Mohon tunggu...
Ni MadeSantiani
Ni MadeSantiani Mohon Tunggu... Buruh - Goresan pena

Perempuan yang menyukai fajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tangis Adelia

10 Juni 2020   21:17 Diperbarui: 10 Juni 2020   21:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Adelia, apakah kamu mengenal benda ini?" Tanyanya dengan tangan kanan memegang sebilah pisau dan diangakat ke atas serta memintanya untuk melihat.

Perempuan itu hanya mengegeleng. Tubuhnya kaku. Aku melihatnya hanya memadang lantai berwarna putih. Tak bergeming. Serta memalingkan wajah tidak lagi menghadap hakim tapi ke arah jaksa.

Kedua kalinya hakim menanyakan prihal pisau itu. Ia masih tetap diam. Lama jeda, sebelum hakim bertanya lagi.

"Apakah orang yang duduk di sana, pernah mengancam kamu menggunakan pisau ini?" kata hakim ketua sambil menunjuk ke arah tersangka yang terus memandang perempuan itu dengan tatapan membenci dari tempat duduknya. Ia hanya menggeleng ,mengangguk kemudian menggeleng lagi.

Dua kali hakim terpaksa mengulang pertanyaan untuk memperjelas  jawaban. Lagi-lagi perempuan itu hanya menggeleng dan mengangguk membuat hakim, pengacara dan tersangka tertawa. Melihat jawabannya yang tidak jelas.

Panas! Ada sesuatu di dalam diriku yang hendak meledak. Ingin rasanya aku berlari ke depan mengambil pisau-barang bukti untuk menikam perut laki-laki berpeci yang sedang tertawa. Wajahnya tampak santai dan senang mendengar jawaban yang ngalor ngidul.

Atau memotong alat kelaminnya hingga ia tidak bisa lagi menyalurkan birahinya. Apakah dia memiliki rasa takut? Rasa kasihan? Aku rasa ia sudah mati rasa. Jika tidak mana mungkin ia bisa melakukan aksi bejadnya kepada anak-ank yang lemah dan tergolong justru halus dilindungi.

Sebelum masuk ke ruangan laknat ini. Aku sudah di beri tahu olah jaksa untuk tidak melakukan hal apa pun. Di sini aku hanya menemani dan mendampingi Adelia saja. Meski awalnya aku sedikit kesal melihat pakaian yang mereka gunakan.

"Kenapa semua memakai toga? Bukankah dalam undang-undang di katakan jika pengadilan anak, tidak boleh memakai toga?" tanyaku dengan sedikit jengah.  

"Maaf, karena jam persidangan kami begitu padat. Setelah persidangan ini, kami ada sidang lainnya juga." katanya dengan sedikit penegasan.

"Pokoknya biar sidang ini cepat selesai. Dan si anak bisa langsung diajak pulang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun