"Kamu sudah bangun?"
"Udah ko, nanti ketemu dijalan biasa aja ya dan dijam biasa."
"Oke."
Begitulah kira-kira chat kami setiap hari, begitulah obrolan singkat kami setiap hari. Iya kami aku dan temanku. Aku memiliki seorang teman yang sangat baik hatinya. Dia tak pernah mengatakan hal yang baik-baik saja bahkan dia mengatakan hal jelek sekalipun tentang ku. Dia yang tak pernah meninggalkan ku ketika semua orang meninggalkanku. Dia orang yang bisa membuatku bangkit kembali setelah aku dihempas masuk ke jurang kekecewaan dan kesedihan. Dia adalah seorang yang mampu menemaniku disetiap awal hari demi menerjang jalanan panjang demi menjemput mimpi. Dan dia pula orang yang menemaniku menutup akhir hari dengan masih berjuang menerjang kemacetan jalan yang semakin parah tak karuan. Demi mengantarkan temannya menutup perjuangan. Ah dia pasti akan terbang mengawang ke angkasa jika membaca kata-kata manis dariku tadi.
Karena sesungguhnya aku belum sama sekali pernah menuliskan atau menyinggung tentangnya. Walau aku sering sekali menulis tapi tak pernah aku menuliskan tentangnya. Bahkan dia sudah beberapa kali memintaku untuk membahasnya. Dia tau bahwa aku penulis hebat, dan bisa saja menulsikan tentangnya, bisa saja aku menulis sebuah kisah atau bahkan sebuah puisi tentang keindahan dirinya. Tapi aku selalu menolak jika diminta, susah memang jika menulis atas permintaan. Beda dengan sekarang aku yang menulis karena aku ingin menulis. Sudah ah, dia sudah datang kita lanjutkan tulisannya nanti saja.
"Kamu sedang menulis tentangku bukan?"
"Apa deh? Ko pede banget. Aku kan udah bilang aku males kalo nulis tentangmu neng."
"Katanya penulis hebat kamu ceu, masa nulis tentang aku saja sulit sekali."
"Ah tak ada waktu untukku menuliskan tentangmu."
"Oke baiklah aku menyerah memintamu menuliskan tentangku. Terserah kamu saja ceu. Ohya, nanti pulang sekolahnya agak sore gak papa ya?"
"Gak papa, aku kan nebeng ke kamu neng. Jadi harus aku yang rela menunggumu sampai kapanpun. Bahkan sampai sekolah tutup atau sampai besoknya lagipun aku siap ko."
"Biasa kalo anak organisasi kayak aku kan sibuk. Emang kamu? Hahaha gak ada satupun ekskul yang kau ikuti. Malah kau sibuk sendiri dengan buku catatanmu yang isinya tulisan-tulisan untuk diaplod. Atau dengan laptop kecilmu itu kamu akan membukanya jika kamu sedang semangat kali menulis dan tak pernah dilaptop mu itu ada cerita tentangku."
"Haha iya deh yang sibuk sebagai sekertaris OSIS. Tau ko, gak usah kamu ulang-ulang juga neng. Gak akan menulis tentangmu sudah ku bilang beberapa kali kan?"
"Ya sudah deh, ceu aku masuk kelas dulu ya. Sudah tutup laptopmu belajar yang benar. Jadi penulis terkenal pun tidak, tapi kau sibuk sekali dengan laptopmu."
"Haha iya deh, udah sana. Nanti kena marah gurumu. Kalo aku sih sedang bebas tak ada tugas dan tak ada guru yang ingin mengajar di kelasku."
"Sabar kau ceu-ceu."
Â
Neng, begitulah panggilanku untuk dia teman terbaikku yang sudah aku singgung diawal tulisan. Nama lengkapnya sih "Luptiani Sudrajat" orang biasanya memanggil dia dengan nama panggilan Lupi. Sedangkan aku memiliki nama panggilan tersendiri untuknya yaitu neng. Dia sangat bangga dengan nama Sudrajat di belakangnya karena katanya itu nama dari kakek kakeknya kakeknya. Pusing ya? Aku juga. Intinya itu nama marga keluarga besarnya dia. Aku perlu mengenalkan diriku? Sepertinya perlu karena salah satu yang menjadikan kami dekat adalah nama panggilan kami yang agak mirip. Baiklah perkenalkan namaku Yupi Andara Setya, orang biasa memanggilku dengan nama panggilan Yupi. Tapi neng Lupi memanggilku Ceu, entah kenapa tapi begitu adanya. Bagaimana sudah ada kemiripan bukan diantara nama panggilan kami berdua? Ya begitualah namaku, tak ada yang spesial entah mengapa orang tuaku memberikanku nama itu. Tapi aku senang, bukankah kalian tau Yupi itu adalah sebuah nama permen yang empuk dan manis. Semoga aku menjadi semanis perman itu. Cukup saja sampai situ saja aku memperkenalkan diriku. Kali ini aku serius akan ku berikan seluruh kata-kata ku untuk temanku si neng Lupi.
Teruntuk cinta kasihku Neng Lupi
"Neng, kamu tau? Kenapa takdir menyatukan kita? Bahkan menjadikan kita teman hingga sedekat sekarang? Kalo kamu tak tau, sama aku juga tak tau. Karena untuk apa aku tau. Jika dengan tidak mengetahuinya saja buatku tetap bahagia tanpa duka. Neng kamu inget? Kapan kita pertama bertemu? Nah kalo ini aku sangat-sangat ingat. Kita bertemu di depan gerbang sekolah, saat itu aku diantar oleh ibuku menaiki sebuah sepeda motor butut punya Almarhum Ayahku. Dan aku melihatmu menaiki sebuah motor yang hampir akan menabrak ibuku. Kamu meminta maaf dan beralasan sedang tidak fokus dan memiliki sedikit masalah. Ibuku yang sangat baik itu memaafkanmu. Padahal aku sangat marah dan jijik saat itu ke kamu neng. Bisa-bisanya kau menabrak motor legend milik almarhum ayahku ini. Tapi beruntunglah kamu berkat ibuku yang sebaik itu memaafkan mu. Dan malah menyuruhku menemanimu yang tengah tidak fokus dan galau katanya. Akhirnya untung bahagiakan ibuku aku bersikap manis padamu. Dan ibuku memang selalu mengajarkanku bahwa aku harus selalu baik sama orang, bahkan jika orang itu membuatku kesal bahkan sakit hati. Lalu kita berjalan berdampingan  menuju sekolah baru kita. Kita masih sama-sama culun sebagai siswa baru. Kita duduk dipojokan, sebeum disuruh maju ke depan. Kamu sangat terlihat bahagia bisa ditemani olehku. Akhirnya kamu mengajakku berkenalan dan kita akhirnya berkenalan. Akhirnya kita tau bahwa nama panggilan kita hampir sama hanya beda huruf depannya saja. Sepulang dari sekolah kamu mengejarku di depan gerbang. Menawarkan diri untuk  mengantarkan ku pulang, katanya sebagai ucapan maaf dan terimakasih saja. Aku ya anaknya simpel selama gak merugikan dan malah menguntungkan untukku kenapa tidak. Akhirnya sampai di rumah diantar oleh dia dan dia tiba-tiba meminta nomor hape ku. Entah kenapa dan ibuku menyuruhku memberikan nomorku padanya. Eh besoknya, dia menawarkan diri untuk menjemputku biar bareng ke sekolah katanya. Lagi-lagi ibuku yang menjawab membantu mengiyakan. Jadilah kami setiap harinya berangkat bareng, jadilah dia setiap hari menjemputku ke rumahku. Kata si Neng Lupi alasannya itu karena rumah kita satu arah. Padahal, setelah aku pernah diajak oleh mu ke rumahmu ternyata beda arah dan itu jauh. Apa-apaan kamu membohongiku selama hampir satu bulan perjalanan sekolah kita. Ternyata, untuk sampai ke rumahku, kamu harus melewati jalanan besar yang sesak dengan kendaraan dan bahkan banyak sekali bus-bus besar yang tak ada lucu-lucunya seperti bus tayo di televisi yang lucu bisa tertawa. Mereka hanya memberikan kita asap hitam tebal dan bau, jika tidak pintar menyalipnya pastilah sampai sekolah kita berdua bau dan hitam legam serta kucel akibat semprotan mobil bus besar. Belum lagi jalanan ke sekolahpun hampir sama ramainya dengan perjalanan rumahmu ke rumahku. Akhirnya karena aku tak tega, aku meminta diantarkan ibuku untuk menuju jalan yang terlewati olehmu dan tidak usah menambah jarak jauh ke rumahku. Akhirnya aku memutuskan mengambil jalan tengah jika maumu tetap ingin berangkat bersamaku dan mengantarku bahkan setiap pulangnya.  Kita tidak sama, kamu yang baperan, kamu yang selalu mendramatisir segala sesuatu yang ada dihidupmu, kamu yang selalu bisa ungkapkan bahwa aku adalah berharga buatmu. Sedangkan aku, jauh sekali denganmu, kamu tau aku? Cuek, berteman denganmu saja hanya mengambil manfaat darimu, jahat kan aku? Aku yang selalu menyruhmu untuk tidak cengeng, dan menghadapi hidup ini sesimpel membalikan telapak tangan. Aku yang tak bisa ungkapkan bahwa betapa berharganya juga aku memilikimu yang selalu baik dan sabar. Dan sekarang lewat tulisan ini aku ingin ungkapkan semuanya. Dan bahkan sudah ku ungkapkan, tak usah aku minta maaf kepadamu atas keterlambatanku menuliskan tentangmu. Aku tak akan berterima kasih atas apa yang selalu kamu lakukan ke aku. Aku hanya ingin menamai persahabatan kita dengan nama "Para Penyalip Tayo" karena berkat sebuah perjalanan, berkat menyalip mobil bus besar aku dan kamu hingga batas waktu saat ini."
Lalu aku berikan tulisan ini kepada si  Neng Lupi. Betapa bahagianya dia dan dia betapa tersenyum-senyum sendiri entah kenapa. Sebelum pulang menuju kehidupan yang lebih berbeda diantara kami. Akhirnya kewajibanku sudah usah menulsikan tentang Neng Lupi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H