Mohon tunggu...
Muhammad Ilman Abidin
Muhammad Ilman Abidin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Fakultas Hukum UNISBA

Dosen dan Pengacara yang mendalami bidang keilmuan terutama Hukum Teknologi, seperti Blockchain, Cryptocurrencies, NFT dan Hukum Bisnis dalam bidang teknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Artificial Intelligence untuk Revolusi Penegakan Hukum di Indonesia

7 Juli 2023   10:00 Diperbarui: 7 Juli 2023   10:07 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Teknologi berbasis kecerdasan buatan sangat berkembang pesat dan mempengaruhi setiap bagian dari kehidupan pribadi dan profesional kita, contoh yang paling populer pada saat ini adalah dengan hadirnya Chat-GPT. Hal yang sama juga terjadi pada proses penegakan hukum dan kepolisian di berbagai negara. Personel kepolisian telah menggunakan perangkat lunak untuk pencegahan kejahatan, pengendalian kerumunan, dan pengenalan wajah selama beberapa tahun.

Teknologi kecerdasan buatan yang fantastis mungkin sering kita lihat di film-film hollywood dan buku-buku fiksi. Saat ini, teknologi semacam ini digunakan dalam penegakan hukum serta aspek lain dari kehidupan kita. Robot membantu dalam mengawasi tempat-tempat yang memiliki keamanan tinggi dan berisiko seperti pembangkit listrik dan lokasi bangunan serta area dengan keamanan rendah seperti mal.

Algoritme digunakan dalam teknologi AI untuk memeriksa volume data yang sangat besar dengan cepat. Ketika perangkat lunak menangkap aktivitas manusia, pada akhirnya perangkat lunak ini memiliki kapasitas untuk meniru dan memprediksi perilaku di masa depan. Adopsi AI dalam penegakan hukum diproyeksikan akan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan dan akurasi teknologi.

Salah satu penggunaan teknologi AI yang paling banyak digunakan adalah pengenalan wajah atau face recognition. Personel polisi dapat mengidentifikasi seseorang secara positif berkat teknologi pengenalan wajah. Mereka tidak lagi diharuskan untuk melakukan referensi silang secara manual antara beberapa database. Sebagian besar program perangkat lunak ini tidak hanya menangkap gambar yang sebenarnya tetapi juga informasi biometrik. Identifikasi yang lebih tepat dimungkinkan oleh data biometrik. Meskipun teknologi pengenalan wajah memiliki keterbatasan yang melekat, keakuratannya dapat ditingkatkan dengan menambahkan data biometrik.

Di beberapa negara maju di dunia, para penegak hukum menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk:

  • Menemukan individu yang dicari dengan lebih mudah;
  • Mengidentifikasi orang yang ditampilkan dalam gambar dengan risiko positif palsu yang lebih kecil;
  • Menetapkan identitas korban yang terluka atau tidak sadarkan diri dalam kecelakaan lalu lintas;
  • Mengonfirmasi identitas seseorang secara retrospektif dan mengecek ulang dengan database yang ada.

Berkat perkembangan yang cukup besar selama beberapa tahun terakhir, teknologi pengenalan wajah sekarang juga dapat digunakan secara langsung. Di negara Inggris, pengenalan wajah secara langsung atau Live Facial Recognition (LFR) membandingkan umpan kamera dengan daftar pantauan penjahat yang dikenal dan dicari, misalnya. Karena bekerja dalam waktu nyata, LFR memungkinkan pasukan polisi tiba di lokasi dalam hitungan menit ketika perangkat lunak menemukan kecocokan.

Identifikasi orang yang dicari selalu menjadi aspek penting dalam aktivitas kepolisian. Meskipun AI dapat membuat proses tersebut menjadi lebih baik, pencegahan dan prediksi kejahatan adalah di mana teknologi ini benar-benar bersinar.
Perangkat lunak dengan kecerdasan buatan dapat mengevaluasi data dalam jumlah besar, termasuk umpan CCTV. Selain mencari wajah, mesin ini juga dapat menemukan tren, pola perilaku, dan korelasi lainnya dengan lebih cepat daripada yang bisa dilakukan oleh manusia. Manusia jauh tertinggal dari teknologi dalam hal jumlah data yang dapat dievaluasi.

Meskipun analisis adalah landasan dari semua aplikasi AI, pembelajaran mesin adalah hal yang memungkinkan perangkat lunak untuk mengambil keputusan yang menyerupai keputusan manusia. AI dapat meramalkan masa depan dengan menggunakan temuan-temuan tersebut. Meskipun terlihat sederhana, pembelajaran mesin membutuhkan waktu dan beberapa langkah.

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan dimotivasi oleh banyak faktor, seperti mood dan faktor genetik. Di masa depan, secara teoritis perangkat lunak dapat mengambil alih semuanya dan mengaplikasikannya sendiri. Namun, AI saat ini mendukung polisi dan penegak hukum dalam kapasitas sebagai pendukung tambahan saja. Saat ini, teknologi tidak dapat menggantikan polisi manusia.

Misalnya, perangkat lunak AI dapat mengenali pola perilaku dan mengantisipasi kemungkinan kejahatan di masa depan berdasarkan hal tersebut melalui analisis data. Namun, pemolisian prediktif yang hanya mengandalkan teknologi masih menjadi perdebatan. Tapi di masa depan, pemolisian semacam ini mungkin tidak akan membuat kita terkejut.

Kepolisian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia selalu mengeluhkan banyaknya dokumen yang harus diselesaikan oleh petugas setelah menanggapi sebuah insiden. Membuat dan memperbarui berkas kasus membuat petugas tidak fokus pada pekerjaannya dan membahayakan keselamatan masyarakat.

Mengurangi laporan kasus juga akan menjadi masalah, karena laporan tersebut sering kali menjadi dasar dari keberhasilan penuntutan kejahatan. AI dapat membantu dengan secara otomatis mengambil data yang relevan, mengurangi waktu yang dihabiskan petugas untuk membuat laporan. Petugas mungkin harus menganalisis dan memberi keterangan pada data yang telah diperoleh, tetapi mereka mungkin akan menghabiskan waktu yang jauh lebih sedikit dibandingkan jika proses tersebut dilakukan secara manual.

Pengumpulan data dengan teknologi AI dan pengecekan fakta selanjutnya tidak hanya meminimalkan waktu yang dibutuhkan.
Selain itu, hal ini mengurangi kemungkinan adanya prasangka atau kesalahan manusia yang seringkali kita temukan dalam laporan kepolisian.

Munculnya Kecerdasan Buatan (AI) telah membawa perubahan transformatif dalam lanskap penegakan hukum, khususnya di bidang pemolisian prediktif. Pemolisian prediktif melibatkan penggunaan analisis data untuk mengantisipasi dan mencegah aktivitas kriminal sebelum terjadi. Dengan memanfaatkan teknologi AI, lembaga penegak hukum sekarang mampu menganalisis kumpulan data yang sangat besar secara real-time untuk mengungkap pola dan tren yang dapat membantu meramalkan potensi kegiatan kriminal atau mengidentifikasi area berisiko tinggi. Kemampuan prediksi tersebut memungkinkan penegak hukum untuk menjadi lebih proaktif, mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien, dan mengintervensi situasi sebelum meningkat menjadi kejahatan serius.

Algoritme pembelajaran mesin, komponen penting dari AI, memainkan peran penting dalam pemolisian prediktif. Algoritme ini belajar dari data kejahatan historis, dengan mempertimbangkan variabel seperti jenis kejahatan, lokasi, tanggal, dan waktu. Melalui pembelajaran berulang, algoritme menyempurnakan prediksinya, menjadi lebih akurat dari waktu ke waktu. Model yang lebih canggih dapat memperhitungkan data eksternal seperti indikator sosioekonomi, kondisi cuaca, dan peristiwa lokal, yang dapat memengaruhi tingkat kejahatan. Hasilnya adalah sistem yang dinamis dan cerdas yang menawarkan kepada penegak hukum pandangan resolusi tinggi tentang pola kejahatan potensial dan titik-titik rawan, membantu mereka dalam mengambil keputusan berdasarkan data.

Terlepas dari manfaat signifikan yang diberikan oleh kebijakan prediktif, hal ini bukannya tanpa kontroversi dan tantangan. Para kritikus berpendapat bahwa praktik ini dapat menyebabkan pelanggaran privasi, pemolisian yang berlebihan terhadap lingkungan tertentu, dan mengabadikan bias jika data historis yang digunakan miring atau diskriminatif. Objektivitas AI hanya sebaik data yang digunakan untuk melatihnya. Oleh karena itu, sangat penting bahwa penerapan pemolisian prediktif berbasis AI harus transparan, diatur dengan hati-hati, dan memasukkan langkah-langkah untuk memeriksa dan mengoreksi potensi bias atau penyalahgunaan. Di tangan yang tepat, dan dengan pertimbangan etika yang benar, AI dan pemolisian prediktif dapat merevolusi pencegahan kejahatan, membuat masyarakat menjadi lebih aman dan nyaman.

Referensi :


Ferguson, Andrew Guthrie. The Rise of Big Data Policing: Surveillance, Race, and the Future of Law Enforcement. NYU Press, 2019.

Jahankhani, Hamid, et al. Policing in the Era of AI and Smart Societies. Springer Nature, 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun