Namun buku yang akan saya review kali ini akan membuka kembali pikiran kita dalam memaknai filsafat dan "menemukan" diri kita lewat filsafat itu sendiri.
Kali pertama saya mendengar nama filsafat ini, saya bingung. Teras? Pikiran saya mentok pada teras rumah tempat kita menghabiskan waktu sore hari menikmati teh atau bergurau dengan teman sambil mengomentari orang lewat. :D. Sebatas itu pemahaman saya tentang teras. Lalu apa hubungannya filsafat dengan teras? Bukannya filsafat itu mengacu pada aliran-aliran pemikiran seperti perenialisme, esensialisme, progresivisme, rekonstruksionime dan isme-isme lainnya? Lah teras? Saya belum pernah dengar filsafat terasisme nih. Sekali lagi, hehe.
Ternyata kata teras ini diterjemahkan dari bahasa yunani, stoa. Stoa berarti sebuah teras yang berpilar. Seorang filsuf mengajarkan filosofinya di sebuah teras berpilar yang terletak di sisi Utara dari agora (tempat publik yang digunakan untuk berdagang dan berkumpul). Semacam nongkrong, ngobrol-ngobrol di alun-alun Kota Athena. Sejak itu pengikutnya dinamakan kaum stoa dan ajarannya disebut stoisisme. Dan untuk memudahkan penyebutan, penulis buku ini memutuskan menerjemahkan stoa sebagai teras. Dan jadilah Filosofi teras seperti judul buku ini. Gituuuu...!
--------------------------
      Buku ini diawali dengan sebuah hasil survey online dengan 3.634 responden, tentang tingkat kekhawatiran mereka pada beberapa aspek hidup yang dirasa relevan seperti sekolah/studi, relationship, pekerjaan/bisnis, sampai topik kondisi sosial politik di Indonesia. Karena pikiran dan kesehatan tubuh memiliki hubungan dua arah yang saling memengaruhi, maka bab ini juga memuat wawancara dengan seorang spesialis kesehatan jiwa yang tergabung dalam Academy of Psychosomatic Medicine (USA), Dr.Andri, Sp.KJ, FAPM.
Buku ini memuat 13 bab. Mulai dari Survei Khawatir Nasional hingga Mempraktikkan Filosofi Teras.
Filosofi teras bermula dari kejadian naas yang menimpa seorang pedagang kaya dari Siprus bernama Zeno, 300 tahun sebelum masehi. Ya kira-kira 2.300 tahun yang lalu. Kapal yang membawa si pedagang beserta barang-barang berharganya ini karam. Si Zeno kehilangan kekayaannya plus terdampar pula di Athena. Sehingga ia luntang-lantung di kota yang bukan rumahnya.
Jadi suatu hari, dia pergi ke toko buku dan ketemu sebuah buku filsafat. Terus dia nanya ke pemilik toko buku dimana kira-kira dia bisa ketemu para filsuf yang nulis buku filsafat itu. Kebetulan, lewat Crates, seorang filsuf dan Zeno pun belajar filsafat darinya. Singkat cerita, pak Zeno ini belajar filsafat pada banyak filsuf. Sampai disuatu waktu dia ngajar filosofinya sendiri. Ngajarnya di teras berpilar yang terletak di sisi Utara Agora (tempat publik yang digunakan untuk berdagang dan berkumpul). Nah, dulu pengikutnya pak Zeno ini, disebut Zenonian. Kemudia seiring waktu mereka menjadi orang-orang stoa.
Inti ajaran stoisisme ini adalah ajakan untuk selaras dengan alam dan manusia. Eits, tapi perlu diingat, bahwa alam yang dimaksud disini bukan hanya alam lingkungan "jangan pakai sedotan plastik", "daur ulang", atau perihal "jangan buang sampah sembarangan". Tapiii, alam secara keseluruhan. Totalitas, Cosmos dan seluruh kehidupan yang ada. Bagi kaum stoa, selaras dengan alam berarti selaras dengan Tuhan, juga selaras dengan manusia yang artinya harmonis dengan orang lain. Stoa mengajarkan selaras dengan alam itu harus menggunakan nalar.
Pemikiran punya posisi "kunci" dalam filsafat ini. Cara untuk selaras dengan alam, adalah "pakailah nalarmu". Banyak masalah dalam hidup manusia, baik itu pertengkaran, kekhawatiran, kecemasan, julid di medsos, baper, cepat panik, marah-marah liat postingan, atau apapun itu, akarnya adalah dari tidak menggunakan nalar.