Alasan menolak jalan tol, sekali lagi adalah karena:
1. Jalan tol layang tersebut mesti mempunyai titik masuk dan titik keluar. Di titik-titik masuk dan titik keluar ini akan membuat pola tutup botol, tersumbat dengan penumpukan mobil. Jika ruas jalan tol akan semakin banyak, titik-titik penyumbat tutup botol ini juga akan semakin banyak. Logikanya, yang terjadi adalah kemacetan yang semakin parah. Pola ini disebut juga sebagai Induced Traffic.
Di Seoul, jalan tol dalam kota malah dihancurkan, karena semakin menambah kemacetan dan membuat jelek tata kota Seoul.
2. Peningkatan jumlah ruas tol akan membuat peningkatan pula jumlah mobil pribadi yang masuk ke Jakarta. Ini akan menambah polusi udara, kebisingan, merubah tata kota, udara kotor terperangkap di kolong jemabatan layang, dstnya.
3. Pada umumnya warga kota sebenarnya membutuhkan perjalanan jarak pendek, bukan jarak panjang. Jadi tidak membutuhkan tol. Sementara untuk pola komuter dari Bodetabek, sekali lagi efektivitas seharusnya difokuskan pada KRL, APTB (Angkutan Penumpang Terintegrasi Busway), bis-bis serta feeder busway. APTB masih minim sekali, belum mampu memenuhi kebutuhan komuter yang jumlahnya sekitar 3 juta masuk ke Jakarta setiap harinya.
Ini memang program Kemen PU. Dibutuhkan keberanian seorang pemimpin daerah jika memang pembangunan ini tidak baik, ya bilang tidak baik. Seperti Bu Risma yang menolak tol dalam kota, tetapi untuk luar kota, ya silahkan. Sekarang Jokowi yang terpilih jadi Presiden. Please deh, pak Jokowi-Ahok, jangan kasih karpet merah lagi untuk mobil pribadi!
Inget tol dalam kota jadi inget Enrique Penaloasa, mantan Walikota Bogota, Colombia yang bilang,’
“There is no such thing as a ‘natural’ level of car use in a city. There is nothing technical about how much space you should give to cars or to pedestrians. It’s not like you have to ask a transport engineer permission. What is clear is this is a political decision.”
Semoga pak Jokowi-Ahok mempertimbangkan hal ini!
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H