Teknologi mutakhir yang dapat melipat jarak dan waktu membuat banyak orang ketar-ketir. Mereka takut pada suatu saat nanti perjumpaan tatap muka akan digantikan silaturahim virtual. Waktu itu orang-orang akan berpuas diri dengan hanya saling sapa di dunia maya namun merasa enggan untuk berjumpa di alam nyata.
Jika memang kekhawatiran itu kelak terbukti, penulis punya pemikiran bahwa Madura adalah kawasan terakhir yang mengalaminya. Nafas silaturahim verbal masih cukup panjang di pulau garam ini. Toh sekalipun pada akhirnya pindah ke virtual, untuk merealisasikannya butuh waktu yang amat panjang mengingat jiwa sosial dan persaudaraan masyarakatnya yang cukup tinggi.
Hari Raya Idul Fitri menjadi bukti betapa kuatnya silaturahim di Madura. Usai menunaikan shalat 'id, orang-orang akan berhamburan mengunjungi rumah sanak familinya. Dan hal ini akan terus berlangsung sampai beberapa hari ke depan. Silaturahim ini baru akan dicukupkan setelah lebaran lewat tujuh atau delapan hari dan ditutup dengan tradisi hari raya ketupat.
Di hari-hari pertama, orang Madura akan mengunjungi rumah dimana orang tua atau sesepuh mereka tinggal. Di hari berikutnya barulah mereka bersilaturahim ke kediaman paman, bibi, serta kerabat-kerabat yang lain. Dalam satu hari orang madura bisa berkunjung hingga belasan rumah. Dalam satu rumah butuh waktu minimal 30 menit untuk bercengkerama dan menikmati hidangan.
Silaturahim ini tak memandang jarak. Asal jalur kekerabatannya jelas dan komunikasi antara kedua pihak lancar, orang Madura akan tetap saling berkunjung. Biasanya mereka akan mengendarai mobil untuk mengunjungi saudara yang berada di lintas kecamatan atau kabupaten bahkan lintas pulau. Nyaris tak ada aktivitas lain di Madura saat lebaran kecuali bertamu atau menerima tamu.
Hal lain yang membuat jalinan silaturahim dari rumah ke rumah ala orang Madura ini akan tetap langgeng adalah kuatnya doktrin dan pembiasaan para orang tua kepada putra-putrinya. Sejak dini, seorang anak sudah diajak bersilaturahim dan dikenalkan dengan familinya. Dan kelak ketika sudah besar dan berkeluarga, si anaklah yang akan menggantikan ayah ibunya bersilaturahim saat lebaran.
Selain dilakukan secara door to door, silaturahim juga dilaksanakan secara akbar dalam bentuk halal bihalal. Halal Bihalal digelar untuk mempertemukan sejumlah keluarga yang memiliki pertalian darah pada satu sesepuh yang disebut dengan Bani. Dari itu maka tak heran bila hubungan famili orang Madura begitu kokoh meskipun secara nasab dan letak geografis sudah sangat jauh.
Tidak hanya dengan kerabat, silaturahim juga dilakukan antar teman. Lebaran dimanfaatkan dengan baik oleh anak-anak muda madura untuk menggelar reuni dengan teman seangkatan saat sekolah dulu dan juga dengan guru-gurunya. Momen ini dianggap pas karena memang kebanyakan penduduk di pulau ini merantau dan baru pulang kampung saat Idul Fitri.
Kepada orang yang sudah meninggal dunia pun, orang Madura tetap tidak putus hubungan. Jadi selain mengunjungi famili yang masih hidup, mereka juga berziarah ke makam pendahulunya. Bahkan, jauh hari sebelum lebaran, kuburan tersebut dibersihkan dari rumput liar yang ada di sekitarnya sehingga nampak bersih dan nyaman untuk diziarahi.
Dari deskripsi di atas, penulis menjadi amat yakin kalau silaturahim secara langsung rasanya akan sulit digantikan dengan teknologi canggih yang beredar saat ini meskipun kami tak memungkiri bahwa segala sesuatu bisa terjadi di masa depan. Lalu bagaimana menurutmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H