lanjutan dari tulisan sebelumnya (klik disini)
Jl. Jend. Jamin Ginting yang padat pun tanpa hambatan, dikarenakan kami diiringi mobil dinas Dompet Dhuafa Waspada yang kala itu sirine dihidupkan membuat arus jalan sedikit terkendali. Walaupun padat merayap, lae sopir tidak canggung lagi dengan laju kendaraan di Jl. Jend. Jamin Ginting itu.
[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Mobil dinas Dompet Dhuafa Waspada Medan"][/caption]
Memasuki jalan yang mulai berliku, hati sudah mulai was-was serta udara yang dingin langsung merasuki ke tubuh ini, tak luput gendang telinga ini pun ikut-ikutan kena dampak dinginnya udara menuju Tanah Karo ini. Lumayan sedikit mengecilkan volume pendengaran kedua telinga ini. Perut yang sudah mulai berdendang pun tak luput memaksa kami berhenti disalah satu Rumah Makan ditepi jalan sekitaran daerah Bandar Baru yang bisa dibilang salah satu tempat bisnis esek-esek dikawasan dingin tersebut. Tapi kami cuma makan di Rumah Makan saja kok, enggak ada niat sedikit pun untuk singgah disalah satu Bungalow yang sedikit menggoda karena panoramanya itu, hemm.
Akhirnya kami sampai juga di kota Berastagi dan menemui Ustadz Didik yang mana salah satu koordintor dari Dompet Dhuafa Waspada serta berdiskusi untuk menyalurkan bantuan yang kami bawa kemana-mana saja. Beliau pun menyarankan untuk sebagian banyak disalurkan ke daerah Tiga Binanga yang mana daerah itu jarang tersentuh bantuan dikarenakan perjalanan cukup jauh dari berastagi kurang lebih menempuh 2 jam perjalanan.
[caption id="attachment_320222" align="aligncenter" width="300" caption="Posko Islamic Centre"]
[caption id="attachment_320225" align="aligncenter" width="150" caption="Posko Desa Sipayung"]
Mendadak lagi nih.(mendadak pidato)
[caption id="attachment_320226" align="alignleft" width="300" caption="Posko Mesjid Agung"]
Ketika itu kami menyalurkan bantuan di posko Mesjid Agung Kaban Jahe, setelah serah terima dan foto bareng pengurus posko serta pengurus BKM Mesjid, lantas saya pun diajak kedalam ruangan mesjid. Dimana para pengungsi lumayan banyak di posko Mesjid tersebut, kurang lebih 730 orang. Pengurus BKM yang bermarga Purba itu pun tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada kami sebagai perwakilan rekan-rekan serta donatur di daerah saya (kec. Bagan SInembah, Kab. Rokan Hilir-Riau). Tidak sampai disitu, pak Purba ini pun tidak segan-segan dalam pidato sambutannya menyatakan kesedian saya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata dari saya yang kebetulan sebagai perwakilan. Alamak, apa yang mau kuucapkan ini, seumur-umur belum pernah dapat kesempatan serta belum ada persiapan untuk berbicara didepan khalayak umum, apalagi sampai 700 orang lebih. Alhamdulillah, ternyata yang namanya mendadak itu kalau diniatkan dengan tulus, Insya Allah akan berjalan mulus. Yup, ternyata saya bisa dibilang non persiapan babarblas, tidak begitu kaku dalam memberikan sepatah dua patah kata untuk para pengungsi di posko Mesjid Agung Kaban Jahe tersebut. Plong rasanya setelah usai.
[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Mendadak pidato, atas permintaan pak Purba (BKM Mesjid Agung)"][/caption]
Sebelum ke Tiga Binanga, mas Ustadz Didik dan teman—teman dari Dompet Dhuafa Waspada pun menawarkan untuk pergi ke kaki gunung sinabung, berhubung kami bawa camera DSLR sayang momen indah ini dilewatkan, kami pun mengiyakan untuk mengabadikan panorama dari balik lensa kamera. Mumpung cuaca mengizinkan dan rasa penasaran akan kondisi desa-desa di kaki gunung sinabung kami pun berangkat dengan mengendarai mobil dinas milik Dompet Dhuafa Waspada tersebut.
Sungguh luar biasa kuasa Illahi akan murkanya, dari radius 3 kilo meter (km) kami coba membidik gunung yang sering batuk beberapa waktu sebelumnya. Pepohonan sudah seperti kena bedak alami dan membeku, putih dimana-mana, dan beberapa tunasan baru pohon keladi serta kol yang sudah kelihatan menghijau kembali. Untung saja ketika kami hadir dan merapat lagi diradius 2 km gunung sinabung tidak menampakkan gejala batuknya, walau suara gemuruh terdengar begitu jelas ditelinga saya yang sedikit membeku ini. Rasa takut pun tak luput menghantui saya yang ketika itu agak jiper(ciut) diradius 2 km dari puncak Sinabung. Udara dingin pun semakin menusuk tulang, walau gunung sering batuk-batuk tidak menyurutkan suhu udara meningkat drastis, malah serasa di dalam ruangan ber AC.
Pepohonan yang seperti kena bedak alami
Pohon keladi yang bertunas lagi, sedikit memberikan warna
Sayuran Kol yang sudah mulai menghijau
Salah satu SMP Negeri di Kecamatan Nemanteran desa Sigarang garang tak luput dari amukan gunung sinabung, beberapa ruangan kelas terlihat porak poranda menandakan hembusan awan panas gunung sinabung cukup dahsyat kala itu. Tak jauh dari sekolahan terlihat perumahan penduduk yang memutih akibat abu vulkanik dan tidak ada tanda-tanda kehidupan diperumahan tersebut. Persis disebelah tembok pagar sekolahan, ada sebuah rumah yang sudah tak berpenghuni, namun tetap dihuni oleh piaran situan rumah, yaitu seekor Anjing yang menyambut kami dengan gonggonannya. Beberapa pohon kol tampak sedang merekah memperlihatkan hijau daunnya diantara warna putih tanah dan tumbuhan lain disekitarnya.
SMPN 1 Naman Teran, desa Sigarang-garang
Ternyata supir mobil Dompet Dhuafa Waspada tetap stand by di mobil dengan meneriakan kami untuk segera kembali kemobil karena kami semakin asyik dengan kamera masing-masing. Karena napas cukup tersita dengan aroma vulkaniknya, serta ada rasa yang menciutkan hati karena suara gemuruh yang seakan mengancam kami, kami pun lanjut meninggalkan radius 2 km dari puncak sinabung.
Gagal ke Tiga Binanga
Sekembalinya dari kawasan Gunung Sinabung, kami pun berunding dengan relawan asal medan yang dimotori oleh Dompet Dhuafa Waspada. Jika hendak melanjutkan ke Tiga Binanga, sepertinya kita tidak punya banyak waktu. Sebab kala itu sudah menunjukan pukul 18.00 wib, dimana waktu tempuh ke Tiga Binanga menurut Sulaiman salah satu pengurus Dompet Dhuafa Waspada menyatakan cukup memakan waktu sekitar dua jam perjalanan.
“ Setidaknya waktu kita tidak sedikit untuk ke sana, dan sepertinya kita tidak bisa menginap dan harus kembali ke kota Medan karena ke esokan hari ada jadwal yang tidak bisa ditunda” ujar Sulaiman.
SMPN 1 Naman Teran, desa Sigarang-garang sebagian ruang kelas hancur
Keputusan pun segera diambil, dan kami sepakat untuk menyelesaikan penyaluran bantuan yang kami bawa dar Provinsi Riau untuk disalurkan di posko sekitaran berastagi dan kaban jahe. Walau sejujurnya ingin sekali ke daerah Tiga Binanga yang mana saya dengar sendiri dari Ustadz Didik, bahwa daerah sana lah yang kurang perhatian dari para donator. Dan sepertinya juga tidak ada tanda-tanda untuk pengarahan kemana-mana saja bantuan yang kita bawa untuk disalurkan, jika hanya daerah Kaban Jahe saja, bagaimana daerah Tiga Binanga disana.?
Karena waktu dan cuaca serta iklim yang dingin, kami pun berencana untuk menginap di Medan, dikarenakan lupa menyisakan selimut yang disumbangkan tadinya, hehe. Dua posko pengungsian pun kami kunjungi antara lain Posko Induk GBKP dan Posko Mesjid Istihrar. Karena waktu yang sedikit serta udara dingin kembali memprovokasi warga kampung tengah (perut) untuk berunjuk rasa.