Upaya melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia menghadapi banyak tantangan. Deforestasi yang digunakan sebagai pembuka lahan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu ancaman terbesar. Di Kalimantan, hutan-hutan yang dulunya lebat kini sudah menjdi area perkebunan yang luas, hal ini menyebabkan habitat alami satwa menyusut.
Selain itu, perburuan liar dan perdagangan ilegal satwa juga masih menjadi masalah besar. Harimau Sumatra misalnya, sering diburu untuk diperdagangkan, sementara burung eksotis seperti burung enggang dijual secara ilegal untuk di koleksi, dan di ambil bulu serta paruhnya.
Tidak hanya itu, perubahan iklim juga memberikan dampak signifikan. Peningkatan suhu global dan perubahan pola cuaca yang mengurangi ketersediaan air, mengancam ekosistem yang sensitif. Banyak spesies tidak mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan tersebut, yang pada akhirnya mempercepat risiko kepunahan.
“Perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati adalah dua krisis global yang saling terkait. Kita tidak bisa menyelesaikan satu tanpa menangani yang lain,” ungkap Rheza maulana.
Berbagai program konservasi telah dilakukan untuk melindungi puspa dan satwa Indonesia. Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah rehabilitasi habitat. Di Kalimantan dan Sumatra, program reforestasi bertujuan untuk menanam kembali pohon-pohon yang telah ditebang, sehingga habitat alami dapat dipulihkan.
Selain itu, kawasan konservasi seperti Taman Nasional Ujung Kulon di Banten telah menjadi tempat perlindungan terakhir bagi badak Jawa. Dengan pengawasan ketat, populasi spesies ini dapat dipertahankan meskipun terdapat tantangan besar yang terus mengintai.
“Teknologi juga memainkan peran penting dalam konservasi,” kata Prof. Satyawan. Penggunaan kamera jebak (camera trap), drone untuk memantau hutan, hingga aplikasi digital untuk melaporkan perburuan liar telah membantu meningkatkan efektivitas pengawasan.
Di sisi lain, masyarakat lokal juga mulai mengambil peran aktif dalam melindungi keanekaragaman hayati. Contohnya, komunitas di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, yang telah membentuk kelompok pengawas untuk melindungi habitat satwa liar dan mencegah perburuan ilegal.
Kesadaran publik juga mulai meningkat. Dengan adanya edukasi tentang pentingnya melestarikan flora dan fauna telah menyasar sekolah-sekolah dan media sosial, sehingga mendorog generasi muda untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
“Masyarakat lokal adalah garda terdepan konservasi. Tanpa mereka, kita tidak bisa melindungi hutan dan satwa liar,” ungkap Dr. Rudi Hartono dalam sesi wawancara di Forum Bumi.
“Melibatkan masyarakat lokal adalah kunci keberhasilan konservasi. Mereka adalah penjaga alam sejati,” tambah Rheza maulana.