Mohon tunggu...
Ilmel  Wialmal
Ilmel Wialmal Mohon Tunggu... Lainnya - pribadi

ada

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Takdir Memihak

10 Februari 2021   22:14 Diperbarui: 15 Februari 2021   05:43 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Hangatnya kekeluargaan
Matahari di upuk timur sudah mulai tenggelam, artinya hari sudah larut dan sore akan berganti malam. Angin kencang terasa sejuk sebagaimana keadaan perkampungan yang seharusnya. Anak-anak kampung mulai berpamitan untuk pulang setelah bermain seharian.
"Tia, apakah pekerjaan menjahit mu sudah selsai?"

Suara ibu mengagetkan ku ketika aku sedang melamun di halaman depan melihat suasana sore hari.
"Sudah bu, aku sudah menyelsaikannya dari siang hari".

"Kalau begitu sekarang kita sholat magrib bersama lalu kamu bantu ibu menyiapkan makanan untuk kita makan malam".

Aku hanya mengangguk dan beranjak untuk sholat maghrib.

Namaku Tiara diananta. Aku tinggal dengan ibu dan kedua adikku. Sekarang aku berumur 18 tahun adikku yang pertama bernama Abinaya Sulaiman berumur 15 tahun dan adikku yang paling kecil berumur 7 tahun bernama Tasya Kamila. Ayah kami meninggalkan kami ketika Tasya masih berusia 3 tahun. Entah kemana dia pergi yang jelas dia tidak pernah menafkahi kami semenjak dia meninggalkan kami. Semenjak ayah pergi, ibu sakit dan tidak kuat lagi untuk bekerja. 

Akhirnya ibu memutuskan untuk bekerja menjadi seorang penjahit. Supaya ibu bisa melakukan pekerjaanya di rumah dan aku beserta kedua adikku bisa membantu pekerjaannya. Aku hanya tamatan SD saja karna ketika itu ibu tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkanku. Tetapi Abi tidak aku izinkan untuk berhenti sekolah, biar aku dan ibu yang mencari biaya untuk sekolah Abi agar dia bisa tetap sekolah dan menjadi orang sukses. Sedangkan Tasya, dia juga sebelumnya memang tidak ingin sekolah karna ingin membantu aku dan ibu. Tetapi aku menyuruhnya sekolah dan sekarang dia sudah menginjak dibangu kelas 2 sd.

"Bu, biarkan Tasya membantu ibu dan ka Tia menjahit ya. Tasya tidak usah sekolah saja biarkan mas Abi yang sekolah."

"Dengarkan kata kakakmu ya Tasya, ka Tia ingin kamu dan mas Abi menjadi orang yang sukses dan merubah perekonomian keluarga kita". 

Jawab ibu sambil tersenyum dan mengelus halus rambut Tasya.

Aku memang menginginkan kedua adikku untuk sukses karna aku sendiri yakin tidak akan bisa merubah perekonomian keluarga ini dan aku berharap banyak kepada kedua adikku. Biarkan aku yang mencari biaya sekolah keduanya, asalkan mereka bersunggung-sungguh untuk belajar.
     
Setelah selsai sholat berjamaah ber empat, aku dan ibu kedapur untuk menyiapkan makan malam. Tiba-tiba Abi masuk kedapur mendatangi aku dan ibu.
"ka Tia, aku lusa harus membayar uang spp karna sudah 2 bulan nunggak."
"Iya Abi, ka Tia janji, kaka bakal mengerjakan pekerjaan kaka lebih cepat agar bayaranya juga lebih cepat dan Abi bisa membayar spp ke sekolah".
"Makasih ya ka Tia, besok Aku bantu untuk mengantarkan hasil jahitanya ke pelanggan ya ka."
Terlihat sekali diraut wajah Abi, dia semangat untuk membantu ku dan itu membuat aku menjadi semangat untuk mengerjakan pekerjaan ku lebih cepat, demi Abi kata ku.
"Ya sudah, sekarang bantu ibu dan kaka menyiapkan makan malam ini."
"Siap ka." Sahut Abi penuh semangat
Akhirnya kita makan malam bersama seperti biasa dengan 4 anggota keluarga. Makanan kami sederhana saja, hanya tempe, sambel, dan ikan asin. Tetapi tidak ada yang pernah mengeluh dengan keadaan ini semuanya makan dengan lahap. Setelah selsai makan aku kembali mengerjakan pekerjaan menjahitku. Tasya dan Abi membantu mencuci piring setelah kami selsai makan.

2. Baju pesanan bu Ani
Pagi sudah tiba saatnya semua orang melakukan aktifitasnya masing-masing. Seperti biasa, setelah sholat shubuh aku melakukan pekerjaanku kembali. Padahal semalam aku tidur larut malam sekali demi menyelsaikan pekerjaan menjahitku ini agar bisa diantarkan ke pelanggan dan segera mendapatkan uang untuk membayar uang spp nya Abi.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi di hari minggu ini. Pekerjaan ku sudah selsai dan siap untuk diantar ke pemesan baju ini.
"Bu, aku mengantarkan dulu pesanan Bu Ani ya, ini hasil jahitanku sudah selsai."
"Ya sudah Tia, hati-hati dijalan ya"
Aku berpamitan kepada ibu yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah. Sedangkan Abi dan dan Tasya sedang membantu ibu membereskan rumah. Abi yang mengepel lantai dan Tasya yang membersihkan kaca. Mendengar aku yang berpamitan ke ibu untuk mengantarkan pakaian, Abi buru-buru menghampiriku.
"Ka Tia, biarkan aku dan Tasya yang mengantarkan pakaian itu ya ke rumah bu Ani."
"Tidak usah bi, kaka bisa sendiri ko."
"Tolonglaaah kaaa, biarkan kita yang mengantarkannya yaa, plisss."
"Tasyaa ikutt yaa kaa."
"Memangnya pekerjaan kalian sudah selsai?"
"Sudah ko ka". Mereka menjawab serentak
"Ya sudah kalau begitu, Tasya dan Abi boleh pergi mengantarkan baju ini ke bu Ani, tapi hati-hati ya."
"Siap ka."
Mereka pergi berdua untuk mengantarkan baju milik Bu Ani yang beberapa hari lalu meminta ku membuatkan baju untuk dia pergi ke undangan katanya. Meskipun kami seorang penjahit sederhana, tetapi ibu sudah dikenal banyak orang karna hasil jahitan ibu yang rapih. Kebanyakan orang yang menjahit pakaian di tempat kami, selalu puas dengan hasil jahitanya. Padahal ibu tidak pernah sekolah menjahit atau apapun, tapi ibu dulunya selalu melihat nenekku menjahit juga. Jadi bisa dibilang bakat menjahit ini turun-temurun.
  Selagi menunggu Abi dan Tasya mengantarkan pakaian bu Ani, aku suka membuat barang-barang unik dari kain sisa pakaian dan menjualnya. Seperti gantungan kunci, baju berbie dan masih banyak lagi.
Matahari sudah mulai memancar lebih panas lagi, itu artinya sudah menuju siang. Abi dan Tasya akhirnya pulang.
"Ka Tia, ini uang dari bu Anii hasil bajunya, katanya jahitan kaka bagus rapih seperti jahitan ibu."
"Alhamdulillah kalau begitu"
Hasil jahitku dibayar 300 ribu oleh bu Ani. Aku menyodorkan uang 200 ribu kepada Abi untuk membayar spp.
"Abi, ini kau bayarkan spp besok disekolah untuk 2 bulan ya."
Abi terlihat ragu untuk mengambil uang dariku.
"Ini ambil Abi"
"Maaf ya ka, kaka harus tidur larut malam semalam demi membayar uang spp aku". Abi merenung
"Ini sudah menjadi tugas kaka sebagai tulang punggung keluarga ini Abi, ayo terima dan bayarkan spp nya besok."
"Makasih banyak ya ka."
Senyum Abi sangat lebar, ia terlihat senang karna bisa membayar spp nya.
Menjadi tulang punggung keluarga memang tidaklah mudah, aku sering tidur larut malam demi menyelsaikan pekerjaan ku dan tidak mengecewakan pelangganku.

3. Ibu cepat sembuh
Dipagi senin yang cerah, anak-anak kampung bersiap untuk pergi ke sekolah. Semua orang bersiap untuk memulai aktivitasnya kembali begitu juga aku. Setalah menyiapkan sarapan untuk kita makan, aku memanggil kedua adikku dan ibu untuk sarapan bersama.
"Tasya, Abi yu sarapan dulu, kaka sudah siapin makannanya nih."
Mereka pun datang dengan seragamnya yang sudah rapih dan terlihat sudah siap untuk pergi ke sekolah di hari senin yang cerah ini.
"Ibu mana ka?" Tanya Abi padaku
"Kaka belum memanggilnya. Ya sudah kalau begitu kalian duduk dulu aja biar kaka panggil ibu dulu ya ke kamarnya."
Abi dan Tasya duduk di meja makan sederhana yang terbuat dari kayu. Dahulu, kakek kami yang membuatkan meja makan ini karna memang dia sangat senang ketika kita makan bersama melingkar dimeja makan. Sangat terasa sekali kebersamaanya katanya. Meskipun aku tidak tahu sosok kakek, tapi ibu selalu menceritakanya kepadaku. Ibu bilang kakek adalah sosok yang sangat baik, dia tidak mau ibu sengsara dan sedih. Tetapi pada kenyataanya ibu harus mengalami kesengsaraan dan kesedihan itu setelah ayah kami meninggalkan kita semua.
"Ibu, ayo makan bersama-sama bu, Tasya dan Abi sudah menunggu ibu di meja makan tuh."
Aku berbicara sembari membuka pintu kamar ibu. Ibu terlihat masih menggunakan selimut dikamarnya dan tidak ada suara apapun dari mulutnya. Biasanya ibu sudah bangun jam segini, malah biasanya ibu yang selalu membangunkan Tasya dan Abi.
"Buuu ayo makan, kita sarapan dulu."
Aku menghampiri ketempat kasur ibu, tetapi ibu tidak menggubris sedikit pun. Akhirnya ku pegang kening ibu ternyata badan ibu panas, ibu demam dan ibu pingsan. Saat itu aku sangat cemas sangat khawatir dengan keadaan ibu, aku teriak memanggil Tasya dan Abi.
"Ibu kenapa ka?" Tanya Tasya kepadaku.
Air matanya sedikit lagi jatuh, terlihat sekali diwajah mereka berdua kalau mereka juga sangat khawatir dengan keadaan ibu.
"Kaka juga tidak tau na, tolong Abi minta bantuan keluar ya minta bantuan ke tetangga sekarang!"
Tanpa aba-aba Abi lari keluar meminta bantuan, sedangkan aku dan tasya menjaga ibu dikamarnya sambil menunggu Abi.
Akhirnya Abi datang bersama tetangga yang lain sekitar 5 orang. Ibu di bawa ke klinik didekat kampung kami dan ibu belum sadarkan juga. Terpaksa Tasya dan Abi harus izin tidak masuk sekolah karna ikut denganku untuk mengantarkan ibu ke klinik. Sesampainya diklinik, ibu langsung diperiksa oleh dokter disana aku, Abi dan Tasya menunggu ibu diluar ruangan. Tasya menangis di pelukanku, dia cemas begitu juga aku.
"Ka Tiaa, Tasya takut sekali ibu kenapa-napa ka"
Tasya menangis semakin kencang. Sedangkan Abi terus berada depan pintu sambil melihat kedalam ruangan melihat ibu yang sedang diperiksa oleh dokter.
"Kaka juga takut, Tasya berdoa ya sama Allah agar ibu baik-baik saja".
Aku mencoba untuk menenangkan Tasya, padahal batinku juga terluka aku sangat cemas dengan keadaan ibu.

4. Robohnya duniaku
Sudah beberapa jam kami menunggu ibu di klinik, tetapi ibu belum sadarkan diri juga. Hari sudah sore tetapi kami tidak beranjak sedikit pun dari depan pintu tempat ibu dirawat. Hingga akhirnya ibu sadarkan diri di sore menjelang malam.
"Keluarga bu Sekar, Bu sekar sudah sadar dan meminta agar anak-anaknya menemuinya sekarang juga." Dokter Rini keluar dan meminta agar kami masuk keruangan ibu.
"Baik bu dokter, terimakasih"
Kami langsung segera menemui ibu di ruanganya dan memeluk ibu bersamaan. Rasa cemas dan khawatir kini telah sedikit menghilang dari perasaan kami setelah melihat ibu sudah sadarkan diri dari pingsannya.
"Ibuu gapapa kan bu? Ibu jangan sakit yaa" Tasya merengek sambil memeluk ibu.
"Ibu gapapa sayang, tapi sekarang ibu minta kita sholat magrib berjamaah ya, kalian ambil wudhu gih."
Kami memang sudah biasa sholat maghrib berjamaah, tapi kali ini beda. ibu memancarkan senyuman yang berbeda dari biasanya entah ini cuman pikiranku saja. Akhirnya kami bergesa mengambil wudhu sedangkan ibu tayamum di tempat tidurnya. Kita melaksanakan sholat maghrib bersama dan Abi menjadi imamnya.
Setelah selsai sholat akh berdoa kepada Tuhan agar ibu cepat sembuh dari penyakitnya dan ibu bisa pulang kembali ke rumah. Tetapi Tuhan berkehendak lain, Tuhan mengambil ibu dari kami setelah kami selsai sholat. Tasya beranjak tempat dia sholat untuk salam ke ibu, tetapi ibu sudah terbaring lemah tak berdaya di atas kasur.
"Ibuuu, ibuuu kenapaa buu? Ka Tia ibu pingsan lagi ka!" Tasya teriak hingga dokter Rini yang bertugas untuk merawat ibu datang ke ruangan ibu.
"Anak-anak sebaiknya kalian tunggu diluar dulu ya, biar ibu kalian saya yang periksa."
Kami keluar dengan rasa khawatir yang amat sangat tinggi. Tasya menangis di pelukan ku, dan Abi menggenggam tanganku cukup erat.
"Ka sebenarnya ibu kenapa ka? Ibu punya penyakit apa, kenapa ibu gapernah bilang sama kita ka?"
Abi menggenggam tanganku sangat erat, hingga tak sadar ketika ia berbicara barusan air matanya mengalir deras.
"Abi, kaka juga gatau. Sekarang kita berdoa saja buat keselamatan ibu."
Akhirnya dokter Rini keluar dengan raut wajah sedih. Aku buru-buru menghampirinya.
"Bu dokter, ibu kami gapapa kan bu, ibu sudah sadar kan bu? Jawab buu jawab kenapa ibu diam saja!"
"Kalian harus sabar ya, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi ibu kalian tidak bisa diselamatkan, ibu kalian meninggal dunia."
Seketika itu jantungku berasa berhenti berdetak, darah mengalir begitu cepat. Pandangan ku kosong, pikiranku melayang pergi entah kemana bagaikan terombang ambing ombak dilautan. Sedangkan Tasya dan Abi seketika menjerit menangis dan berlari masuk ke ruangan ibu. Aku tak kuasa melihat ibu terbaring sudah tanpa nyawa di atas kasur seperti itu.
"Ibuu ga mungkin meninggal, ibu gamungkin pergi meninggalkan Tasya, iyaa kan bu?" Tasya menangis sangat kencang. Begitupun dengan Abi, ia tidak bisa menahan tangisanya, semuanya pecah.
"Ibuu jangan tinggalin kami bu!"
Sedangkan aku, aku tidak bisa berkata-kata teringat semua kenangan bersama ibu dan teringat ucapan ibu beberapa hari yang lalu.
"Tia, tolong jaga adik-adikmu selalu ya, ibu menitipkan mereka sama kamu tolong sekolahkan mereka sampai tinggi, biar mereka menjadi orang sukses dan membantu perekonomian kita, dan maaf ya ibu harus membuat kalian sengsara sekarang kalian."
"Ibu jangan ngomong kaya gitu ah, tanpa ibu minta pun, aku akan menjaga dan membiayai sekolah mereka ko bu. Nanti ketika mereka sukses kita akan beli rumah yang lebih layak dari ini bu."
Ibu hanya tersenyum mendengarnya. Dan kini aku sadar kenapa ibu meminta ku untuk menjaga adik-adikku ternyata ibu akan pergi untuk selamanya. "Kenapa bu? kenapa ibu meninggalkan kami, ibu ingin anak-anak mu sukses, tetapi kenapa ibu tidak mendampingi? Kenapa ibu malah pergi?". Batin ku terus menggerutu dan tidak bisa menahan tangisan di ruangan ibu. Tangisan kami bertiga pecah, karna tak kuasa dan tak sanggup kalau harus hidup tanpa ibu. Hatiku hancur, seakan-akan duniaku akan akan berhenti detik ini juga. Tetapi aku harus ingat pesan ibu, aku harus mejaga kedua adikku. Akhirnya dokter membawa ibu keruangan jenazah untuk dimandikan. Tasya tak berhenti menangis di pelukanku, aku tidak melepaskan pelukanku dari Tasya dan genggaman tanganku dari Abi.
"Kita harus kuat, kita harus ikhlas melepaskan ibu pergi ya sekarang ibu tidak akan merasakan kesakitan lagi." Aku berbicara dengan air mata yang mengalir deras tanpa berhenti seperti air terjun ditempat wisata alam.

5. Menjadi dua sosok untuk kedua adikku
Setelah selesai pemakaman ibu, aku tidak tahu arah tujuan hidupku akan seperti apa. Aku belum bisa membayangkan seperti apa hidupku dan kedua adikku tanpa sosok seorang ibu dan ayah. Sekarang aku benar-benar menjadi tulang punggung dikeluargaku ini, aku harus menuruti permintaan ibu untuk membiayai sekolah kedua adikku hingga sukses. Keadaan masih berduka, Tasya terus menangis hingga malam tiba sedangkan Abi hanya melamun diteras rumah.
"Tasya, Abi makan dulu yu kaka sudah siapin makan malam untuk kita bertiga makan na"
"Aku gamau makan ka, aku galaper, aku mau sama ibu" Tasya terus menangis tanpa henti, entah bagaimana caranya agar dia mau berhenti menangis.
"Ini memang berat Tasya, tetapi kamu harus tetap makan nanti kamu sakit dan ibu malah jadi sedih ngeliat kamu gamau makan kaya gini." Akhirnya Tasya mau beranjak ke meja makan dengan langkah perlahan. Mata yang sembab, badan yang lemah dan pikiran melayang. Itulah yang aku lihat dari Tasya saat itu. Abi pun tanpa ku suruh akhirnya menghamipi meja makan untuk makan bersama-sama. Ya, memang Abi bukan tipe yang banyak bicara, ia berbicara ketika sesuatu yang penting terjadi ia lebih suka memendam apapun yang ia rasakan. Tetapi aku bisa lihat sendiri kesedihan yang amat dalam pada dirinya. Ketika dimeja makan, semuanya sangat berbeda. Tasya menatap kursi yang biasa ibu duduki dan air matanya menetes kembali. Aku tidak boleh menunjukkan kesedihan yang begitu besar pada adikku, kalau aku melakukanya mereka akan sangat sedih jadi aku harus  menjadi penopang bagi mereka. Setelah selsai makan, Tasya langsung masuk kamarnya tanpa berkata sedikitpun. Sedangkan Abi membantuku membereskan piring di meja makan.
"Ka Tia, setelah ibu pergi apakah kehidupan kita akan tetap baik-baik saja ka?"
"Ya Abi, kita akan tetap baik-baik saja, kaka yakin itu"
"Kalau aku gausah lanjut kuliah aja gimana ka? biar aku bantu kaka kerja aja ya?" Abi menatapku, seketika itu aku ingat kata-kata ibu kepadaku, kalau aku harus menyekolahkan mereka sampai sukses.
"Tidak Abi, kamu harus tetep sekolah. Ibu minta sama kaka agar menyekolahkan kalian sampai sukses kaka gamau melanggar amanat dari ibu,"
"Baiklah ka, aku akan belajar lebih giat lagi biar ibu senang di sana."
Aku tersenyum melihat Abi semangat seperti ini, membuat aku juga semangat lagi bekerjanya demi ibu dan kedua adikku.
"Ya sudah ka, aku bantuin cuci piringnya ya"
Aku menangguk dan tersenyum. Meskipun sebenarnya aku sendiru pun tidak yakin dengan penghasilan menjahitku ini bisa membiayai kedua adikku sekolah atau tidak, tetapi aku harus berusaha meyakinkan mereka. Jangan sampai mereka ikut kepikiran dengan apa yang seharusnya mereka tidak pikirkan.
"Tasya, kamu jangan sedih terus dong, kalau kamu sedih ibu juga ikut sedih loh". Aku menemui Tasya dikamarnya setelah selsai mencuci piring. Abi pun ikut denganku menemui Tasya.
"Iya Tasya, daripada kamu nangis terus, mending kita semua berdoa untuk ibu."
Abi memimpin doa untuk kita tujukan kepada ibu, tanpa terasa air mataku menetes. Aku selalu berpikir apakah aku bisa melalui ini semua? apakah aku bisa menjadi sosok ibu dan sekaligus sosok ayah untuk kedua adikku nanti?

6.  Bertemu Teman Lama
Dua minggu berlalu ibu meninggalkan kami semua. Tidak ada yang tahu hatiku sehancur dan sepatah apa setelah kepergian ibu. Aku berlaga seakan baik-baik saja depan kedua adikku padahal aku sedang melewati masa tersulitku tanpa sosok ibu. Aku harus bisa melalui ini semua dengan sikap dewasa, ketika kedua adikku nangis aku juga nangis tetapi mencoba untuk tetap stabil. Aku merasa masih banyak yang harus aku lakukan terkait tanggung jawab dan peranku  dibanding berlarut dalam kesedihan. Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan lain selain menjahit untuk menyambung kehidupanku bersama adikku kedepannya. Tetapi aku bingung, izajah ku aja hanya sampai tingkat smp mana ada tempat kerja yang akan menerimaku.
Besok nya, ketika dipagi yang cerah setelah menyiapkan kedua adikku sarapan aku berniat pergi ke kota untuk mencari pekerjaan lain selain menjahit.
"Ka, kami berangkat sekolah dulu ya" ucap Abi
"Iya de, oiya doakan kaka ya hari ini rencananya kaka mau berangkat cari pekerjaan"
"Memangnya kaka mau berhenti menjahit ya ka? memangnya kenapa ka, padahal kan hasil jahitan kaka bagus orang orang pada suka"
"Kaka masih menjahit ko, tapi itu sebagai sampingan aja kaka mau mencari pekerjaan tetap, yauda kalian berangkat ya nanti telat loh"
"Semoga sukses ya ka, semoga kaka bisa dapet pekerjaan"
"Iya ka, aku juga bakalan doain kaka agar kaka dapet pekerjaan ko" Sahut Tasya.
"Makasih ya, kalian sekolah yang pinter ya"
"Assalamualaikum, ka" Mereka mengucap salam serentak.
"Waalaikumsalam, hati-hati." Aku sedikit teriak.
Akhirnya aku berangkat untuk mencari pekerjaan, entah kemana kaki ini melangkah aku ikuti saja. Ketika dijalan aku bertemu Bayu teman masa kecilku dulu.
"Kamu Tiara Diananta kan?"
"Bayuu? Kamu Bayu alfahri kan?"
 Kita saling tunjuk satu sama lain, tidak menyangka sama sekali rasanya bisa bertemu teman lama yang hampir 10 tahun tidak bertemu.
"Apa kabar kamu Tia?" Bayu mengulurkan tanganya
"Aku baik-baik aja Bay, gimana kabarmu? Kabar Bu Susi? Kabar Andini? Kabar pak Surya? Mereka baik-baik aja kan?"
"Kami sekeluarga baik-baik aja kok, kamu masih inget aja nama-nama keluargaku" Bayu tertawa kecil mendengar aku yang menanyakan kabar semua anggota keluarganya.
"Mana mungkin aku bisa lupa dengan nama dan kebaikan keluargamu dulu Bay"
"Oiya Tia, gimana kabar keluargamu?" Bayu berbalik bertanya kepadaku.
"Ibuku baru meninggal 2 minggu yang lalu bay"
"Hah, kamu serius? Innalillahi aku turut berduka cita ya Tia". Bayu mengusap pundakku, seakan memberiku semangat yang tidak ia ucapkan secara langsung.
"Iya Bay, makasih ya"
"Terus kamu ada disini ngapain?"
"Aku lagi nyari pekerjaan Bay, selama ini kan aku sama ibu penghasilanya dari menjahit nah setelah ibu meninggal aku berencana mau mencari pekerjaan lain. Tapi pasti susah sih soalnya aku cuman lulusan tingkat smp aja nih"
"Kebetulan sekali kalo gitu ibu ku kan punya butik, mungkin kamu bisa bekerja disana".
"Kamu serius bay?" Aku senang sekali mendengarnya.
"Iya aku serius, setelah dulu pindah ke Jerman, akhirnya beberapa bulan yang lalu kita sekeluarga pindah lagi ke sini dan ibu mendirikan sebuah butik sedangkan ayah mendirikan restoran. Kalo kamu mau, kamu besok datang aja kebutik ibu ini alamatnya" Bayu memberiku kartu namanya yang berisi alamat rumahnya beserta alamat butik Bu Susi dan Restoran pak Surya.
"Makasih banyak ya Bay, besok aku pasti dateng ke butik milik Bu susi"
"Oke santai aja. Kalo gitu aku duluan ya Tia, masih ada urusan nih"
"Iya Bayu, baay"
Hatiku senang sekali rasanya mendengar tawaran dari Bayu. Memang dari dulu keluarga Bayu adalah keluarga yang sering sekali membantu keluargaku. Bu Susi berteman baik dengan Ibu mereka pernah mendirikan bisnis dalam bidang pakaian dah bisnisnya lumayan sukses. Sedangkan Andini, dia seumuran dengan Abi tetapi mereka tidak saling kenal karena ketika keluarga Bayu pergi dari indonesia, Andini masih kecil.

7. Keluarga Bu Susi
Akhirnya aku sampai di rumah. Terlihat kedua adikku sudah tiba juga di rumah. Aku segera memberi kabar ke mereka kalau besok aku akan bertemu dengan pemilik butik untuk bekerja.
"Assalamualaikum. Tasya, Abi kalian sudah pulang"
"Waalaikumsalam. Sudah ka" Jawab mereka serentak.
Aku langsung menyodorkan tanganku kemereka, mereka mencium tanganku dengan hangat.
"Oiya, kalian tau. Kaka besok diundang datang ke butik nya bu Susi loh. Doakan kaka ya semoga kaka bisa bekerja di butiknya bu Susi."
"Serius ka? Yeee Aku senang sekali dengarnya ka, semoga kaka besok keterima ya." Ucap Tasya
"Iya ka, aku juga seneng dengernya." Tambah Abi
"Bu Susi itu temen lama ibu. Tadi kaka ketemu sama ka Bayu nah ka Bayu ini temen kecil kaka, dulu keluarga ka Bayu sering bantu keluarga kita."
Aku menjelaskan ke mereka tentang siapa sebenernya bu Susi ini. Mereka hanya mengangguk.
"Ya sudah kalo gitu, kaka siapin buat makan siang dulu ya." Aku beranjak dari halaman depan untuk pergi kedapur.
"Aku bantu ya ka." Tasya mengikuti ke dapur.
 Keesokan harinya, pagi sekali aku sudah bersiap untuk pergi ke tempat butiknya bu Susi. Setelah Tasya dan Abi pergi, aku juga bergegas pergi agar tidak terlambat dan membuat Bayu menunggu.
2 jam perjalanan menaiki angkutan umum, akhirnya aku sampai juga di tempat tujuanku. Sudah terlihat plang di sana bertuliskan "BUTIK BU SUSI". Aku segera memasuki butiknya, kebetulan sekali disana sedang ada Bayu, Andini dan juga bu Susi. Aku masih hapal wajah-wajah mereka.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam." Mereka menjawab salam dan serentak menengok ke arahku.
"Eh Tia, sudah datang." Bu Susi menyapa ku dengan hangan dan langsung memeluku.

"Bayu sudah cerita sama ibu kalau kamu mau datang kesini, dan Bayu juga udah cerita kalau kamu baru saja kehilangan ibumu. Ibu turut berduka cita ya."
Bu Susi mengelus pundak ku. Aku hanya mengangguk. Tidak tau harus menjawab apa. Sebenernya luka ketika kehilangan ibu itu masih membekas sangat kuat dihatiku.
"Hay ka Tia, masih ingat aku?" Andini mengajakku bersalaman.
"Andini. Ya pasti kaka masih inget lah, dulu kan kamu suka di ajak bermain sama ka Bayu, yakan Bay?"
"Hahaha iya Tia. Iya Ndin dulu kan kita sering bermain bersama mana mungkin dong ka Tia lupa sama kamu. Dulu kamu sering kaka gendong kemana-mana"
Kami tertawa kecil mendengar jawaban Bayu
"Oiya bu Susi, pa Surya kemana ya?"
"Pak Surya masih direstoran, biasanya sore baru kesini"
"Oh gitu ya bu. Jadi gimana bu apakah kita bisa mulai interview nya?"
"Kamu tidak usah inetrview Tia, kamu boleh kerja disini. Kami sangat senang nerima kamu disini."
"Beneran bu? Tapi apakah aku pantas bu? Soalnya izajah ku hanya sampai smp bu."
"Itu bukan jadi masalah ko, santai aja kamu bisa mulai bekerja hari ini juga"
Rasa kaget dan bahagia didalam hatiku berlebur menjadi satu. Aku bagaikan tertimpa uang sekarung dari langit, saking senangnya.
"Baik bu, terima kasih bu. Aku bakalan bekerja dengan sungguh-sungguh ko bu"
Bu Susi tersenyum hangat kepadaku. Memang dari dulu bu Susi ga pernah berubah, dia selalu membantu keluarga ku.
Akhirnya aku bekerja disana. Setelah menyelsaikan satu pekerjaan menjahitku, bu Susi suka dengan hasil jahitku dia bilang jahitanku rapih sekali.
"Persis seperti ibumu dulu, jahitanmu rapih sekali. Ibu suka lihatnya, memang tidak salah ibu menerima kamu disini."
"Terima kasih bu."
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Itu adalah pak Surya. Dari suaranya saja aku sudah mengenalinya. Laki-laki berusia 50an tahun itu masih terlihat muda dan gagah. Meskipun terlihat uban, tetapi wajahnya yang tampan tidak menghiraukan uban itu.
"Eh bapa udah datang, coba tebak ini siapa?"
Bu Susi menunjukku.
"Tia? Kamu Tia kan? Tia anak bu Sekar?"
"Iya pak Surya, aku Tia." Aku mencium tangan pak Surya. Pak Surya membalas dengan mengelus rambutku ketika aku mencium tanganya. Sepertinya Bayu hanya menceritakan ke bu Susi aja tentang aku, pak surya tidak tau kalau aku akan datang ke butik ini.
"Lama sekali yah kita tidak ketemu sekitar 10 tahunan ya? Gimana kabar adikmu dan ibumu?"
" Abi dan Tia baik-baik aja. Ibu 2 mingguan yang lalu meninggal pak karna semenjak ayah kami pergi ibu jadi sakit-sakitan."
"Innalillahi, bapa turut berduka cita ya atas kepergianya ibu kamu."
"Terima kasih pa"
"Tia sekarang sudah bekerja di sini pa. Tadi ibu sudah melihat hasil jahitnya Tia bagus pa, rapih."
"Bagus dong, kamu kerja disini saja ya"
"Iya pa, aku senang keluarga bapa dan ibu menerima ku dengan hangat. Dari dulu, keluarga bapa dan ibu suka membantu keluarga ku, terima kasih pa, bu"
"Kami senang ko bisa membantu keluarga kalian"
jawab bu Susi.

8. Perjalanan hidup
Hari-hari terus berlanjut. Tak terasa aku sudah 3 tahun bekerja dengan bu Susi. Saat ini aku sudah pindah dari tempat ku lahir, aku mengajak Tasya dan Abi pindah ke kota dekat butiknya bu Susi. Karna Abi juga baru lulus smp sedangkan Tasya terpaksa sekolahnya harus berpindah karna dia masih sd. Selama aku bekerja dengan bu Susi, aku memang dekat dengan Bayu. Bayu sering mengantarku pulang ke rumah dan bermain dengan Tasya dan Abi. Sepertinya aku nyaman dengan Bayu dan ternyata Bayu juga memiliki perasaan yang sama denganku.
"Tia, sepertinya aku nyaman denganmu, dengan kehadiranmu, dengan senyummu dan semua yang ada didirimu. Aku gamau hubungan kita hanya sebatas teman kecil atapun sebatas anak majikan dan pegawai. Aku mau kita menjalani hubungan yang serius. Apa kamu mau menjalani hubungan berpacaran dengan ku?". Bayu mengungkapkan isi hatinya ketika kita sedang duduk berdua di taman. Aku sebenernya tidak menyangka ternyata aku dan Bayu memiliki perasaan yang sama.
"Aku mau Bay. Aku mau jadi pacar kamu." Aku menjawab pertanyaan Bayu. Mana mungkin aku bisa menolak seseorang yang sudah aku kenal kepribadianya sejak kecil. Sesampainya di butik, abi langsung bercerita kepada bu Susi dan Andini kalau kita sudah resmi berpacaran.
"Bu, aku dan Tia sudah resmi berpacaran."
"Benarkah? Ibu senang sekali dengarnya. Ibu setuju sekali kalau nanti kalian menikah"
"Cie cie ka Bayu dan ka Tia pacaran nih yee" Andini meledekku dan Bayu. Aku hanya tersenyum malu.
Senang sekali rasanya mendengar keluarga Bayu bisa menerimaku dengan baik. Tetapi aku belum ingin menikah, usiaku masih 21 tahun. Aku masih ingin membiayai Abi kuliah meskipun sebenernya dia sudah bisa membiayainya sendiri. Tetapi masih ada Tasya yang masih butuh aku, jadi aku memutuskan untuk menunda untuk menikah terlebih dahulu.
Aku memang sangat hancur ketika ibu meninggalkan kami untuk selamanya. Ketika bapa meninggalkan kami entah kemana, ketika kita masih kecil. Tetapi aku yakin hidup akan terus berjalan dan akan ada keindahan di setiap proses yang kita jalani. Sekarang keadaan ekonomi keluarga ku jauh lebih baik dari sebelumnya. Ini semua aku lakukan demi nasihat-nasihat dari ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun