[caption id="attachment_399778" align="aligncenter" width="624" caption="Beras Bulog (Kompas.com)"][/caption]
Sudah jelas bahwa beras adalah kebutuhan pokok rakyat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan, keterjangkauan, kontinuitas, dan keamanannya. Betapa strategisnya beras bagi rakyat Indonesia.
Dan petani yang mengusahakan lahan untuk menghasilkan beras juga seharusnya merupakan kelompok yang wajib dilindungi, diberdayakan sehingga bisa tetap produktif dan memiliki keuntungan yang lumayan untuk menyambung hidupnya. Petani beras ini jumlahnya 14.147.942 rumah tangga (sumber data BPS Sektor Pertanian 2013). Jika satu keluarga asumsinya berjumlah 4 orang, maka yang menggantungkan hidup dari pertanian beras ini berjumlah nyaris 57 juta orang!
Tetapi anehnya, demikian strategis beras ini, tidak ada regulasi setingkat Undang-Undang (UU) yang khusus membahas mengenai beras. Malah diam-diam, DPR telah mempersiapkan RUU Pertembakauan yang sudah masuk prolegnas (program legislasi nasional) di tahun 2015. Ada apa ini?
Padahal, jangankan dibandingkan beras, bahkan dibandingkan kopi, coklat, teh, atau kayu manis, tembakau tidak memiliki nilai strategis memadai. Indonesia dikenal sebagai penghasil kopi, coklat, teh dan kayu manis yang terhitung terbesar di dunia, dengan kualitas terbaik. Tetapi tata kelola komoditas strategis ini masih amburadul.
Jika DPR menghitung masalah cukai yang didapat dari tembakau alias rokok, maka dampak kesehatan bagi ibu hamil, anak-anak, hingga manusia dewasa, baik perokok aktif maupun pasif, apakah dipikirkan oleh anggota DPR? Jelas cukai bisa tinggi, tetapi itu dibayar oleh konsumen rokok (bukan industri), melalui harga rokok yang dibeli konsumen.
Dan kenyataan kesehatan serta kondisi ekonomi manusia Indonesia ini semoga membuka mata anggota DPR yang terhormat:
1. Rata-rata IQ manusia Indonesia setara dengan Laos dan Kamboja, dibawah Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam yaitu 89! Dan sekitar 20 juta anak Indonesia mengalami kekurangan iodium, dengan IQ yang berkurang rata-rata 7-15 poin. Dari beberapa studi yang menunjukkan daerah kecukupan iodium tetapi mengapa tetap terjadi penyakit gondok, dan IQ yang lemah? Analisis sementara (masih asumsi dengan melihat gaya hidup) menunjukkan ada faktor penghambat penyerapan iodium, diantaranya karena ibu hamil, bayi dan balita terpapar rokok atau pestisida dengan sangat intens.
Data lain juga menunjukkan anak-anak Indonesia mengalami darurat gizi yang sangat parah, dimana lebih dari 37% mengalami stunting (pendek), IQ rendah, tubuh lemah dan sakit-sakitan. Sekitar 20% balita mengalami kurang gizi parah, atau 4,6 juta orang balita kurang gizi, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang 18%.
2. Anggaran rumah tangga Indonesia juga tersedot oleh biaya rokok, terutama rumah tangga miskin. Sehingga prioritas strategis keluarga seperti pangan bergizi, sekolah, akses kesehatan, semua tidak dapat terpenuhi, karena memang sudah habis untuk beras dan rokok. Apakah ini yang disebutkan menguntungkan negara dari cukainya? Bukan industri rokok yang menyumbang cukai tersebut, tetapi konsumennya, terutama warga miskin tersebut.
3. Data biaya kesehatan penyakit akibat rokok sangat tinggi, ratusan trilyun rupiah pertahun. Ini termasuk biaya kehilangan produktivitas selama sakit. Jangankan data umum di Indonesia gini, saya pernah ketemu dokter di RS Persahabatan yang menceritakan bagaimana penyakit kanker paru meningkat 4x lipat di RS ini. Kanker paru terutama disebabkan oleh konsumsi rokok.
4. Manusia Indonesia perokok juga mengurangi daya saing masuk ke perusahaan global. Tidak ada perusahaan global yang mau menerima perokok, termasuk membiayai asuransi kesehatannya.
Jika DPR meneruskan menggolkan regulasi ini, sungguh saya gak ngerti bagaimana negeri ini semakin menghancurkan dirinya sendiri.
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H