Bila boleh mengumpamakan, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini tak ubahnya tim sepakbola. Untuk mencapai kemenangan, masing-masing pemain memiliki peran dan tugasnya masing-masing. Para pejabat negara atau pengambil kebijakan berada di lini depan yang bertugas membobol pertahanan lawan. Untuk membantu para penyerang, ada lini tengah yang diisi pengusaha kelas menengah ke atas.
Lini tengah yang biasa disebut gelandang memiliki tugas ganda. Selain membantu penyerang, ia juga harus berkoordinasi dengan pemain belakang yang diisi oleh kalangan menengah ke bawah bila sewaktu-waktu terdapat serangan yang membahayakan. Bila para bek sudah tak mampu menahan laju bola, maka harapan kita satu-satunya adalah pada penjaga gawang moral dan tradisi yang salah satunya adalah pendidikan pesantren.
Pesantren memang bukan satu-satunya kiper yang kita punya. Namun dari sekian banyak penjaga gawang yang ada, sepak terjang serta keahlian pesantren dalam merawat moral dan tradisi bangsa tak perlu diragukan lagi. Melalui kyai dan para santri, pesantren selalu hadir setiap kali bangsa ini terancam. Berkat perjuangan merekalah segala kekayaan budaya negeri ini masih lestari hingga kini sekalipun tim lawan selalu gencar menyerang.
Lalu, apa rahasia di balik prestasi gemilang kaum sarungan ini? Jawabannya adalah strategi dan teknik yang digunakan. Dalam menjalankan tugasnya, pesantren memakai teknik khusus bernama al-muhafadzatu 'alal qadimis shalih wal akhdzu bi jadidil aslah, yaitu melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Artinya, pesantren tidak fanatik dengan budaya bangsa namun juga tidak alergi dengan budaya luar.
Bila ada tradisi lokal yang baik namun mulai tak dilirik, pesantren dengan sigap memodifikasinya agar kembali menarik. Begitu pula jika datang budaya baru dari luar, bila dianggap baik kaum santri akan mengambilnya sesuai kadar. Sebaliknya, pesantren akan melakukan penolakan bila tradisi baru itu justru bertentangan dengan instruksi para pelatih bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, dan produk hukum lainnya.
Berkat strategi inilah banyak pemain lawan bertekuk lutut menghadapi kecerdikan strategi kaum santri. Ketika penjajah Belanda memperkenalkan celana dan dasi sebagai upaya menandingi popularitas sarung, Kalangan pesantren justru memakainya sebagai simbol perlawanan. Dengan mengenakan sepatu, dasi, dan berkopiah, mereka ingin mengatakan bahwa kaum pribumi juga setara dengan bangsa Belanda tanpa harus melepaskan jati dirinya sebagai orang Indonesia.
Begitu pula ketika Jepang berpura-pura merangkul ulama guna memuluskan niat jahatnya menguasai Asia Timur Raya. Berbagai upaya mereka lakukan seperti mendirikan shumubu (departemen agama), Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), dan lain-lain. Alih-alih menolak, para santri dan kyai justru menerima dan masuk di dalamnya dengan tujuan belajar banyak hal guna mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Kaum santri hampir selalu memainkan perannya dalam tragedi-tragedi heroik mempertahankan kemerdekaan Indoneisa. Bahkan, Resolusi Jihad yang difatwakan ulama pesantren telah menjadi stamina pembakar semangat pemain lain untuk menggempur musuh yang kembali ingin menjajah negeri ini. Pesantren juga ikut serta berjuang dalam laga derby melawan warga negara yang berbeda haluan sehingga tendangan keras dari penyerang terbaik PKI, DI/TII, Permesta, berhasil ditepis.
Di balik prestasi yang gemilang, pesantren juga mesti memiliki suka dan duka dalam menggawangi moral dan tradisi bangsa. Beberapa pihak yang merasa risih kerap mengecap pesantren dengan citra yang negatif. Kolot, primitif, bahkan sarang teroris pernah disandangkan pada lembaga pendidikan yang telah ada jauh sebelum proklamasi kemerdekaan ini. Tidak hanya itu, pesantren pernah dijadikan kiper cadangan akibat kevokalannya mengkritik rezim yang tengah berkuasa.
Resiko lain yang diterima kaum santri adalah tidak populer dan cenderung berada di belakang layar. Sebagaimana kita tahu, dalam kesebelasan manapun peran kiper memang jarang disorot. Kesuksesan suatu tim kerap hanya dinisbatkan pada kelihaian penyerang dalam memanfaatkan peluang. Sebaliknya jika mengalami kekalahan, penjaga gawang akan menjadi kambing hitam tempat semua kesalahan bermula.
Demikian pula halnya dengan pesantren. Perjuangan dan pengorbanannya untuk bangsa dan negara memang luar biasa besar sekalipun jarang orang menyorot segala hal yang telah diusahakan. Meskipun demikian, kaum santri tak patah semangat. Mereka tetap setia menjalankan tugasnya menjadi kiper untuk bangsa ini, baik melalui jalur struktural maupun kultural. Tapi hari ini, pesantren seolah memasuki masa keemasannya.
Ibarat pertandingan sepak bola, saat ini pesantren tak lagi hanya berdiri di bawah mistar. Kaum santri mulai menyebar ke berbagai lini, baik depan, tengah, maupun belakang. Orang-orang yang dulu tak suka dengan keberadaan pesantren, kini perlahan sudah bisa menerima bahkan menimba ilmu di dalamnya Namun sekalipun para santri telah menyebar ke berbagai penjuru dan pesantren telah menjadi primadona, ia tetap setia pada tugas utamanya sebagai penjaga gawang bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H