Belakangan ini terus bergulir wacana konversi kendaraan bermotor ke motor listrik. Â Untuk tujuan ini, subsidi sebesar Rp6,5 juta bakal diluncurkan oleh pemerintah guna pembelian motor listrik. Faktor pendorong kebijakan konversi ini adalah untuk mengurangi konsumsi BBM yang selama ini dipandang menyedot APBN. Berdasarkan kalkulasi pemerintah penggunaan konversi, 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik bisa menghemat BBM hingga 8,1 juta kilo liter serta mengurangi emisi CO sebesar 17,6 juta ton.
Di samping motor listrik, Â pemerintah juga bakal bagi-bagi 680.000 unit rice cooker gratis kepada masyarakat dengan anggaran senilai Rp300 miliar. Â Kementerian ESDM menghitung, program itu dapat menghemat subsidi LPG 3 kg hingga Rp52,2 miliar dengan total biaya pengadaan Rp240 miliar di tahun mendatang. (Tirto, 1-12-2022).
Kebijakan  pemberian subsidi ini belumlah final, namun patut dikritisi. Pasalnya, pemerintah sering gagal merumuskan masalah dan memberi solusi  untuk yang memihak pada kepentingan rakyat secara tepat. Kewajiban mengurus kebutuhan rakyat acapkali dilakukan melalui kebijakan yang tidak matang sehingga malah menimbulkan persoalan baru.
Solusi Bagi-bagi Tidak Tepat
Ada beberapa perkara yang perlu kita dicermati buat telaah kritis terkait kebijakan bagi-bagi rice cooker dan konversi ke motor listrik. Berikut ulasannya.
Pertama, kebijakan kurang tepat. Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), memandang, penggunaan motor listrik untuk masa depan merupakan pilihan tepat. Namun ia menganggap pemberian subsidi ke motor listrik sebagai strategi transisi merupakan cara yang kurang tepat. Menurutnya, lebih tepat penggunaan anggaran subsidi tersebut diperuntukkan perbaikan infrastruktur berupa pembangunan dan perbaikan transportasi umum. Ia menilai penguatan transportasi publik, maka akan mengurangi kemacetan, pencemaran dan serta bisa menekan inflasi.
Kedua, mengada ada dan mubazir.  Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi UGM menilai pengurangan penyerapan listrik dengan memakai rice cooker tidak signifikan jika bertujuan untuk mengatasi over supply listrik. Menurutnya, penghematan LPG 3 kg dengan bagi-bagi rice cooker berbeda dengan kompor listrik yang sebelumnya juga telah banyak menuai kritik. Pasalnya, ice cooker sebatas berguna untuk menanak nasi, sedangkan memasak makanan yang lain masih  perlu memakai LPG 3 kg.
Ketiga, perencanaan kurang matang. Kekurangmatangan konsep ini terlihat, belum usai mengurai masalah hulu, malah sibuk mengurus perkara di hilir. Inftastruktur pendukung penggunaan motor listrik belum siap,  pemerintah sudah mengobral subsidi pembelian motor. Selayaknya, penggunaan motor listrik ditopang dengan infrastruktur  mendukung yang memadai. Misalnya, ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang  dan distribusinya di banyak wilayah Termasuk bengkel-bengkel perawatan motor listrik yang cukup dengan harga yang terjangkau.
Bayangkan repotnya, bila masyarakat membeli motor listrik bersubsidi, tetapi untuk mengisi ulang baterainya langka atau jika motornya mau diperbaiki, bengkelnya masih minim. Â Juga perlu dipikirkan oleh pemerintah, bagaimana penanganan limbah baterai yang dihasilkan dari penggunaan motor listrik tersebut? Jangan sampai kebijakan yang tujuannya menciptakan kendaraan ramah lingkungan malah menurunkan masalah baru.
Keempat, tingginya biaya konversi motor listrik. Kebanyakan masyarakat enggan melakukan konversi kendaraan ke motor listrik karena harganya mahal. Selain itu, Â perawatan dan pengisian kendaraan listrik belum banyak sehingga kurang fleksibel bagi mereka yang menjadikan motor berbahan bakar minyak. Hal itu akan sangat terasa bagi memakai motor sebagai tumpuan dalam mencari nafkah.
Hari ini, sebenarnya masyarakat lebih memerlukan hal pokok ketimbang motor listrik atau rice cooker. Mereka lebih memerlukan  jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan kepastian kerja bagi kepala keluarga.
Konversi motor dan Penanak Nasi, Demi Siapa?
Kebijakan bagi-bagi rice cooker, Â tidak terlalu signifikan terhadap upaya pengurangan penggunaan gas LPG. Sementara itu pihak yang diuntungkan atas kebijakan ini adalah korporasi alias pengusaha. Pembagian rice cooker gratis tentu membutuhkan perusahaan yang akan memproduksinya secara massal.
Alasan pemerintah dengan bagi-bagi rice cooker karena diprediksi akan meningkatkan konsumsi listrik. Kebijakan ini sejalan dengan upaya  menggenjot penggunaan listrik untuk mengatasi over supply yang terus terjadi selama sembilan tahun terakhir. Selama periode 2013---2021 total pasokan listrik PLN  jumlahnya selalu lebih banyak sekitar 28 ribu---30 ribu GWh dibanding total listrik yang terjual.
Berikutnya  pemerintahmenetapkan aneka kebijakan yang dapat mendorong masyarakat mengonsumsi penggunaan listrik, seperti menaikkan daya pelanggan, mobil listrik, motor listrik, dan kompor listrik, dan rice cooker dengan tujuan agar over supply listrik PLN dapat terserap.
Over supply listrik PLN merupakan akibat kebijakan ambisius pemerintah yang meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW pada Mei 2015 lalu. Tujuan awal ingin mewujudkan kemandirian dan kedaulatan energi, terjadi malah sebaliknya, Indonesia justru banyak bergantung pada swasta untuk merealisasikan kebijakannya.
Inilah realitas pengurusan negara dalam sistem kapitalisme. Apa saja yang membawa keuntungan bagi korporasi, bakal berjalan. Konsep ekonomi liberal yang digagas kapitalisme telah melahirkan kebijakan yang mengangkat konsumsi, investasi, dan ekspor impor. Investasi dianggap baik selama mendorong pertumbuhan ekonomi, minus perhatian pada aspek distribusi.
Harus  Memiliki Visi Mandiri
Kemandirian adalah kemampuan mengatur diri sendiri dan tidak bergantung pada pihak lain. Bagaimanakah Indonesia dalam mandiri energi? Tambang emas dan batu bara yang merupakan  harta rakyat, faktanya dikuasai korporasi. Kebijakan bagi-bagi rice cooker dan konversi kendaraan ke listrik jelas bukan bentuk madiri, tersebab realisasi kebijakannya membutuhkan campur tangan pihak ketiga, yaitu korporasi.
Untuk mewujudkan kemandirian hakiki, negara harus merevolusi industri dari industri konsumtif menjadi industri strategis, yaitu membangun industri alat-alat berat yang nantinya menyokong industri lainnya untuk berkembang.Â
Negara harus menjadi pengelola harta milik umum, semisal batu bara yang menjadi bahan bakar pembangkit listrik, tanpa diserahkan kepada swasta, baik domestik maupun asing. Revolusi industri ini hanya bisa terwujud jika pengelolaan SDA dikembalikan pada syariat Islam. Kemandirian energi tatkala negara menerapkan politik ekonomi berazakan Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H