Mohon tunggu...
Ilvy Nur Dina
Ilvy Nur Dina Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang Ibu Rumah Tangga yang hobi masak dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ancaman Klaim Nine Dash Line (NDL) terhadap Kedaulatan Laut Natuna Utara

13 Mei 2024   20:28 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:25 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepulauan Natuna memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah dengan pemandangan laut yang lepas yang begitu indah serta potensi minyak, gas, penghasil ikan yang melimpah, dan berada di jalur pelayaran internasional yang startegis yaitu diantara Hongkong, Jepang, Korea, Taiwan. Menurut data yang diambil dari website pemerintah kabupaten Natuna, pada kolom profil. 

Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Sumber daya perikanan laut yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatan hanya 36%, yang hanya sekitar 4,3% oleh Kabupaten Natuna.

 Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.

Sehingga tidak mengherankan  jika Cina mengeklaim laut natuna utara sebagai bagian dari laut cina selatan yang merupakan bagian dari wilayahnya. Cina menegaskan atas klaimnya terhadap wilayah utara laut Natuna dengan dasar basis histori Nine Dash Line (NDL) yaitu Peta tutorial yang membubuhkan  sembilan garis putus-putus sebagai penanda atau batas pemisah imaginer  yang digunakan pemerintah cina untuk mengeklaim  sebagaian besar wilayah laut cina selatan. 

Menurut Karmin Suharna, 2012 dikutip dari Majalah Ketahanan Nasional, Edisi 94 hal 33-34, Nine Dash Line (NDL) ini didasarkan pada sejarah kerajaan cina kuno tentang wilayah kekuasaan kerajaan.  Menurut Cina yaitu Dinasti Han yang menemukan wilayah ini pada abad ke 2 M. Pada abad ke 12 Dinasti Yuan  memasukan laut cina selatan kedalam wilayahnya. Dan diperkuat oleh dinasti Ming dan dinasti Qing pada abad ke 13.

Pada tahun 1947, Cina membuat peta yang memuat 9 titik garis putus-putus (Nine Dash Line) yang membentuk huruf U yang melingkupi semua wilayah laut cina selatan. Semua wilayah yang berada  digaris putus-putus tadi diklaim oleh cina sebagai wilayahnya. Pembuatan peta tadi dibuat cina secara sepihak sehingga 9 garis putus-putus yang dibuat oleh cina tadi  timpang tindih dengan wilayah Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) dan landas kontinen Indonesia di laut natuna utara. Hingga akhir tahun 2013 klaim laut cina selatan itu tidak kunjung berubah. Klaim cina tidak hanya diwujudkan dalam bentuk politik namun juga dalam bentuk militer.

Padahal sejak awal terjadi konflik laut cina selatan. Indonesia menempatkan posisinya sebagai negara yang tidak memiliki klaim apapun (Non Climent State). Awalnya Negara-negara yang terlibat klaim dengan Cina terkait wilayah laut cina selatan adalah Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam dan Brunei.  Namun saat ini Indonesia ikut terseret dalam konflik laut cina selatan setelah cina memasukan batas-batas perairan kepulauan Natuna (Laut natuna utara) didalam peta Nine Dashed Line (NDL). 

Berdasarkan sumber dari CNN pada kolom wawancara eksklusif "Indonesia dan Cina di Pusaran Laut Cina Selatan" dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Agus Damos Dumoli Agusman, Indonesia mengetahui Peta nine dash line tahun 1993, saat workshop Managing Potential Conflicts in South China Sea. Delegasi Cina waktu itu mendistribusikan satu peta yang isinya ada nine-dashed line yang masuk sampai perairan Natuna.  Pihak Indonesia mempertanyakan maksud dari garis-garis dalam peta tersebut namun Cina tidak memberikan jawaban pasti perihal garis tersebut. sampai ke insiden pertama di Natuna yang melibatkan Kapal Kway Fey 10078. Cina mengartikulasikan garis itu dalam bentuk nelayan-nelayannya menangkap ikan di Natuna. Indonesia akhirnya merazia kapalnya. Begitu dirazia, China protes dan barulah dia menjelaskan "This is our traditional fishing ground. Sehingga Indonesia protes. Apa itu traditional fishing ground? Tidak ada itu dalam UNCLOS. Sehingga gagasan tersebut ditolak.

Indonesia dengan tegas menolak klaim Cina, mengatakan perairan Natuna 100 persen milik Indonesia, dan karenanya akan mengerahkan semua kekuatan untuk menjaga kedaulatan dari setiap pelanggaran. Pulau-pulau terluar pada gugusan Kepulauan Natuna jadi titik dasar terluar wilayah Indonesia yang telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda 1957 dan didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009 sesuai Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan Ketentuan hukum mengenai laut natuna telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. 

Di dalam bagian Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia telah dicatat titik koordinat yang menunjukkan letak geografis dari laut natuna. Dimana titik - titik itu  sebagai dasar dalam menentukan batas-batas perairan Indonesia serta sebagai dasar untuk menarik Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE) dan Landas Kontinen untuk memiliki kedaulatan dan hak berdaulat. Berdasarkan ketentuan konvensi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) tentang hukum laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak  atas wilayah laut natuna utara, berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE) dan Landas Kontinennya. Definisi Kedaulatan menurut UNCLOS adalah kewenangan penuh atas wilayah (teritority)  yang dalam hal ini meliputi semua wilayah daratan, perairan, kepulauan dan laut territorial. Sedangkan hak berdaulat ini lebih mengarah pada hak yuridiksi bukan territory yaitu hak untuk mengelolah kekayaan alamnya dan negara lain tidak berhak memanfaatkan kekayaan alam itu tanpa izin dari Indonesia.  Seperti yang kita ketahui klaim dan tindakan yang dilakukan cina terhadap laut cina utara bukan mengenai kedaulatan dalam konteks teority namun lebih mengarah ke hak yuridiksi. 

Tidak hanya sekali cina melakukan pencurian di laut natuna utara namun sudah berkali-kali. Dikutip dari sumber berita CNN Indonesia dengan judul "Kemelut Indonesia - Cina di Natuna sepanjang 2016". Dijelaskan bahwa Sepanjang 2016, sedikitnya tiga kali insiden terjadi di Natuna antara dua negara. Kejadian terbaru yaitu Jumat pekan lalu, 17 Juni, saat KRI Imam Bonjol-383 yang sedang berpatroli di perairan itu menerima laporan intai udara yang menyebut ada 12 kapal asing sedang mencuri ikan di perairan Natuna.

Kalau kita lihat kembali hasil putusan dari Permanent Court Of Arbitration mengeluarkan putusan atas gugatan Filipina terhadap Cina perihal Klaim Laut Cina Selatan ini sebenarnya lebih mengarah pada sifatnya mengklarifikasi bukan mengakhiri konflik, namun dengan klarifikasi tersebut bisa menjawab kerancuan yang selama ini terjadi, Permanent Court Of Arbitration dalam putusannya menetapkan : ".... although Chinese navigators and fishermen, as well as those of other States, had historically made use of the islands in the South China Sea, there was no evidence that China had historically exercised exclusive control over the waters or their resources. The Tribunal concluded that there was no legal basis for China to claim historic rights to resources within the sea areas falling within the nine-dash line.  Berdasarkan pernyataan tersebut yang dimaksud adalah meski para pelaut dan nelayan Cina, secara historis pernah menggunakan berbagai pulau di Laut Cina Selatan, tak terdapat bukti kuat bahwa secara historis Cina pernah menguasi perairan tersebut atau sumber alamnya.  Pengadilan memutuskan bahwa tak ada dasar hukum apapun bagi Cina untuk mengklaim hak historis terkait sumber daya alam di lautan yang disebut masuk ke dalam 'sembilan garis batas' . karena seperti yang kita ketahui bahwasanya sebuah negara tidak bisa mengeklaim suatu wilayah maritime diluar ketentuan yang telah diatur pada UNCLOS 1982 pada pasal 121  ayat 1 dimana disitu dijelaskan bahwa sebuah negara tidak dapat mengeklaim fitur maritime sejauh 200 mil jika didalam wilayah maritime tersebut tidak ada fitur maritim yang berstatus pulau dan di Laut Cina Selatan hanya berupa karang sehingga secara tidak langsung klaim Nine Dash Line (NDL) yang diakui oleh Cina secara tidak langsung dinyatakan tidak Sah dan dengan demikian Laut Natuna Utara yang awalnya masuk didalam klaim Nine Dash Line (NDL) menjadi milik Indonesia sepenuhnya.                

Adapun solusi penyelesaian konflik ini adalah Hasil putusan tersebut tentunya menimbulkan Multi tafsir diantara para pihak yang mengeklaim, sehingga penyelesaian konflik klaim laut cina selatan hanya dapat diselesaikan oleh para pihak yang mengeklaim dengan pihak ketiga yaitu  Mahkamah Internasional, Melakukan penguatan  penjagaan militer di wilayah perbatasan laut natuna utara  dan melakukan legal enforcement terhadap illegal fishing dan kapal-kapal asing yang masuk diperbatasan laut natuna utara secara illegal, mengajukan nota protes sebagai bentuk ketidak setujuan akan klaim tersebut, diplomasi untuk menjaga stabilitas politik wilayah ASEAN, Pengadaan dan modernisasi Alutsista untuk menjaga daerah perbatasan, serta  memaksimalkan kembali  pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang ada disekitar perbatasan  laut natuna utara, semisal hilirisasi minyak dan gas, pengolahan kembali hasil perikanan di natuna, dan pengelolahan objek wisata di natuna yang terkenal dengan laut lepasnya yang indah.

SUMBER REFERENSI

https://dinaspariwisata.natunakab.go.id/profil-kabupaten-natuna/

Karmin Suharna, 2012, Majalah Ketahanan Nasional, Edisi 94, hlm. 33-34.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160624092606-75-140606/indonesia-dan-china-di-pusaran-laut-china-selatan

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160621100151-20-139694/kemelut-indonesia-china-di-natuna-sepanjang-2016

https://pca-cpa.org/en/news/pca-press-release-the-south-china-sea-arbitration-the-republic-of-the-philippines-v-the-peoples-republic-of-china/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun