Mohon tunggu...
Ach Khalilurrahman
Ach Khalilurrahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Penulis

Anggap saja begitu

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Evaluasi Pemilu (1): Meringankan Beban KPPS

6 Maret 2024   15:30 Diperbarui: 7 Maret 2024   02:45 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KPPS (Dibuat dengan Bing Image Creator)

Masih ingatkah kita dengan Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2019 lalu yang telah mengakibatkan korban jiwa berupa meninggalnya 894 anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS)? 

Ternyata, hal serupa juga terjadi pada pemilu kali ini. Per tanggal 23 Februari kemarin, tercatat sudah ada 94 anggota KPPS yang meregang nyawa pasca memperjuangkan terlaksananya hajatan pesta demokrasi lima tahunan. Angka ini kemungkinan --semoga saja tidak- bisa saja akan bertambah beberapa hari ke depan.

Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menekan angka kematian ini yaitu dengan cara memberikan batasan usia anggota KPPS di kisaran 17-55 tahun. 

Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya kematian karena faktor usia dan saya rasa cara tersebut cukup efektif. Namun di sisi lain, nyawa tetaplah nyawa. 

Tak ada yang menghendaki kematian walaupun sudah pasti terjadi. KPU harus terus berupaya agar Pemilu tak lagi memakan korban di tahun-tahun berikutnya.

Beban Berat KPPS

Alasan utama dari meninggalnya anggota KPPS adalah kecapekan akibat beratnya beban kerja yang harus ditanggung guna mensukseskan gelaran Pemilihan Umum. 

Selama tiga atau empat hari tenaga dan pikiran mereka diforsir tanpa henti untuk mengerjakan tugas-tugas kepemiluan seperti mendistribusikan undangan kepada warga yang memiliki hak pilih, menyiapkan lokasi TPS berikut logistik dan perlengkapannya, hingga melaksanakan pungut hitung suara. Semua pekerjaan ini harus dilaksanakan secara maraton mengingat terbatanya waktu yang diberikan

Tidak hanya tenaga dan pikiran, KPPS juga diuji mentalitasnya ketika harus menghadapi warga yang ngeyel dengan pendapatnya sendiri. Bahkan tak jarang KPPS harus terlibat cekcok, baik adu mulut maupun fisik dengan saksi, tim sukses, warga, maupun elemen masyarakat lainnya sebab perbedaan pendapat. 

Ketika pikiran atau emosi sudah tidak stabil, ditambah stamina tubuh yang telah jauh berkurang, maka berbagai kemungkinan buruk bisa terjadi, baik itu berupa stres, sakit ringan hingga berat, dan yang paling fatal tentu saja adalah kematian.

Berdasar fakta di atas, penulis kemudian tertarik untuk membuat sebuah tulisan guna memberikan sejumlah opsi agar Pemilu ke depan tidak lagi membebani para penyelenggara tingkat bawah atau KPPS. 

Meski penulis tidak memiliki latar keilmuan dalam bidang Pemilu, pengalaman pribadi yang pernah menjadi KPPS, Pengawas TPS, dan kini staf Panitia Pemungutan Suara (PPS) tidaklah menjadi penghalang untuk turut serta menyumbangkan pikiran menuju Pemilihan Umum yang lebih baik.

Penambahan Anggota

Untuk mengurangi beban kerja KPPS, maka opsi pertama yang bisa diambil adalah dengan menambah jumlah anggota menjadi lebih dari tujuh orang. 

Adapun cara kerjanya nanti bisa diatur seperti ini: tujuh orang KPPS bertugas untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara seperti biasanya, sementara sisa anggota yang lainnya menyiapkan segala bentuk administrasi yang dibutuhkan sehingga tugas-tugas kepemiluan di TPS bisa selesai lebih awal tanpa perlu begadang hingga dini hari.

Atau bisa juga diberlakukan sistem shift, artinya KPPS bekerja secara bergantian. Sebagian ada yang bekerja, sementara yang lain bisa istirahat untuk memulihkan stamina. 

Ketika sudah dirasa cukup, maka anggota yang telah beristirahat bisa kembali bekerja menggantikan temannya yang mungkin sudah capek dan butuh istirahat. 

Dengan cara ini diharapkan tugas kepemiluan bisa terlaksana dengan baik karena panitia yang bekerja dalam keadaan segar-bugar. Namun demikian, ketika terjadi pergantian shift kerja maka harus ada koordinasi yang jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Penambahan Durasi & Pembatasan Jam Kerja

Ilustrasi KPPS (Dibuat dengan Bing Image Creator)
Ilustrasi KPPS (Dibuat dengan Bing Image Creator)

Salah satu hal yang membuat beban kerja KPPS menjadi berat adalah ketika mereka harus beradu cepat dengan waktu. 

Ketika tiba pada hari H, jam enam pagi mereka harus segera berangkat ke TPS. Selang sejam kemudian, mereka mulai membuka proses pemungutan suara hingga nanti jam satu siang. 

Setelah itu barulah mereka memasuki tahapan penghituangan suara dari jam dua siang hingga larut malam karena keesokan harinya logistik harus dikirm ke sekretariat PPS.

Pada opsi kedua, penulis menginginkan agar pungut-hitung suara tidak lagi dilaksanakan dalam satu hari dan KPPS bekerja sekitar delapan jam sehari layaknya pegawai kantoran. 

Nantinya, pemungutan suara akan dilaksanakan sehari penuh dari jam tujuh sampai pukul empat sore, sementara untuk penghitungannya dilakukan pada esok hari dengan waktu dan durasi yang sama. 

Pada waktu selain jam kerja, maka lokasi TPS harus dijaga ketat oleh pasukan keamanan, para saksi, dan masyarakat untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Selain untuk meminimalisir beban KPPS, keunggulan dari opsi ini adalah dapat mengurangi jumlah tempat pemungutan suara karena satu TPS bisa diisi kisaran seribu pemilih. 

Selain itu hari-H Pemilu tidak perlu dijadikan hari libur karena panjangnya durasi pemungutan suara. Instansi pemerintah atau swasta cukup memberlakukan kebijakan kerja setengah hari pada karyawannya agar mereka bisa juga melakukan pencoblosan surat suara.

Pemilu Tiga Kali

Saat ini, ada Pemilu di Indonesia berlangsung tiga kali; Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi,  DPD serta DPR RI, dan ada pula Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pemilukada untuk memilih pasangan calon gubernur dan wakil guberbur, serta bupati atau walikota serta wakilnya. 

Diantara dua jenis pemilihan ini, yang paling  berat bebannya bagi KPPS adalah Pemilihan Umum karena terdapat lima jenis surat suara yang mesti dihitung.

Maka penulis kemudian memberikan solusi agar Pemilu bisa dilaksanakan tiga kali. Yang pertama adalah Pemilu tingkat pusat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI. Yang kedua Pemilu tingkat provinsi untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur beserta DPRD-nya. 

Sementara yang terakhir adalah Pemilu tingkat Kabupaten/Kota untuk memilih Bupati/Walikota dan wakilnya berikut DPRD di daerah tersebut. 

Salah satu keunggulan dari opsi ini adalah calon legislatif tingkat provinsi dan pusat bisa benar-benar turun ke bawah untuk menyapa warga di daerah pemilihannya selama masa kampanye.

Sistem Proporsional Tertutup

Jika solusi pertama sampai ketiga ditolak, maka opsi yang terakhir adalah mengembalikan Pemilu ke sistem proporsional tertutup. Itu artinya, kertas surat suara untuk Pemilu Legislatif hanya akan ada logo partai tanpa nama calon. 

Ketika pemungutan suara, pemilih bakal mendapatkan tiga jenis surat suara; satu untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, satu lagi untuk DPD RI, dan yang terakhir untuk pemilu legislatif yang berisi deretan logo partai.

Dengan cara ini, beban kerja KPPS akan berkurang karena mereka tidak perlu lagi membentangkan plano berlembar-lembar berisikan daftar calon tetap dan hasil perolehan suara calon legislatif ataupun menandatangani ratusan surat suara. 

Dan yang lebih penting lagi, partai politik akan menjadi lebih dekat dengan rakyat karena sudah tidak bisa mengandalkan popularitas calon-calon legislatifnya untuk mendulang suara.

Epilog

Demikian ide-ide yang dapat penulis berikan sebagai bentuk evaluasi atas pelaksanaan Pemilu 2024. Karena hanya berdasar pengalaman dan pengamatan pribadi, tentu saja solusi yang kami tawarkan dalam tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. 

Maka dari itu, besar harapan kami tulisan ini bisa menjadi pengantar awal atau pemantik diskusi tentang kepemiluan agar sistem Pemilihan Umum kita menjadi jauh lebih baik lagi di tahun-tahun mendatang sehingga tidak ada lagi nyawa melayang karena KPPS yang terlalu kecapekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun