Mohon tunggu...
Ilma Susi
Ilma Susi Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Islam Rahmatan Lil Alamin

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ironi Impor Beras di Negara Agraris, Ada Apa?

26 April 2023   20:19 Diperbarui: 26 April 2023   20:22 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkait kebijakan pangan, pemerintah telah mengambil kebijakan berupa rencana impor beras sebanyak dua juta ton pada 2023. Hal itu dilakukan agar cadangan beras  (CBP) di Bulog dalam kondi aman. Untuk kepentingan ini, Indonesia  lima negara menjadi bidikan, yakni Thailand, India, Pakistan, Myanmar, dan Vietnam untuk memenuhi penugasan impor beras. Demikian menurut Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi.

Menanggapi rencana impor beras 2 juta ton itu, Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai keputusan pemerintah itu sevenarnya pahit. Pasalnya, izin impor itu justru dikeluarkan saat panen raya, di mana rakyat sangat memburuhkan pasar.

Kebijakan Menyimpang

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memandang bahwa suatu negara dianggap swasembada beras apabila produksi dalam negerinya mencapai 90%. Merujuk pada standar ini, Arief mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya masih dalam status swasembada pangan.

Sementara itu Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras dalam negeri sebanyak 31 juta ton. Karenanya,  negeri ini sebenarnya masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri mengingat konsumsi beras dalam negeri adalah 30 juta ton. Artinya, keamanan pangan dalam kondisi terjaga secara mandiri. Jika demikian, mengapa harus impor, apalagi  dengan dalih demi kebutuhan masyarakat dan sebagai CBP?  

Bila Bapanas saja menyatakan Indonesia telah berhasil melakukan swasembada lalu masih ada rencana impor beras,  bukankah ini merupakan  kebijakan aneh dan menyimpang ? Agaknya cocok  dengan statemen ekonom Indonesia Faisal Basri, bahwa ada perburuan rente di balik kebijakan impor beras. Artinya ada pihak tertentu yang memanfaatkan kebijakan impor beras untuk kepentingan pribadi.

Direktur Lingkar Studi Ekonomi Ideologis (eLSEI) Arif Firmansyah juga menduga ada kartel impor pangan. Kartel ini membuat pemerintah galau terhadap ketahanan pangan di dalam negeri sehingga akhirnya terpaksa untuk impor.

Hanya saja, publik harus memahami bahwa dalam konsep sistem ekonomi kapitalis, impor bisa menjadi alat politik bagi negara lain untuk mengendalikan suatu negara, bahkan bisa mengendalikan kedaulatan pangannya. Tidakkah ini berbahaya? Lagi pula, sungguh aneh, negara agraris yang notabene memiliki ketersediaan lahan pertanian sangat luas dengan produksi tinggi, malah impor beras lagi. Terasa dekali adanya pengaruh oligarki pada importasi pangan.

Kepada Siapa Negara Memihak?

Alih-alih mendorong kesejahteraan petani, impor pangan yang dilakukan pemerintah justru berdampak buruk terhadap kemiskinan. Kualitas pertumbuhan ekonomi pun menerima efek buruknya. Kebijakan impor beras demi cadangan beras, justru membuat petani tak akan mendapat keuntungan apa pun.

Salamuddin Daeng, seorang pengamat ekonomi politik mengatakan, Indonesia dari hulu ke hilir menerapkan pasar bebas. Jika harga beras bergejolak, pemerintah tak mampu memberikan proteksi. Karena pertanian beras diserahkan ke pasar bebas yang sangat kompetitif. Para importir memiliki akses kepada kekuasaan untuk menembak beras impor ketika mengumpulkan beras di tingkat petani dipandang harganya lebih mahal. Inilah pengaturan politik pertanian yang ada  saat ini, jauh dari arah kemaslahatan petani.

Terbaca terang adanya tarik-menarik kepentingan antara politik pangan dan politik dagang. Arah  politik dagang adalah membeli beras di luar untuk dijual di dalam negeri. Jika negara menggunakan cara ini, tentu petani yang jadi korbannya. Perani  menanggung resiko hancurnya harga beras. Mereka menjadi merana karena harga beras anjlok tak sebanding dengan mahalnya biaya produksi pertanian mereka.   Kendali politik berpadu saling menguntungkan dengan kendali ekonomi. Inilah realitas oligarki.
Posisi negara pun makin jelas bukan di pihak petani, bahkan tunduk kepada oligarki.

Kebijakan Pangan dalam Islam

Harus diakui, Indonesia gagal merealisasi kedaulatan dan kemandirian pangan. Hal ini detidaknya tampak dari dua hal. Pertama, ketergantungan pada impor. Kedua, menjadikan impor sebagai penyelesai masalah instabilitas harga pangan. Langkah ini akan menjauhkan negara dari upaya yang benar dalam mewujudkan pemenuhan pangan rakyat.

Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam menjelaskan, pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi. Permasalahan pertanian yang tidak dapat diselesaikan dapat mengguncang perekonomian, bahkan menyebabkan negara menjadi lemah dan tergantung pada negara lain.

Sementara itu menurut pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, Islam menetapkan bahwa politik pengaturan pangan ditujukan untuk melayani masyarakat, yakni menjamin pemenuhan pangan bagi setiap individu tanpa terkecuali. Dalam hal ini, negara Khilafah akan mengoptimalkan penyediaan pasokan pangan dari dalam negeri dengan melaksanakan konsep pertanian Islam. Kedaulatan pangan bakal terwujud dan negara bebas dari ketergantungan pada negara lain.

Negara Islam  akan memaksimalkan potensi pertanian dalam negeri dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada. Termasuk melakukan modernisasi pertanian dan sinergi antarwilayah sehingga tidak memerlukan melakukan impor. Penerapan sistem Islam akan  membuahkan kesejahteraan. Jika bangsa ini mau kembali pada syariat Islam sebagai patokan kebijakan, niscaya  akan terwujud kesejahteran disamping tercipta kedaulatan pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun