Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Uniknya Sistem Pemerintahan di Swiss, Eksekutif Paling Stabil di Dunia

10 September 2014   18:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:06 4913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_358350" align="aligncenter" width="488" caption="Simbol Persatuan Swiss. Foto: Ilyani"][/caption]

Ketika saya di Geneva, Swiss, seorang teman, mbak Elsa yang merupakan perwakilan RI di UN nanya, tahu gak kalau di Swiss gini sistem pemerintahannya unik. Lah, uniknya dimana?

Uniknya, pertama, yang jadi Presiden gak satu orang. Tetapi merupakan suatu Dewan Eksekutif (disebut juga Dewan Federal) yang terdiri dari 7 orang. Ketujuh orang ini gantian setiap tahun sebagai Presiden, Wakil Presiden, sisanya sebagai Menteri. Jadi yang ngurus semua kepentingan publik/teknis negara Swiss ya hanya 7 orang ini saja.  Karena posisi 7 orang ini sejajar, bahkan Presiden juga tidak berkuasa atas 6 orang lainnya, maka keputusan apapun bersifat kolektif.

[caption id="attachment_358292" align="aligncenter" width="302" caption="Simbol Persatuan Swiss. Foto: Ilyani"]

[/caption]

Dewan Eksekutif yang 7 orang tersebut merupakan perwakilan (penunjukkan) partai yang memenangkan pemilu, yaitu 5 partai besar di Majelis Federal (Partai Demokrat Konservatif, Sosial Demokrat, Demokrat, Partai rakyat Swiss, Partai Kristen Demokrat. Majelis Federal sendiri terdiri dari Dewan Negara (46 orang) dan Dewan Nasional (200 orang). Dewan Negara yang berhak menunjuk Dewan Eksekutif tersebut, sementara Dewan Nasional bertindak sebagai semacam legislatifnya.

[caption id="attachment_358294" align="aligncenter" width="346" caption="Transportasi publik sangat baik, dan Ada Parkir Sepeda juga. Foto: Ilyani"]

14103218031700450518
14103218031700450518
[/caption]

Yang kedua, sistem pemerintahan Swiss ini yang terlama di dunia. Dilakukan sejak tahun 1848, sistem ini tidak berubah dan memberikan Swiss kestabilan pemerintahan eksekutif jangka panjang, dan termasuk paling stabil di dunia.

Yang ketiga, Swiss menganut sistem referendum terhadap semua regulasi yang menyangkut kepentingan publik. Jadi sebelum diputuskan, dibuka ke publik dan referendum setuju apa gak. Ribet juga yak, tetapi karena penduduk hanya 8 jutaan, dan pake sistem IT, ya jadi tidak ribet.

Jadi pelibatan rakyat secara langsung hanya ketika memilih partai dan referendum yang terkait regulasi kepentingan rakyat. Selain itu, yang menjamin bahwa pemerintahan berjalan demi kepentingan rakyat adalah transparansi proses yang terjadi di parlemen.

Semua sidang bisa diliput oleh media dan diberitakan secara terbuka. Tidak heran Swiss termasuk negara dengan indeks korupsi paling rendah, kemudian juga negara paling stabil dan makmur. Negara ini juga paling netral, gak mau ikut-ikutan perang apapun. Makanya kantor UN juga ada disini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Wah contoh negara Swiss tersebut mesti cocok deh jika Pilkada dipilih oleh DPRD. Gitu kali ya, sebagian orang berfikir. Jangan terburu gitu, masalahnya di Indonesia kualitas anggota dewannya itu loh, seperti apa.

Lagian setiap negara mesti bikin sendiri lah sistem yang terbaik bagi negaranya. Terkait RUU Pilkada, yang  bicara sistem ini bagus apa tidak, jangan anggota Dewan sendiri yang punya kepentingan. Misalnya Golkar. La wong Golkar kurang punya tokoh bagus, selalu menang pemilu (legislatif), tetapi jarang punya tokoh yang menang di pilkada langsung, tentu mengambil keuntungan yang besar dari sistem ini.

Berikan kajian RUU Pilkada kepada ahlinya, ahli tata negara, berdasarkan data empiris selama 10 tahun Indonesia melakukan otonomi daerah (sejak UU Otda tahun 2004). Kajian menyeluruh, termasuk apakah rakyat sudah teredukasi secara baik ketika memilih wakilnya di parlemen atau ketika memilih pemimpin? Atau pembelajaran 10 tahun ini, rakyat bisa semakin 'dewasa' dalam menyikapi pilegda & pilkada?

Kemudian, prediksi konsekuensi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Akankah DPRD menjadi superbody? Kan kalau azas trias politica, yang namanya eksekutif - legislatif - yudikatif itu sejajar dan independen. Gimana mau sejajar dan independen jika yang milih kepala daerah DPRD?

Kemudian, coba opsi lain. Misalnya, gubernur dipilih langsung, otonomi daerah tidak bertumpu di Dati II, tetapi di Dati I. Karena selama ini, dati II (kabupaten/kotamadya) terlalu otonom, koordinasi sangat sulit dilakukan di tingkat daerah provinsi? Tetapi untuk menghindari DPRD Dati II menjadi 'superbody' bisa dilakukan pemilihan oleh stakeholder yang terdiri dari Kemendagri, Gubernur, DPRD Dati II, akademisi, dan perwakilan ormas.

Kalau bisa, kepala daerah tingkat II itu sistem lelang jabatan saja. Buat fit and proper test oleh stakeholder tersebut, dibuka ke publik track recordnya. Terus publik kasih masukan, terutama kalau pernah terindikasi korupsi, melanggar hukum, selingkuh (eh, hehe), dstnya.  Bisa jadi kan? Yang jelas, mau langsung, atau opsi-opsi lain, kaji dengan kepala dingin oleh ahlinya.

Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun