Mohon tunggu...
Ach Khalilurrahman
Ach Khalilurrahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Penulis

Anggap saja begitu

Selanjutnya

Tutup

Diary

Aku dan Generasi Muda NU

4 Maret 2022   07:00 Diperbarui: 4 Maret 2022   07:12 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang berteman dengan saya di facebook, tentu kalian tahu kalau saya sering posting status tentang ke-NU-an. Mulai dari dawuh ulama, infromasi, hingga pernyataan sikap tentang isu-isu terkini. Sebagian dari status tersebut saya ambil dari konten komunitas daring bernama Generasi Muda Nahdlatul Ulama. Hanya sedikit yang merupakan murni tulisan saya.

Secara struktural PBNU, komunitas yang saya maksud memang tidak legal sama sekali. Generasi Muda Nahdlatul Ulama bukanlah badan otonom apalagi lembaga di NU. Ia hanyalah komunitas yang tujuannya adalah menyebarkan dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah di dunia maya. Pengurus atau aktivisnya berasal dari kader GP Ansor, IPNU, Banser, dan yang lainnya. Meskipun demikian, organisasi ini memiliki dewan penasehat atau pembina yang diambil dari kyai dan tokoh NU.

Lalu mengapa saya bisa terlibat dalam perkumpulan ini? Apa motivasinya? Jadi begini, setelah melewati tahun 2018 yang cukup berat, medio 2019 keinginan untuk aktif dan mengabdi di Nahdlatul Ulama muncul lagi. Doktrin ke-NU-an yang saya peroleh dari PMII, Pesantren, dan Pelatihan Kepemimpinan Dasar GP Ansor tak akan pernah lekang dalam ingatan. Namun pada waktu itu keinginan tersebut tidak mudah bagi saya untuk mencapainya.

Untuk bisa bergabung dengan sahabat-sahabat yang lain, satu-satunya cara yaitu saya harus ke kantor Majelis Wakil Cabang, kepengurusan NU tingkat kecamatan. Disanalah para kader NU dari berbagai desa berkumpul dan berkegiatan. Jarak dari rumah memang tidak begitu jauh namun akses ke sana agak sulit karena jembatan penghubung yang ada di desa sebelah ambrol. Untuk aktif di kepengurusan ranting juga rasanya sulit karena kegiatannya belum begitu massif, hanya sebagian orang saja yang tahu.

Akhirnya pada suatu hari di sebuah grup Whatsapp, saya menemukan info rekrutmen anggota Generasi Muda Nahdlatul Ulama yang disingkat GMNU daerah Jawa Timur. Saya pun akhirnya memutuskan untuk menjadi bagian dari komunitas yang diketuai Gus Zain Syuja’i ini. Tugas anggota GMNU adalah memposting status dari tim konten dan desain di akun media sosial masing-masing. Sejak saat itulah beranda Facebook saya dipenuhi oleh status tentang NU.

Belakangan, GMNU melebarkan sayapnya hingga ke pulau garam. Komunitas ini bahkan memiliki struktur kepengurusan di empat kabupaten. Saya pun mendapat amanah sebagai wakil bendahara di Sumenep. Tapi saya sama sekali tidak pernah menghadiri rapat dan bertindak sebagai pengurus. Alasannya, GMNU tidak begitu punya banyak urusan untuk diurusi, apalagi soal keuangan. Lagipula, niat saya aktif di komunitas ini juga bukan perkara jabatan.

Meski tugas utama anggota GMNU adalah posting status di media sosial, urusan kuota internet tetap menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing personel. Jangan harap ada subsidi paket atau pulsa dari komunitas meskipun kita sudah rajin unggah status. Hal ini sama dengan kisah Banser yang berangkat nge-PAM dengan biaya bensin sendiri, dan itu sudah lazim di NU.

Soal hujatan di media sosial jangan ditanya. Sejak 2019 hingga sekarang, saya sudah banyak perang komentar dengan akun-akun facebook lain. Sebagian ada yang kenal langsung, namun banyak juga yang tidak. Status pertama yang menuai kontroversi adalah persoalan film The Santri. Saya diserang habis-habisan karena warganet menganggap film itu jauh dari nilai kesantrian. Penghujung tahun 2020 ada lagi serangan seputar Natal dan Tahun Baru meski saya tak berstatus soal itu.

Pada akhirnya di tahun 2020, saya bisa kembali menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama yang struktural. Nama saya masuk dalam struktural kepengurusan GP Ansor, baik tingkat Anak Cabang maupun Ranting. Berkat keahlian menulis yang dimiliki, saya pun juga ditarik menjadi kru situs web di PCNU. Meskipun demikian, saya tetap tidak keluar dari GMNU. Konten-konten dari komunitas ini tetap saya unggah di akun facebook meski sudah tak seaktif dulu.

Alasan saya tetap berada di komunitas ini adalah untuk mengimbangi keaktifan dalam mengabdi di Nahdlatul Ulama. Walaupun sudah memiliki jabatan struktural di NU dan sarana transportasi sudah bagus, saya belum bisa mengabdi sepenuhnya di organisasi yang didirikan para ulama ini. Mengabdi di NU melalui dunia nyata bagi saya amat menyulitkan karena dituntut untuk memiliki mobilitas tinggi ditengah kesibukan tugas di kantor yang juga tak kalah padatnya. Kita harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam tempo yang tidak cukup lama dan itu jelas bukan passion saya yang introvert ini.

Sekitar bulan Oktober tahun lalu, ada mufaraqah dari GMNU Jatim dengan kepengurusan pusat. Mufaraqah ini kemudian melahirkan suatu komunitas baru bernama Gemunu dengan kepanjangan yang sama, yaitu Generasi Muda Nahdlatul Ulama. Ketika harus memilih antara GMNU dan Gemunu, saya memilih yang kedua karena dari sinilah saya memulai ‘dakwah’ di media sosial. Dan sebagai informasi, Gemunu ini diketuai oleh Gus H. Abdul Basith, salah satu cicit KH. Bisri Syansuri, pendiri NU.

Beginilah cerita tentang aku dan Generasi Muda NU, lalu bagaimana dengan kisahmu? Kapan-kapan kita sambung lagi cerita ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun