Mohon tunggu...
Ilma Zukhruf Annisa
Ilma Zukhruf Annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tawa Pengusaha dan Perusahaan Sawit di Atas Darah dan Tangis Petani Sawit

1 November 2023   23:01 Diperbarui: 1 November 2023   23:19 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Referensi Buku "Kehampaan Hak: Masyarakat Vs Perusahaan Sawit di Indonesia"

Dari abstrak buku tersebut, sudah jelas membicarakan topik konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat pedesaan di Indonesia. Masyarakat kehilangan tanahnya akibat pelebaran atau perluasan perusahaan kelapa sawit dan seringkali tidak menerima kompensasi yang sesuai. Masyarakat memprotes dan menolak perusahaan kelapa sawit, namun sebagian besar protes dan penolakan tidak berhasil. Buku Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia merupakan buku yang berfokus pada penyebab, karakteristik, dan akibat konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat. 

Terdapat beberapa argumentasi bahwa pesatnya perluasan perkebunan sawit di Indonesia telah menyebabkan meluasnya konflik antara masyarakat pedesaan dan perusahaan sawit. Masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia telah kehilangan lahan perkebunan yang luas akibat ekspansi perusahaan sawit. Sebagai responnya, masyarakat pedesaan melakukan unjuk rasa, menegosiasi, bahkan terkadang tindakan kekerasan (Ward Berenschot, Ahmad Dhiaulhaq, Afrizal, Otto Hospes, 2023).

Pembahasan konflik kelapa sawit di jelaskan lagi oleh Ward Berenschot, Ahmad Dhiaulhaq, Afrizal, Otto Hospes, dalam publikasi bersama dengan judul Ekspansi dan Konflik Kelapa Sawit di Indonesia: Evaluasi Efektivitas Mekanisme Penyelesaian Konflik buku ini membahas penyebab, karakter, dan konsekuensi dari konflik-konflik tersebut dan didasarkan pada data awal dari 150 kasus konflik kelapa sawit (Ward Berenschot, Ahmad Dhiaulhaq, Afrizal, Otto Hospes, 2021).

Dengan ini membuktikan bahwa perusahaan sawit selalu berhasil menguasai lahan pedesaan di Indonesia karena Perusahaan sawit dan pemerintah bekerjasama dalam aturan formal dan hubungan informal, akibatnya masyarakat pedesaan di Indonesia hampir 'tidak mempunyai hak'. Meluasnya intrik antara bisnis dan politik sudah menggerogoti kebebasan warga negara Indonesia dalam menyarakan pendapat. 

Akhirnya, masyarakat terjerat dalam 'perlawanan tanpa hak' tertentu, Masyarakat tidaka mengedepankan regulasi dan hak mereka, namun justru berfokus kepada negosiasi kepada Perusahaan, dengan menjustifikasi bahwasannya tuntutan mereka mengikuti aturan sosial dan adat istiadat. Namun, praktiknya usaha negosiasi ini selalu berakhir gagal dalam mencapai tujuan awal. 'Perlawanan tanpa hak' ini belum memcapai hasil dalam perlawanan kolektif yang meluas pada perampasan hak.

Tawa Pengusaha dan Perusahaan Sawit Di Atas Darah Dan Tangis Petani Sawit (Praktik Rent Seeking di Dalam Konflik Sawit di Indonesia)

Praktik Rent Seeking Dalam Konflik Sawit di Indonesia

Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia, menyajikan beberapa argumentasi mengenai konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat di Indonesia. Berikut argumen utama yang disajikan dalam buku ini:
1.Kekosongan hak merupakan masalah utama konflik antara masyarakat pedesaan di Indonesia dengan perusahaan sawit.
2.Ekspansi perkebunan sawit yang diniali berkembang secara pesat telah menyebabkan terjadinya pengungsian masyarakat lokal dan hilangnya penghidupan mereka.
3.Kebijakan dan peraturan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan perusahaan kelapa sawit dibandingkan hak masyarakat lokal.
4.Konflik yang terjadi di perusahaan sawit dan masyarakat Indonesia bukan hanya merupakan permasalahan lokal namun merupakan bagian dari permasalahan global berupa produksi minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan dan tidak adil.


Ini perlu dipertegas bahwa banyak Perusahaan mempraktikan rent seeking untuk kepentingan pribadi dan sudah jelas menyengsarakan masyarakat yang bekerja untuk mereka. Hal ini sangat relate dengan kasus sawit di Indonesia. Bagaimana tidak, harga sawit tidak sepadan dengan kerja keras para petani sawit, harga pupuk, racun rumput, vitamin sawit, belum lagi biaya untuk transport megangkut buah sawit ke peron (tepat penimbangan sawit), bahkan masih banyak penderitaan petani sawit lainnya. Diatas penderitaan petani ada "Perusahaan" yang sedang duduk manis dimeja kerjanya yang rapih. Mengapa hal ini bisa terjadi kepada Masyarakat yang bekerja begitu keras?


Bahkan banyak anak-anak petani yang rela ikut bekerja di kebun sawit demi membantu orangtuanya karna harga sawit menurun. Apakah Perusahaan memberikan jaminan Kesehatan kepada petani sawit? Apakah Perusahaan memberikan jaminan Pendidikan bagi anak-anak petani sawit mulai dari SD sampai SMA atau kuliah? Banyak praktik dilapangan yang tidak sesuai dengan perundang-undangan. Review ini bukan hanya sekedar argumenttasi belaka, tetapi studi empiric yang sudah terjadi di Masyarakat daerah perkebunan sawit dan diperkuat deg an studi penelitian terdahulu (Uswatun Hasanah, 2020).

Dalam praktik rent seeking dalam konflik sawit di Indonesia, actor yang memainkan peran yakni, pemerintah, perusahaan besar di industri sawit, birokrat, entrepreneur, dan politisi tujuan utamanya untuk menguasi dan memonopoli sumber daya dan keuntungan. Praktik rent seeking ini menyulut api konflik baru dan yang jelas akan merugikan petani sawit serta masyarakat lokal. 

Praktik rent seeking dilakukan dengan cara memberikan kemudahan, melakukan riset tentang isu pelanggaran perusahaan, menyebarkan isu tersebut kepada warga desa, dan melakukan aksi demo dengan mengerahkan massa. Praktik rent seeking juga dapat dilakukan melalui manipulasi kebijakan pemerintah dan pengelolaan komoditas kepada segelintir orang. Praktik rent seeking ini dapat dicegah dengan penguatan lembaga pengawas persaingan seperti KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dan penyusunan sistem perdagangan yang melibatkan KPPU.

Misalnya saja, kasus terbaru dari Riau, konflik terjadi antara sekelompok besar warga Kelurahan Tebing Tinggi Okura, Kecamatan Rumbai Timur, Pekanbaru yang menuntut kebun plasma seluas 20% dari luasan kebun PT. Surya Intisari Raya (PT.SIR) juga tidak terlepas dugaan adanya praktek 'rent seeking' di level top-down baik pemerintah daerah maupun pusat. Kasus ini terkait tuntutan dari regulasi No.11/2020, tentang omnibus law, PP No.26/2020 sektor Pertanian dan Permentan No.18/2021 dimana mengatur terkait fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% dari luas kebun yang diusahakan.

Dari penjelasan ketua Aliansi Pemuda Peduli Masyarakat Okura (APPMO) bahwa Masyarakat belum terpenuhi haknya sesuai dengan regulasi terkait dan Peraturan Pemerintah terkait memberikan fasilitas pembangunan kebun warga seluas 20% dari luas kebun yang diusahakan oleh PT. SIR. APPMO dan Aliansi Masyarakat Adat Melayu Riau, menyampaikan sudah menyerahkan surat pada Kakanwil BPN Riau, bahwa Masyarakat menolak terhadap perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT. SIR yang diketahui akan berakhir pada Desember 2024. Namun keluhan Masyarakat belum juga teratasi, dari pihak pemerintahan pun tidak merespon dengan cepat terkait hak warganya dan memilih bungkam serta memilih posisi aman dari konflik.

 Banyak di Indonesia praktik rent seeking, mafia regulasi dan pasal karet, yang menjebak Masyarakat ke dalam jaring permainan 'kotor' dengan perlawanan tanpa hak, hanya semata-mata untuk ke egoisan dan kekayaan kapitalsm.
 Dalam buku kehampaan hak pada bab 2 Tiga Sumber Kehampaan Hak, penulis berargumen bahwa kehampaan hak (rightless) yang diderita Masyarakat perdesaan di indonesia berpusat dari tiga sumber utama perkara: hak atas tanah yang dibatasi, permainan hukum lewat 'pintu belakang' dan kolusi bisnis-politik.

Saya sangat setuju dengan argument para penulis kehampaan hak, dan jika boleh menambahkan konflik kelapa sawit akan semakin lebih sulit lagi dikarenakan terdapat actor  tambahan dalam  kesenjangan hak Masyarakat Indonesia, yakni peron kelapa sawit. Dimana pemilik peron kerap kali tidak bertanggung jawab dengan harga TBS (tandan buah segar) karena studi empiric dilapangan peron satu dengan lainnya tidak sama harganya, terdapat harga yang sangat murah sekali. Bukan hanya harga TBS saja, Masyarakat yang mempunyai lahan sawit sering mengeluhkan kebun mereka yang rusak akibat transportasi milik peron yang selalu melawati kebun mereka tanpa izin, sehingga banyak jalur sawit yang rusak dan susah untuk mereka perbaiki.

Argumen para penulis buku kehampaan hak yang lain yakni plasma sawit menjadi permasalahan lain, dimana terdapat bagi hasil antara Masyarakat yang mengelola kelapa sawit dengan Perusahaan kelapa sawit. Saya setuju bahwa kesepakatan plasma sama sekali tidak menarik. Bukan Perusahaan yang dirugikan melainkan Masyarakat yang mengelola, merawat, dan memanennya, sedangkan Perusahaan diuntungkan sebesar 20 persen, jika dihitung dengan pengeluaran dan pemasukan Masyarakat sangat dirugikan, dan kepemilikan lahan sawit tidak bisa mereka pegang sepenuhnya.


Memang pada dasarnya konflik kelapa sawit di Indonesia, baik dipulau Kalimantan dan sumatera sama-sama mengalami stagnan, pemerintah yang seharusnya pro kepada Masyarakat namun tidak bisa menengahi konflik tersebut. Pihak Perusahaan yang bersangkutan pun tidak mau mengakui hak-hak Masyarakat. Maka jika disimpulkan konflik agrarian ini tidak ada transparansi baik regulasi pemerintah dan kebijakan dari Perusahaan sehingga yang mnejadi korban dan dikambing hitamkan adalah Masyarakat yang menuntut haknya. Hak yang mereka yakni bisa mengubah kehidupan kelurganya, perekonomian mereka dan masa depan yang akan datang, namun sekali lagi mereka harus bertarung dengan para pemegang kekuasaan tertinggi.


Saran dari saya, pemerintah dan jajaran actor politik yang tidak mampu dan tak bisa netral terhadap rakyatnya, tidak bisa memenuhi hak rakyat sebagai manusia, lebih baik di awal pertemuan dengan masyrakat membuat persetujuan dalam jangka sekian bulan permasalahan kelapa sawit sudah ada kemajuan, karna saya juga yakin mengatasi konflik kelapa sawit akan membutuhkan waktu yang lama, maka dari itu dibuatlah regulasi yang pro rakyat, transparansi, akuntabilitas serta hukum yang bersifat absolut tidak bisa dirubah-rubah sesuai keinginan pemerintah dan Perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun