Mohon tunggu...
Muhammad arifiyanto
Muhammad arifiyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Wirausaha yang menyalurkan hobinya dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesaksian Sehelai Sajadah

8 Agustus 2024   05:14 Diperbarui: 8 Agustus 2024   07:53 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://www.kibrispdr.org

Kesaksian Sehelai Sajadah

Aku adalah sehelai kain panjang berbentuk segi empat, yang biasanya terhampar di lantai. Mungkin sebagian orang menganggapku tidak berguna, namun aku tahu bahwa pengaruhku terhadap kehidupan sangat besar. Dulu, mereka selalu berdiri, rukuk, bahkan sujud di atas diriku. Kini, aku ditinggalkan dan disingkirkan, tersimpan rapat di dalam lemari, di antara tumpukan baju yang sulit untuk menemukannya.

Suara musik jedag jedug, riang gembira, dan minuman memabukkan kini lebih menarik perhatian mereka. Mereka bergoyang dan berjoget, berusaha menghilangkan gundah gulana dengan cara itu. Namun, masalah mereka semakin banyak, stres semakin bertambah, dan ironisnya, mereka justru semakin menjauh dariku.

Baca juga: Desa Keinginan

Dulu, aku selalu dipakai dan diberi wewangian. Aku dibawa ke masjid, ke mushola. Mereka sujud lama di atas diriku, meneteskan air mata, memohon ampun kepadaNya. Aku menjadi saksi saat mereka membacakan ayat suci, membuat suasana menjadi sejuk, dingin, dan tentram. Mereka melantunkan sabdaNya dengan merdu. Sungguh damai hati ini mengingat keadaan saat itu.

Namun sekarang, aku sudah tidak dianggap. Aku tersimpan di tempat yang sulit dijangkau, tidak lagi beraroma harum seperti dulu.Alunan  ayat suci yang menyejukkan telah tergantikan dengan musik yang memekakkan telinga. Sujud yang lama dan penuh khusyuk telah berubah menjadi langkah-langkah dansa yang kosong makna. Aku lusuh, aku berdebu.

Salah satu dari mereka, seorang pemuda bernama Ali, pernah begitu rajin menjalankan ibadah. Setiap hari, dia selalu menggunakan diriku untuk shalat. Setiap sujudnya terasa begitu dalam, setiap doa panjangnya terdengar begitu tulus. Bacaan ayat sucinya mengalun lembut penuh kekhusyukan. Membilang tasbih, menafakkuri diri di atas hamparan diriku.

 Tapi sekarang, Ali jarang sekali menggunakan diriku. Dia lebih sering keluar malam, mengikuti teman-temannya ke tempat-tempat yang penuh dengan gemerlap cahaya dan suara bising.

Ada kalanya Ali duduk di kamar, memandangku dengan tatapan kosong. Aku tahu ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ada nyeri tak terperi terpendam dalam. Segala nestapa menggayuti kedua bahunya. Kadang, dia membuka lemari, melihatku sejenak, lalu menutupnya kembali. Rasa rindu akan ketenangan yang pernah dia rasakan mungkin masih ada, namun godaan dunia luar terlalu kuat untuk dia lawan.

Satu malam, Ali pulang dalam keadaan mabuk. Dia terhuyung-huyung masuk ke kamar, matanya merah dan penuh kebingungan. Dia jatuh terduduk di depan lemari, tangannya bergetar saat mencoba membuka pintu lemari. Akhirnya, dia berhasil mengeluarkan diriku. Dengan gemetar, dia membentangkan aku di lantai.

"Apa yang telah aku lakukan?" gumam Ali, suaranya serak. Dia menunduk, air matanya mulai mengalir. Merembes ke diriku. "Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang berdosa, ini terlalu berat bagi hamba yang dhaif ini, ya Rabb. Biarkanlah hamba senantiasa yakin akan kemurahan Mu, kembalikanlah kedamaian dalam hatiku."

Ali bersujud di atasku, tubuhnya berguncang. Air matanya semakin  deras mengalir. Alunan tangisnya terdengar seperti bisikan lirih yang putus asa. Hatinya terasa hampa, seolah dunia telah kehilangan warna dan makna, hanya kekosongan yang menyesakkan. Dalam sujudnya, dia memohon ampun, meminta petunjuk.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasakan kedamaian. Tapi, aku tahu ini bukan akhir dari perjalanannya. Godaan dunia luar masih menantinya, dan aku hanya bisa berharap dia akan menemukan jalan kembali.

Malam itu, Ali tidur di atas diriku, memelukku seakan aku adalah pelindungnya. Aku bisa merasakan denyut nadinya yang tenang, berbeda dari malam-malam sebelumnya. Di sekitarnya, suasana kamar yang biasanya penuh dengan kebisingan musik kini hening, seolah ikut merasakan ketenangan yang Ali temukan.

Ketika fajar mulai menyingsing, sinar matahari pertama masuk melalui jendela kamar, menyinari wajah Ali yang masih tertidur. Perlahan-lahan, matanya terbuka, dan dia menatap sekeliling dengan bingung sejenak, sebelum akhirnya mengingat apa yang telah terjadi malam sebelumnya. Ali bangkit perlahan, duduk di atas diriku dengan wajah yang penuh kelelahan, tetapi juga ketenangan yang baru.

Ali mengambil wudhu dengan air dingin yang menyegarkan, lalu kembali ke kamarnya. Dia berdiri di atas diriku, dengan penuh khidmat memulai shalat Meski waktu shalat telah lewat, Ali merasa ada yang harus dia lakukan untuk kembali menata hidupnya.  Setiap gerakan shalatnya begitu tenang dan mendalam, seolah dia menemukan kembali hubungan yang hilang dengan Tuhannya. Suara doa yang panjang  dan zikirnya terdengar lembut, menyatu dengan udara pagi yang segar.

Setelah shalat, Ali duduk bersila di atas diriku, memejamkan mata dan berzikir. Bibirnya terus berbisik memohon ampunan dan petunjuk. Wajahnya yang tadinya terlihat penuh beban kini tampak lebih ringan, lebih damai. Sejenak, dunia luar dengan segala gemerlap dan godaannya terasa jauh, tergantikan oleh kedamaian batin yang baru saja dia temukan kembali.

Namun, dunia luar tidak mudah melepaskan cengkeramannya. Teman-teman Ali terus mendesaknya untuk kembali bergabung, menawarkan hiburan yang memikat. Ali merasa goyah, kadang-kadang terlihat ragu. Tapi setiap kali dia merasakan godaan itu, dia ingat malam penuh kedamaian di mana dia tidur di atas diriku, dan itu memberinya kekuatan untuk bertahan.

Hari-hari berlalu, dan perlahan tapi pasti, Ali mulai kembali ke rutinitas ibadahnya. Meski tidak setiap hari, dia mulai lebih sering menggunakan diriku untuk shalat. Setiap kali dia sujud, aku bisa merasakan beban hatinya yang perlahan-lahan terangkat. Dia mulai menemukan kembali kedamaian yang dia cari, meski jalan yang harus dilalui masih panjang dan penuh tantangan.

Malam itu telah menjadi titik balik bagi Ali. Meski perjalanannya belum selesai, dan godaan dunia masih terus mengintai, Ali kini memiliki kekuatan baru untuk melawan. Dia tahu bahwa aku, sehelai sajadah yang pernah dia abaikan, akan selalu ada untuk menyambutnya, mendengarkan doanya, dan menjadi saksi atas setiap langkah pertobatannya.

Aku tetap di sini, menunggu dengan sabar, berharap suatu hari nanti Ali akan benar-benar menemukan jalan kembali sepenuhnya. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu siap menerima sujudnya, mendengar doanya, dan menjadi saksi atas perjuangannya untuk menemukan kedamaian yang sejati.

Probolinggo,  07082024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun