Filosofi teras juga mengajarkan kita mengambil jeda untuk berdialog dengan diri sendiri. Ya nggak harus sampai semedi atau meditasi juga. Saat kita mendapati suatu hal yang nggak kita sukai atau yang bikin kita kesal atau marah, pertama sekali kita boleh kok punya emosi itu. Kita boleh kesel, merasa marah, merasa jengkel, boleh. Kita kesel sama komen-komen jahat haters misalnya, nggak apa-apa kita kesel. Itu manusiawi, itu natur kita sebagai manusia.
Tapi yang perlu kita lakukan saat kesel atau sebel itu adalah ngasih waktu ke diri kita untuk berpikir. Berdialog dengan diri kita sendiri. Hal ini bikin kita nggak reaktif, nggak jadi orang emosian. Filosofi teras akan ngomong sama kita "kalem, tenang", kita nggak bisa ngendaliin mulut atau jempol orang lain. Tapi kita bisa ngendaliin reaksi, respon kita. Mau terus bales-balesan kata-kata menyakitkan, marah-marah tanpa ujung, atau kalem, senyumin aja.
Mental health banget kaaan..!
Itu baru sebagian "cuplikan" dari buku setebal 298 halaman ini. Masih ada pembahasan tentang mengendalikan interpretasi dan persepsi, memperkuat mental, hidup diantara orang yang menyebalkan, menghadapi kesusahan dan musibah, menjadi orang tua, citizen of the world, tentang kematian, dan mempraktikkan filosofi teras.
Pokoknya, buku ini must have item dan layak sekali untuk teman-teman baca. Karena emang sebagus itu untuk kesehatan mental kita. Meski berasal dari 2300 tahun yang lalu, filosofi teras ini timeless banget. Melintasi zaman dan sekat-sekat negara.
Yuk baca. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H