Mohon tunggu...
Ilham Paulangi
Ilham Paulangi Mohon Tunggu... Konsultan - Peminat masalah budaya, komunikasi, dan demokrasi.

menulis itu asyik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Genderuwo dan Hiburan Politik

10 November 2018   07:16 Diperbarui: 10 November 2018   12:17 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa bermaksud berpihak  ke kubu manapun, beberapa diskursus politik akhir-akhir ini menarik diikuti dan diamati. Khususnya lontaran metafora politik dari Presiden Jokowi yang saat ini menjadi calon presiden petahana.

Presiden Jokowi sudah melemparkan beberapa metafora politik yang menarik, baik dalam konteks politik nasional maupun internasional. Mulai metafora tentang serial avenger, games of thrones, terakhir tentang politisi sontoloyo hingga genderuwo.

Kalau diibaratkan film, semua tayangannya berhasil,  banjir penonton dan masuk box office. Setelah sontoloyo menghebohkan penonton,  genderuwo ini langsung memecahkan record. Masayakat medsos penuh antusias. Terlepas bahwa bahwa lontaran-lontaran akan diterima sebagai bentuk sindiran oleh pihak tertentu, tapi patut kita lihat sebagai salah satu cara untuk membangun diskursus politik yang menarik dan bisa menciptakan pengaruh.

Mengapa menarik? Ibarat film genderuwo ini  bergenre campuran. Horor,  humor, cerita politik kekuasaannya juga ada. Setidak itu kesan yang bisa kita amati dari pesan-pesan yang terkonstruksi lewat media. 

Horornya karena genderuwo dalam cerita rakyat adalah mahluk halus yang menakutkan. Humornya karena berpotensi untuk membuat kita tertawa, ada kontras antara jaman yang serba digital dengan keberadaan mahluk mitos ini. Menjadi politis karena genderuwo diasosiasikan dengan kelompok manusia tertentu yang berpolitik dengan cara mambuat ketakutan.

Tentunya sangat bisa diperdebatkan, tetapi diskursus politik yang metaforik seperti ini paling tidak, secara relatif sangat baik dan menggambarkan kultur politik kita yang demokratis,  tetapi juga tidak terlalu vulgar. Hal ini jauh lebih sesuai dengan adab kita tentunya yang berbudaya ketimuran.

Dibandingkan misalnya, dengan cara-cara menyerang pribadi, membuka aib seseorang, menyerang dengan kata-kata kasar.  Tentu cara-cara seperti ini relatif lebih halus, santun dan lebih berterima.

Dengan menggunakan metafora politik seperti ini, masyarakat juga dilibatkan secara tidak langsung dalam arena diskursus. Dengan metafora genderuwo misalnya, masyarakat lebih mudah memahami apa yang dipikirkan oleh para kontestan.

Mengapa bahasa dan simbol  metafora lebih mudah dimengerti,  karena metafora berakar dari ruang tradisi dan budaya masyarakat. Cara seperti ini menjadikan komunikasi politik menjadi sangat efektif. Dan tentunya kubu masing-masing, juga punya hak membuat metafor-metafor seperti itu untuk kepentingan mempengaruhi publik.

Disamping itu, masyarakat juga setidaknya bisa terhibur dengan proses politik yang sedang panas-panasnya. Tanpa kehilangan daya kritisnya terhadap situasi politik yang sedang berlangsung.

Jadi kedepan, semua kontestan politik barangkali perlu memperbanyak perdebatan-perdebatan metaforik di ruang publik seperti ini. Tanpa caci maki, tanpa menyerang pribadi, tanpa bahasa vulgar. Agar rakyat bisa berpartisipasi dalam politik dan merasakan demokrasi yang menggembirakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun