Mohon tunggu...
Ilmu SejarahA
Ilmu SejarahA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Semarang

Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intrik KAA II: Irelevansi, Pecah Kongsi, dan Konspirasi

13 Juni 2023   22:45 Diperbarui: 13 Juni 2023   22:48 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Pada tengah malam tanggal 8 Mei 1945, Generalfeldmarschall Wilhelm Keitel, beserta para jajaran staf angkatan bersenjata Jerman, menandatangani instrumen penyerahan diri Jerman dihadapan para petinggi militer koalisi sekutu, yang beranggotakan Amerika Serikat, Uni Soviet, Britania Raya, dan Republik Prancis. Penandatanganan instrumen ini, mengakhiri secara resmi konflik bersenjata di Benua Eropa, dan secara efektif, mengakhiri Perang Dunia Kedua di belahan bumi bagian barat. 5 bulan kemudian, pada tanggal 2 September 1945, diatas dek kapal USS Missouri, Jenderal Douglas Macarthur, Panglima Koalisi Angkatan Bersenjata Sekutu di wilayah Asia, menyaksikan Menteri Luar Negeri Kekaisaran Jepang, Mamoru Shigemitsu, dalam upacara penandatanganan instrumen penyerahan diri Kekaisaran Jepang. Perang Dunia Kedua di wilayah Asia, dan belahan bumi bagian timur resmi berakhir.

Dengan menyerahnya dua kekuatan besar koalisi poros, konflik pun akan dilanjutkan diantara koalisi sekutu, dengan dampak yang akan dirasakan hingga setengah abad kemudian. Dalam perjanjian Potsdam yang diselenggarakan dari 17 Juli hingga 2 Agustus 1945, perpecahan antara koalisi sekutu semakin terlihat dengan adanya pembagian wilayah administrasi Jerman, dengan wilayah barat dikontrol oleh Amerika Serikat, Britania Raya, dan Republik Prancis, dan wilayah timur, yang sepenuhnya dikontrol oleh Uni Soviet. Konflik antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, dirangkum dalam pidato mantan Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill setahun kemudian, pada tanggal 5 Maret 1946, dihadapan para civitas Westminster College, Missouri, Amerika Serikat. “Dari Stettin hingga Laut Baltik, dari Trieste hingga Adriatik, sebuah tirai besi telah menutup separuh dari Eropa, dengan kontrol sepenuhnya berada di Moskow.” Babak baru dalam sejarah konflik umat manusia, telah dimulai.

Namun, dengan berakhirnya Perang Dunia Kedua, kekuatan baru pun bermunculan di belahan dunia ketiga, terutama di benua Asia dan Afrika. Kedua benua ini dipenuhi dengan tanah jajahan bangsa barat yang telah datang berabad-abad yang lalu, seperti yang terjadi Asia dengan jajahan Prancis di Indocina, Inggris di India dan Burma, dan Belanda di Indonesia, serta di Afrika dengan perebutan Afrika oleh bangsa Eropa di akhir abad ke-19. Melemahnya negara Eropa setelah Perang Dunia Kedua, memberikan nafas baru dalam pergerakan kemerdekaan bangsa Asia dan Afrika, dan tidak memerlukan waktu lama bagi negara jajahan mereka untuk melepaskan diri dan mendeklarasikan kemerdekaannya. Contoh beberapa negara ini adalah Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pakistan pada 14 Agustus 1947, India pada 15 Agustus 1947, Burma pada 4 Januari 1948, dan Ceylon pada 8 Februari 1948. Kelima negara ini, dengan kesamaan akan penderitaan akan kolonialisme dan imperialisme, menjadi para negara pengusung konferensi bangsa Asia-Afrika dalam menentang dominasi barat.

Konferensi tersebut diselenggarakan di Kota Bandung pada tanggal 18 hingga 24 April 1955. Dunia akan mengenalnya sebagai The Bandung Conference. Kita mengenalnya sebagai, Konferensi Asia-Afrika. Konferensi Asia-Afrika dihadiri oleh 29 negara, yang merepresentasikan 54% populasi dunia pada saat itu. Kebanyakan diantara negara ini, merupakan negara yang pernah mengalami bertahun-tahun akan eksploitasi dari kekuatan imperialisme Eropa. Hasil dari Konferensi Asia-Afrika ini adalah Dasasila Bandung, yang berisi sepuluh poin deklarasi yang mengandung kemerdekaan, kesetaraan, hak asasi manusia, penentangan keberpihakan dalam sisi perang dingin, dan perdamaian dengan menyingkirkan konflik sebagai resolusi masalah antar negara. Inti dari pertemuan masal dari negara Asia-Afrika ini adalah menentang dan mengutuk kolonialisme dan imperialisme, dalam gaya lama ataupun gaya baru. Namun, relevansi akan tujuan dari konferensi ini akan mengalami ujian, keusangan, dan bahkan kegagalan dalam hitungan tahun.

Krisis Suez : Titik Balik Kolonialisme dan Imperialisme Kuno

Setahun kemudian, mata dunia tertuju kepada satu negara di wilayah Afrika Utara, yang terpicu akan suatu krisis internasional mengenai akses antar Laut Mediterania dan Laut Merah. Negara tersebut adalah Republik Mesir. Dibawah pemerintahan Presiden Gamal Abdel Nasser, pada 26 Juli 1956, Mesir melakukan nasionalisasi terhadap Perusahaan Terusan Suez, yang sebelumnya, pemegang saham akan perusahaan ini merupakan bangsa-bangsa Eropa, seperti Britania Raya dan Republik Prancis. Nasionalisasi yang dilakukan oleh Presiden Nasser merupakan gerakan yang legal, karena saham-saham tersebut diakuisisi atau dibeli oleh Mesir, supaya kendali akan Terusan Suez akan sepenuhnya berada dibawah pemerintah Mesir. Namun, sadar akan betapa strategisnya Terusan Suez, Britania Raya, Republik Prancis, dan dengan tambahan negara Israel, bersekongkol untuk mendapatkan kembali Terusan Suez secara paksa.

Ketiga kekuatan tersebut menginvasi Mesir pada tanggal 29 Oktober 1956. Operasi militer yang dilakukan oleh tiga negara tersebut berjalan sesuai dengan rencana. Kesuksesan itu mendorong pihak Mesir untuk melumpuhkan Terusan Suez dengan ditenggelamkannya kapal-kapal yang berada di terusan tersebut. Namun, ketiga negara tersebut, terutama Britania Raya dan Republik Prancis, melakukan kesalahan besar ; mereka tidak mengkonsultasikan operasi militer tersebut dengan Amerika Serikat. Presiden Dwight D. Eisenhower murka dengan dua sekutunya karena akibat operasi militer tersebut, pandangan dunia tertuju kepada intervensi blok barat akan suatu negara yang berdaulat. Padahal, Uni Soviet, dibawah kepemimpinan Sekretaris Jenderal Nikita Khruschev sedang meremukkan demonstrasi besar di Hungaria, negara yang berdaulat pula. Dukungan terhadap Uni Soviet pun menguat di wilayah Timur Tengah, mengingat Mesir adalah negara pemimpin regional tersebut.

Akibat blokade bantuan ekonomi dari IMF, Britania Raya dibawah Perdana Menteri Anthony Eden, terpaksa harus memberhentikan operasi militer tersebut. Republik Prancis, dibawah Perdana Menteri Guy Mollet, menyusul, dan terakhir, Israel pun juga harus mundur. Kedua Perdana Menteri negara yang disebutkan diawal tersebut, satu akan mengundurkan diri dan satu lagi rusak reputasi nya dihadapan parlemennya. Krisis Suez tahun 1956, menunjukkan dunia bahwa, kekuatan dunia lama yang bernafaskan kekuatan kolonialisme dan imperialisme, akan tunduk terhadap perintah negara penganut ideologi Kapitalisme dan liberalisme yang dianut oleh Amerika Serikat, dan atau rival Komunis dan Sosialisme nya, Uni Soviet. Masa kejayaan kekuatan penjajah kuno, telah terbenam.

Indonesia dan India : Saudara Diawal, Menjauh Kemudian

Riwayat hubungan antara India dan Indonesia dapat ditarik pada masa awal kemerdekaan kedua negara tersebut. Pada periode Revolusi Nasional Indonesia, pemerintah transisi India dibawah Jawaharlal Nehru, melarang penggunaan pasukan India dibawah Britania Raya dalam meredam upaya Indonesia untuk mencapai Kemerdekaan. Pada 1946, mendengar laporan bahwa terjadi krisis pangan di India akibat konflik antar agama Hindu dan Islam akibat eksodus masal kedua agama tersebut pada masa awal partisi India oleh Britania Raya, Pemerintah Indonesia yang masih cukup dini, menawarkan bantuan berupa 500.000 ton beras dan 700.000 ton padi kepada India, dengan harapan, setelah India mendapatkan kemerdekaannya akan mendukung pihak Indonesia untuk memenuhi kemerdekaannya pula. Harapan tersebut kemudian terwujud, pada 1947, di tahun yang sama India mendapatkan kemerdekaan dari Britania Raya, India menggelar Pertemuan Relasi antar Asia, guna menekankan bantuan terhadap Indonesia dalam menggapai pengakuan internasional akan kemerdekaan. Puncak dari kedekatan India dengan Indonesia adalah, setelah Yogyakarta jatuh pada tanggal 19 Desember 1948, pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatra Barat. Dengan perandaian jika Bukittinggi juga jatuh ke tangan Belanda, Indonesia akan memiliki pemerintahan dalam pengasingan yang berpusat di New Delhi, dibawah Sudarsono, AA Maramis, dan LN Palar.

Kedekatan Indonesia dan India menjadi salah satu alasan utama mengapa Konferensi Asia Afrika dapat terwujud. Keberhasilan akan bujukan dari Ali Sastroamidjojo kepada Jawaharlal Nehru mengenai urgensi konferensi ini, merupakan kunci penting untuk menggerakkan negara-negara Asia-Afrika untuk hadir. Nehru terbujuk dengan ide konferensi ini karena krisis pulau Quemoy antara Republik Rakyat Tiongkok dengan Amerika Serikat pada September 1954. Nehru menyadari bahwa diperlukannya suatu unjuk kekuasaan dari negara-negara Asia-Afrika dalam satu suara akan kedaulatan dan kemerdekaanya. Tujuan ini tercapai dengan ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat, mereda setelah Zhou Enlai menyampaikan niatan untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat dalam Konferensi Asia-Afrika. Namun, tidak lama kemudian, posisi India dalam memandang urgensi perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme akan berkurang, karena adanya ketegangan di semua titik perbatasannya.

Ketegangan pertama yang dihadapi India adalah mantan rekan meraih kemerdekaanya sendiri. Partisi India dan Pakistan pada 1947 adalah partisi yang sangat berpengaruh hingga hari ini. Partisi ini dilandasi akibat perbedaan agama yang ada di Sub Benua India pada masa kekuasaan Britania Raya, dengan agama yang paling dominan adalah Hindu dan Islam. Pembagian ini menciptakan dua negara baru, yaitu Pakistan yang mayoritasnya beragama Islam, dan India yang mayoritasnya beragama Hindu. Konflik pertama diantara dua negara baru ini adalah Krisis Kashmir pada 22 Oktober 1947, 2 bulan setelah kedua negara ini meraih kemerdekaanya, sengketa akan wilayah Jammu dan Kashmir, menjadi konflik bersenjata pertama diantara Pakistan dan India. Ketegangan diantara kedua negara mantan jajahan British Raj ini, akan berlanjut hingga hari ini.

Ketegangan kedua datang dari tetangga India yang berada di perbatasan utaranya. Setelah aneksasi RRT terhadap Tibet diformalisasi pada 23 Mei 1951, India memiliki tetangga baru di wilayah utaranya. Sengketa wilayah pun tak dapat dihindarkan, terutama pada wilayah Assam dan Aksai Chin. Sengketa ini menjadi berlarut-larut, dan bahkan pada persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika, India menyayangkan keputusan Indonesia untuk mengundang delegasi RRT. Hubungan antara Nehru dan Zhou Enlai sangatlah dingin ketika konferensi dilaksanakan. Konflik antar kedua negara ini meletus pada tahun 1962, ketika kontak bersenjata meletus di wilayah yang disengketakan. India mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, dengan kondisi status quo ante bellum, atau kembali kepada status wilayah sebelum perang. Kekalahan ini mendorong India untuk melakukan modernisasi dalam bidang militernya.

Pecah kongsi antara India dan Indonesia dapat ditekankan kepada dua faktor, yaitu perbedaan pandangan akan kolonialisme dan imperialisme dan perbedaan pandangan mengenai komunisme. India berfokus kepada pembentukan gerakan netral antara negara yang tidak menginginkan untuk mengikuti blok barat dan blok timur dalam ketegangan Perang Dingin. Hal ini dibuktikan ketika India, dibawah Nehru, bersama dengan Mesir dibawah Nasser, dan Yugoslavia dibawah Tito, Ghana dibawah Nkrumah, dan Indonesia dibawah Soekarno, menjadi negara-negara pionir pembentuk Gerakan Non Blok.

Namun, Indonesia dibawah Soekarno, masih sangatlah gencar akan kampanye nya dalam melawan yang Soekarno sebut sebagai Nekolim, atau neo kolonialisme dan imperialisme. Wajar, karena Indonesia harus menghadapi sisa kolonialisme Belanda di wilayah Irian Barat, yang kemudian terwujud sebagai Operasi Trikora. Kegencaran Soekarno akan Nekolim menjadi lebih ambisius, dengan melancarkan Operasi Dwikora, operasi yang dirancang untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaya. Indonesia dibawah Soekarno, juga memiliki kedekatan dengan RRT dimulai dari tahun 1950, menjadi negara pertama yang memiliki hubungan diplomatik resmi dengan RRT. Hal ini didorong juga karena kedekatan PKI dengan Partai Komunis Cina.

Pecah kongsi antar India dan Indonesia, meletus bersamaan dengan pecahnya Perang India-Pakistan kedua pada tahun 1965. Perebutan Kashmir menjadi pemicu konflik kembali. Namun kali ini, Indonesia tidak lagi berdiri sendiri atau berdampingan dengan India, namun berpaling dengan Pakistan. Ironisnya adalah, ketiga negara tersebut merupakan ketiga negara pionir Konferensi Asia Afrika sepuluh tahun lalu. Atas asas kesamaan mayoritas kepercayaan penduduknya, Indonesia mengirimkan “pasukan perdamaian” kepada Pakistan berupa kapal selam, batalion marinir, dan beberapa alutista angkatan udara. Latihan bersama antar kedua negara ini pun dilaksanakan di dekat perairan perbatasan India dengan Pakistan. Keberpihakan Indonesia dibawah Soekarno ini, merusak hubungan diplomatik India dengan Indonesia, dan berpengaruh dengan penyelenggaraan konferensi Asia-Afrika berikutnya.

Awan Gelap Menghantui KAA

Konferensi Asia-Afrika bukanlah suatu konferensi yang mudah untuk diselenggarakan. Dari awal perumusannya, konferensi ini menghadapi banyak ancaman dari pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan kondisi politik regional tersebut berbeda dengan mereka. Amerika Serikat berupaya untuk menggagalkan KAA I dengan berbagai cara. Mulai dari upaya pembunuhan terhadap Zhou Enlai dengan meledakkan pesawatnya atau bahkan meracuni nya. Kedua upaya tersebut gagal. Upaya paling besar oleh Amerika Serikat dalam menggagalkan KAA I adalah pembentukan South East Asia Treaty Organization atau SEATO pada tanggal 23 Februari 1955. SEATO beranggotakan Filipina, Thailand, Pakistan, Britania Raya, Australia dan Republik Prancis. Namun, kegagalan yang diolesi dengan penghinaan terhadap kekuatan barat adalah Filipina, Thailand, dan Pakistan memutuskan untuk menghadiri KAA I di Bandung 3 bulan setelah SEATO dibentuk.

Namun, upaya penggagalan pertemuan negara Asia-Afrika tidak akan berhenti pada tahun 1965. Dalam rangka peringatan sepuluh tahun KAA I di Bandung, konferensi kedua pun dirapatkan dan direncanakan pada tanggal 10-15 April 1964 di Jakarta. Delegasi dari India mengusulkan bahwa penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika kedua, harus dilaksanakan di Afrika, mengingat Asia telah dipakai sebagai lokasi konferensi pertama. Namun, selubung dari usulan India tersebut adalah, karena konflik yang memanas antar India dengan Pakistan dan RRT, dan perpecahan kongsi dengan Indonesia, penyelenggaraan konferensi kedua di Afrika diharapkan akan meminimalisir peran negara-negara yang sedang berseteru atau tidak sepaham dengan India. Aljazair kemudian terpilih sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika Kedua pada Juli 1964.

Persiapan dalam penyelenggaraan KAA II pun dipegang seluruhnya oleh Aljazair, dibawah kepresidenan Ahmed Ben Bella. Ben Bella merupakan salah satu pejuang dari Front Pembebasan Algeria atau FLN yang menjadi presiden pertama Algeria pada tanggal 15 September 1963, setelah Aljazair mendapatkan kemerdekaan dari Prancis. Namun, Ben Bella mendapatkan banyak tantangan dalam kekuasaannya, dikarenakan mendapatkan oposisi dari berbagai pihak, termasuk para ulama, karena kebijakan puritan Islamnya diniliai hanya untuk menenangkan masa, dan front sosialis Algeria. Instabilitas politik dalam negeri Algeria menyebabkan KAA II harus diundur, dari 10 Maret 1965 menjadi 25 Juni 1965. Namun sialnya, pada tanggal 19 Juni 1965, kurang dari seminggu sebelum pelaksanaan KAA II, Ben Bella dikudeta oleh salah satu menteri nya sendiri, Houari Boumédiène.

Dikudeta nya Ben Bella menjadi suatu polemik bagi pemerintah Indonesia dalam merespon KAA II, antara tetap menghadiri atau memboikot konferensi tersebut. polemik ini muncul karena kecurigaan Indonesia akan peran CIA dalam penggulingan Ben Bella. Namun, kesediaan Boumédiène untuk melanjutkan persiapan KAA II, ditambah dengan pernyataan dari Dubes Indonesia untuk Algeria, Asa Bafagih, bernilai positif, Soekarno memutuskan untuk tetap hadir dalam KAA II di Aljazair. Indonesia menjadi negara kedua setelah Suriah dalam mengakui pemerintahan Boumédiène.

Delegasi Indonesia untuk KAA II dipimpin oleh Soekarno dan beranggotakan D.N Aidit dan Karim D.P, berangkat menuju Algier, Algeria untuk menghadiri KAA II pada tanggal 23 Juni 1965. Ketika rombongan Indonesia melakukan Transit di Karachi, Pakistan, mereka mendapatkan kabar bahwa gedung yang akan digunakan untuk KAA II telah dibom dan pelakunya belum diketahui oleh otoritas Aljazair. Rombongan delegasi Indonesia pun tetap melanjutkan perjalanan menuju Kairo. Dimana ketika mereka sampai, Indonesia, Mesir, dan Pakistan membahas nasib KAA II dalam konferensi tingkat kecil. Mereka memutuskan bahwa pelaksanaan KAA II akan tetap berada di Aljazair, namun harus ditunda hingga 4 bulan yang akan datang.

Keterlibatan CIA akan pemboman lokasi pelaksanaan KAA II diungkapkan oleh Supeni Pudjobuntoro, salah satu anggota delegasi Indonesia dalam KAA II, dalam buku biografi nya  “Supeni : Wanita Utusan Negara”.  Dalam buku tersebut, Supeni menyatakan bahwa beliau dihubungi oleh Guy Pauker, seorang penasihat Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat. Guy sedang melakukan peninjauan terhadap gedung lokasi pelaksanaan KAA II dan kemudian berbincang ringan dengan Supeni. Peninjauan ini dianggap biasa, karena sebelumnya pada pelaksanaan KAA I di Bandung, tidak sedikit orang Amerika, terutama dari pihak pers, melakukan peninjauan untuk menjadi pemberitaan di negara asal. Namun, kejutan muncul dua jam kemudian, ketika bom meledak dilokasi pelaksanaan. Konspirasi ini menjadi tudingan kepada CIA dan Amerika Serikat dalam keterlibatannya dalam tindakan terorisme dan penggagalan KAA II di Aljazair.

Namun, pukulan telak terhadap pelaksanaan KAA II adalah Indonesia tidak lagi mampu untuk berantusias dalam pelaksanaan KAA kembali. 30 September 1965 adalah hari berdarah di Indonesia ketika para perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh segerombolan “petualang”, sebagaimana yang dikatakan oleh Soeharto, yaitu Gerakan 30 September. Peristiwa ini memicu periode instabilitas nasional Indonesia, dan berujung kepada tumbangnya kepresidenan Soekarno pada tahun 1966.

Referensi

Ahmed, M. (1955). BANDUNG CONFERENCE. Pakistan Horizon, 8(2), 362–366. http://www.jstor.org/stable/41392181

PARKER, J. (2006). Cold War II: The Eisenhower Administration, the Bandung Conference, and the Reperiodization of the Postwar Era. Diplomatic History, 30(5), 867–892. http://www.jstor.org/stable/24915050

SHIMAZU, N. (2014). Diplomacy As Theatre: Staging the Bandung Conference of 1955. Modern Asian Studies, 48(1), 225–252. http://www.jstor.org/stable/24494187

Burke, R. (2006). “The Compelling Dialogue of Freedom”: Human Rights at the Bandung Conference. Human Rights Quarterly, 28(4), 947–965. http://www.jstor.org/stable/20072773

Acharya, A. (2014). Who Are the Norm Makers? The Asian-African Conference in Bandung and the Evolution of Norms. Global Governance, 20(3), 405–417. http://www.jstor.org/stable/24526222

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun