Mohon tunggu...
Ach Khalilurrahman
Ach Khalilurrahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Penulis

Anggap saja begitu

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Indonesia Sudah Halal, Khilafah?

27 Oktober 2021   06:00 Diperbarui: 27 Oktober 2021   06:06 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku      : Dosakah Menjadi Indonesia (Eks HTI Menjawab)

Penulis             : Ayik Heriansyah

Penerbit           : Sang Khalifah

Cetakan           : Pertama, Desember 2020

Tebal Buku      : xiv+120 halaman

ISBN               : 978-623-95047-17

Peresensi         : Ach. Khalilurrahman*)

 

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah memproklamirkan kemerdekaan pada tujuh dasawarsa silam hari-hari ini dipersoalkan oleh sekelompok masyarakat. Sebagai umat Islam, mereka menganggap bahwa negeri ini tak sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut. Alternatifnya, kelompok ini kemudian menjajakan konsep bernegara baru bernama khialafah Islamiyah. Gerakan mereka dapat dibilang cukup masif. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, mereka telah mampu mengajak banyak warga negara untuk bergabung.

Jika diumpamakan dengan virus, paham khilafah ini sudah menjangkiti hampir semua orang dari lintas golongan. Oleh karena itu butuh adanya vaksin yang dapat menangkal penyebaran penyakit jenis ini. 

Dan kabar baiknya, vaksin itu telah terbit dalam bentuk buku berjudul “Dosakah Menjadi Indonesia; Eks HTI Menjawab. Meski tidak sistematis dan akademis, buku ini tetap menjadi bahan imunisasi pemikiran kepada masyaarakat umum sehingga memiliki daya tahan menghadapi narasi-narasi kaum pengasung khilafah.

Penulis buku ini juga bukanlah orang sembarangan. Di masa mudanya, ia telah bergabung dengan banyak kelompok Islam transnasional seperti Jemaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di organisasi-organisasi tersebut, ia selalu diamanahi sebagai orang nomor satu, baik di tingkat kampus bahkan provinsi. Perjalanan hiduplah yang kemudian menuntunnya untuk kembali ke pangkuan Islam tradisionalis dan berjuang bersama di bawah panji Nahdlatul Ulama.

Lewat buku ini, Ayik sejatinya ingin menegaskan bahwa tak berdosa seseorang yang menjadi Indonesia dan dengan lantang berteriak bahwa cinta tanah air bagian dari iman. Bagi pria yang kini menjabat sebagai ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Bandung ini, Indonesia dalam perspektif syariat tergolong ke dalam negara pertengahan (wasathiyah).  Ia berada di antara antiformalitas agama seperti negara komunis ala PKI dan ultraformalitas agama seperti khilafah ala HTI (hal. 71).

Produk hukum yang dihasilkannya pun telah sesuai dengan syariat Islam. Sila pertama pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar pemerintah selaku pihak yang berwenang (shahibul shalahiyah) dalam melakukan ijtihad pengambilan kebijakan. Ketidaksetujuan dan ketidakpuasan kaum radikal terhadap ijtihad politik pemerintah, tidak berpengaruh terhadap keabsahan ijtihad tersebut. Artinya kedudukan syar’i pemerintah sebagai Ulil Amri yang wajib ditaati, tetap kokoh (hal. 72).

Peraturan yang berlaku di Indonesia juga sudah sesuai dengan maksud dan tujuan (maqashid) syariat. Maqashid al-syaria’ah menjadi tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. 

Penyimpangan penguasalah yang menyebabkan maqashid al-syari’ah itu tak kunjung tercapai. Letak permasalahan NKRI pada oknum penyelenggara negara bukan pada konstitusi dan dasar negaranya (hal. 11). Pada kasus tertentu, maqashid al-syariat justru tercapai dengan cara-cara penerapan syariat secara nonformal seperti pada masa khalifah Umar bin Khattab.

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah keberanian dan kepiawaian sang penulis dalam mengungkap fakta. Meski ia pernah bergabung dalam gerbong organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, ia tak segan mengecapnya sebagai khawarij yang telah menjadi agen radikalisme serta merusak sendi-sendi dalam bernegara. Sematan tersebut sungguh beralasan mengingat secara keagamaan dan kenegaraan, HTI telah keluar dari pakem dan kelaziman pendapat mayoritas Muslim dunia (hal. Vi)

Tak cukup sampai disitu, penulis kelahiran Pangkalpinang ini juga membuka kedok kebobrokan sistem khilafah yang diperjuangkan oleh kaum salafis radikalis. Usut punya usut, ternyata khilafah ala minhajin nubuwwah yang mereka gembar-gemborkan tak memiliki landasan yang legal baik dari segi hukum Islam maupun hukum tata negara. lalu pertanyaannya sekarang, lebih haram mana antara menjadi Indonesia dan menjadi pengikut penjuang negara khilafah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun