertakan masyarakat. Gak bisa diem-diem langsung jebret jadi! Kemudian, berdasarkan PP Mengenai PengelolaanTata Ruang, pemerintah wajib menanyakan masyarakat mengenai pembangunan jalan tol, yang mesti akan berdampak signifikan terhadap tata ruang dan keindahan kota.
Alasan menolak jalan tol, sekali lagi adalah karena:
1. Jalan tol layang tersebut mesti mempunyai titik masuk dan titik keluar. Di titik-titik masuk dan titik keluar ini akan membuat pola tutup botol, tersumbat dengan penumpukan mobil. Jika ruas jalan tol akan semakin banyak, titik-titik penyumbat tutup botol ini juga akan semakin banyak. Logikanya, yang terjadi adalah kemacetan yang semakin parah. Pola ini disebut juga sebagai Induced Traffic.
Di Seoul, jalan tol dalam kota malah dihancurkan, karena semakin menambah kemacetan dan membuat jelek tata kota Seoul.
2. Peningkatan jumlah ruas tol akan membuat peningkatan pula jumlah mobil pribadi yang masuk ke Jakarta. Ini akan menambah polusi udara, kebisingan, merubah tata kota, udara kotor terperangkap di kolong jemabatan layang, dstnya.
3. Pada umumnya warga kota sebenarnya membutuhkan perjalanan jarak pendek, bukan jarak panjang. Jadi tidak membutuhkan tol. Sementara untuk pola komuter dari Bodetabek, sekali lagi efektivitas seharusnya difokuskan pada KRL, APTB (Angkutan Penumpang Terintegrasi Busway), bis-bis serta feeder busway. APTB masih minim sekali, belum mampu memenuhi kebutuhan komuter yang jumlahnya sekitar 3 juta masuk ke Jakarta setiap harinya.
Ini memang program Kemen PU. Dibutuhkan keberanian seorang pemimpin daerah jika memang pembangunan ini tidak baik, ya bilang tidak baik. Seperti Bu Risma yang menolak tol dalam kota, tetapi untuk luar kota, ya silahkan. Sekarang Jokowi yang terpilih jadi Presiden. Please deh, pak Jokowi-Ahok, jangan kasih karpet merah lagi untuk mobil pribadi!
Inget tol dalam kota jadi inget Enrique Penaloasa, mantan Walikota Bogota, Colombia yang bilang,’
“There is no such thing as a ‘natural’ level of car use in a city. There is nothing technical about how much space you should give to cars or to pedestrians. It’s not like you have to ask a transport engineer permission. What is clear is this is a political decision.”
Semoga pak Jokowi-Ahok mempertimbangkan hal ini!
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H