Pergolakan mata uang di era post kapitalisme adalah  sebuah keniscayaan. Berita tentang keruntuhan mata uang  pada sebuah negara adalah hal lumrah. Seolah  setiap negara hanya berganti menunggu giliran. Beberapa waktu lalu Argentina, lalu Turki, saat ini Indonesia. Dan berapa banyak negara yang sudah merasakan krisis sebelumnya, tak terkecuali negara maju. Kenapa?
Karena saat ini produksi dan konsumsi sesungguhnya tidak lagi ditentukan oleh nilai guna dan nilai tukar. Tetapi ditentukan oleh nilai tanda. Produk dinilai berdasarkan kesan, hasrat, mimpi dan kepuasan.
Karena itulah produk barang dipasarkan dengan mengaburkan nilai guna dan nilai tukarnya, bergeser menjadi nilai tanda (sign) tadi. Di sinilah akar persoalan yang sebenarnya.Â
Barang diproduksi bukan lagi berbasis pada nilai tukar apalagi nilai guna. Nilai barang tak diukur dari nilai intrinsiknya. Â Tapi barang-barang diproduksi sebagai alat pemuas hasrat.
Mobil, jam tangan, tas, pakaian, dll bukan lagi berbasis pada nilai tukar dan kegunaannya, sebagai kendaraan, sebagai pengukur waktu, sebagai fasilitas kerja. Tetapi mewakili sebuah citra atau kesan atau bahkan ideologi tertentu.
Dalam sebuah sistem ekonomi global, barang-barang didistribusi secara global mengikuti hasrat para pencari tanda. Sebuah jam tangan di Amerika bisa sampai di sebuah pelosok negeri Afrika, karena keinginan seorang pemburu citra. Demikian hal mobil, dari Italia bisa sampai di Jakarta karena dipesan.para penggila realitas semu.
Sistem ekonomi berbasis tanda ini menjadikan dunia kehidupan menjadi sangat rapuh. Sebabnya karena sangat rawan akan pengaruh hasrat akan kesan yang tak terbatas. Nilai guna sebuah barang mungkin hanya 10, tetapi nilai barang sebagai sebuah tanda bisa 1000 kali lipat.
Fenomena ini jelas berpengaruh terhadap sistem perdagangan. Artinya semakin konsumtif masyarakat sebuah negara semakin rapuh negara itu dari sisi ekonomi. Dan juga sangat mungkin menjadikan mata uang negara makin rapuh.
Makanya, bisa dikonfirmasi,  begitu mata uang sebuah negara  jatuh, maka yang berteriak adalah orang-orang kaya. Lalu kebijakan pertama adalah keputusan menahan  laju impor, utamanya barang mewah. Karena sebenarnya problem mendasarnya disana.
Dinamika, relasi dan saling keterpengaruhan secara global tak akan pernah bisa dihindarkan.Apatah lagi diera komunikasi new media yang berbasis internet. Seperti kata Mc Luhan, dunia ini sudah menjadi sebuah global village.Â
Justru karena itulah tak mungkin membatasi transaksi antar negara. Apalagi  dalam perdagangan berbasis online, perdagangan barang-barang mewah sangat mudah. Iklan barang-barang memenuhi layar televisi dan gadget. Bahkan sudah ada situs-situs tertentu yang khusus menawarkan barang-barang  mewah,  yang berbasis tanda tadi.
Untuk mengatasi itu, maka tak terhindarkan terjadilah perang dagang antar negara, yang mengandalkan kebijakan domestik. Untuk mengatasi laju pasar barang-barang yang berbasis tanda tadi, maka kebijakan pajak diberlakukan oleh tiap negara. Terjadi paradoks antara kebijakan perdagangan bebas dan proteksi domestik.
Maka diskursus politik internasional bergeser dari isu politik militer ke isu politik ekonomi dan ekonomi politik sekaligus. Perang fisik dikesampingkan, tapi negara kuat memberlakukan hegemoni pasar melalui sanksi ekonomi.
Kata kunci untuk bertahan dari pertarungan ekonomi berbasis tanda ini, adalah penting nya strategi ekonomi dan kebudayaan. Selain pentingnya memberlakukan pajak yang sangat tinggi pada barang mewah, juga penting kampanye produksi dalam negeri.Â
Politik pencerahan dan penyadaran penting. Kesadaran akan pentingnya produksi dalam negeri, kesadaran untuk tak mengonsumsi barang-barang yang tak  dibutuhkan. Utamanya generasi milenial,  agar tidak terpengaruh dengan mengonsumsi barang berbasis tanda-tanda tadi. Mungkin berat, tapi seperti itu realitas yang sedang dihadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H