Mohon tunggu...
Nailah Ilma Hamuda
Nailah Ilma Hamuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah seorang mahasiswi tahun pertama program studi psikologi. Saya memiliki ketertarikan yang besar akan tingkah laku manusia. Saya juga cukup menyukai kegiatan menulis dan berharap tulisan saya dapat bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Berperan dalam Peradaban

29 April 2023   17:49 Diperbarui: 29 April 2023   17:50 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nara! Berhenti dulu," ucap suara di belakangku. Aku berhenti melangkah, menoleh ke belakang---ke arah suara itu. "Ada apa?" ucapku padanya. "Kamu beneran mau lanjut S2 di Jepang?" tutur lelaki itu seraya membenarkan bingkai kacamatanya. "Oh, soal itu. Iya, kenapa memangnya?" tuturku. "Ngobrol dulu, yuk, bentar di taman kampus," balasnya. Aku yang tak mengerti apa yang akan ia katakan, memilih mengangguk saja. Siapa tahu ada info tentang perguruan tinggi yang akan aku jalani.

Kami berdua sampai di taman, lantas duduk di bangku taman---berhadap-hadapan. "Nara," ucapnya pelan. "Iya? Gimana-gimana?" ucapku tak sabaran. "Mau ngomong apa sih, Ham?" lanjutku. Hening. Ilham lagi-lagi membenarkan bingkai kacamatanya. Ia terlihat gugup. "Mmm, aku mau mengkhitbah kamu Na," ucapnya kemudian. Deg! Apaan sih? Tiba-tiba mau ngelamar? Dia tidak sedang bohong kan? "Hah?" aku terkejut dan tak bisa berkata-kata. Kulihat Ilham menyentuh tengkuknya dan memalingkan muka. Aku pun kehilangan kata-kata dan bingung harus berbuat apa.

"Aku-aku tau kamu pasti kaget, Na. Aku juga tak menyangka bisa mengatakannya secepat ini. Mm..besok malam aku akan datang ke rumahmu. Duluan ya, Assalamualaikum." Ilham sudah melangkah pergi, langkahnya terburu-buru. Aku masih ternganga, tak percaya dengan apa yang terjadi. Astaga aku akan dilamar orang?! Dan orang itu Ilham! 

Ilham. Ah, dia. Wajahnya biasa saja. Tubuhnya tinggi tegap, kacamata bertengger indah di wajah kukuhnya. Kulitnya sawo matang, lesung pipinya begitu dalam. Namun hanya di sebelah kiri saja. Berkebalikan dengan diriku yang hanya memiliki satu lesung di sebelah kanan---meskipun tidak sedalam dia. 

Aku berjalan lunglai. Masih tak habis pikir dengan apa yang baru saja dikatakan Ilham. Aku ini kan mau lanjut S2, kenapa dia tiba-tiba mengajak menikah sih?

"Assalamualaikum," ucapku seraya membuka pintu rumah. "Waalaikumsalam," balas ibuku yang sedang menonton televisi. "Tumben pulang jam segini?" lanjut ibu. "Iya ni Bu, cuma ada satu matkul," tuturku. "Kamar dulu ya, Bu," lanjutku seraya melangkahkan kakiku ke kamar. Ibu mengangguk. Pikiranku melayang ke pertemuanku dengan Ilham tadi. 

***

Jam dinding menunjukkan pukul 20.00 WIB. Aku duduk di depan televisi, ikut memakan makaroni di dalam toples. Ada ayah dan ibu di sana. "Bu, ibu," ucapku agak lirih. "Hm," jawabnya. "Aku kan..." suaraku tercekat. Aku ragu untuk mengatakannya. "Kenapa? Gimana-gimana?" jawab ibu diikuti tolehan kepala ayahku. "Hehe, kan-kan aku 2 bulan lagi insyaallah udah berangkat ke Jepang kan..." ucapku terkekeh. "Mau dibeliin jajan yang banyak hm?" tambah ayahku. "Hehe, ya mau lah Yah kalau itu. Tapi tuu, Yah, Bu..Tadi tiba-tiba," aku menelan ludah. Duh! Susah sekali mengatakannya saja. "Udah bilang aja, kenapa?" jawab ibu terlihat gemas. "Ilham bilang mau lamar aku, Bu, Yah," tuturku.

"Apa?" pekik ayah dan ibu bebarengan. "Kapan itu kapan?" lanjut ayah. "Besok malem katanya, Yah," tuturku lesu. "Kan aku tu mau S2 ya, apa aku tolak aja? Aaargh," ucapku seraya mengacak-acak rambutku. "Loh jangan gitu, Nak. Kamu pertimbangin  dulu, istikhoroh dulu, kalau yang ngelamar lelaki baik-baik, kenapa enggak?" ucap ibu lembut. "Ayah setuju tu Nak. Lagian usia kamu kan juga udah gede." "Aku masih 22 loh, Yah. Gede apanya sih, aku kan mau S2 juga," gerutuku. "Coba deh kamu diskusiin sama Ilhamnya dulu. Eh-eh, tapi kamu ini emang udah yakin banget mau nerima Ilham? Aduh-aduh anak ayah ternyata emang suka," ledek ayah.  "Ih, nggak juga. Gatau deh, huh," ucapku kesal. Aku berdiri, lantas masuk ke kamar.  

***

Tok tok! "Assalamualaikum," terdengar suara dari luar.

 "Yah.. Ayah, aduh itu dah dateng, Yah," ucapku seraya berlari terbirit ke arah ayah.

"Iya, tenang dong Na, udah kamu ntar bawain minumannya ya, biar ayah sama ibu yang nyambut. Jangan lupa dandan yang cantik," goda ayah lagi dengan senyum khasnya. 

Jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan nanti. Kudengar suara Ilham dari ruang tamu. Jantungku makin tak karuan. Apakah aku benar-benar mencintai Ilham? 

Tanganku gemetar, aku membawa nampan berisi 5 buah gelas dan setoples camilan---untuk keluarga Ilham. Aku berputar-putar di dapur. Aku gugup sekali. Perlahan, aku memantapkan langkahku. Aku memasuki ruang keluarga, kutundukkan pandangan sedalam-dalamnya. Aku tak berani menatap mereka. "Silahkan diminum," ucapku seraya meletakkan gelas dan toples. "Sini, Nak duduk," ucap ayahku sambil tersenyum. Duh rasanya semakin gugup aku ini. "Iya, Yah," ucapku. Deg! Saat itulah mataku dan Ilham beradu di titik yang sama. Cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku. Aku duduk di tengah-tengah ayah dan ibu. Berhadapan langsung dengan Ilham. 

"Karena sudah ada Nara di sini, saya langsung ke intinya saja, saya ingin melamarkan putri bapak untuk anak saya, Ilham. Bagaimana kiranya, apakah putri bapak bersedia?" ucap ayah Ilham. 

"Alhamdulillah, saya sangat senang dengan kedatangan bapak-ibu sekeluarga. Kami dengar-dengar, Ilham dan Nara juga sudah mengenal sejak lama. Untuk bagaimana keputusannya, kami serahkan sepenuhnya pada putri kami, Nara," tutur ayahku. Ibuku mengelus tanganku lembut. Hening beberapa saat.

"Ehm, jujur saya kaget sekali ketika Ilham tiba-tiba mengatakan akan melamar saya. Tapi itu adalah suatu bentuk keseriusan yang saya apresiasi. Dan, dan saya-saya menolak lamaran ini," kulihat raut kecewa dari wajah Ilham, ia menunduk semakin dalam. "kecuali-kecuali saya tetap diperbolehkan menempuh S2 saya," lanjutku. Kepala Ilham terangkat, memandangku penuh. Pun ayah dan ibunya. "Begitulah, Pak, Bu, putri saya sangat ingin melanjutkan pendidikan S2 nya. Bagaimana, apakah Nak Ilham menyanggupi?" tanya ayah.

"Insyaallah saya menyanggupi, Pak. Tapi saya ingin bertanya satu hal pada Nara," ucap Ilham tegas, kembali menundukkan pandangannya. "Silahkan, Nak," balas ayah.

"Nara, aku akan memperbolehkanmu melanjutkan S2 setelah kita menikah, tapi.. mm bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu bekerja?" ucap Ilham dalam. Aku meneguk ludah, lantas menjawab lirih, "Tak masalah, aku-aku hanya ingin bisa menjadi madrasah pertama yang baik untuk anakku kelak. Aku ingin bisa menuntut ilmu sebaik yang aku bisa. Jadi, kau memperbolehkan aku berkuliah?" ucapku seraya mengangkat kepala. Ilham mengangguk mantap. "Aku menerima lamaranmu," ucapku pada akhirnya. Kulihat wajah bahagia Ilham di sana. Senyum terukir di wajahnya. "Masyaallah, alhamdulillah terimakasih Nara," ucap lelaki yang tak lama lagi akan menjadi suamiku ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun