"Yah.. Ayah, aduh itu dah dateng, Yah," ucapku seraya berlari terbirit ke arah ayah.
"Iya, tenang dong Na, udah kamu ntar bawain minumannya ya, biar ayah sama ibu yang nyambut. Jangan lupa dandan yang cantik," goda ayah lagi dengan senyum khasnya.Â
Jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan nanti. Kudengar suara Ilham dari ruang tamu. Jantungku makin tak karuan. Apakah aku benar-benar mencintai Ilham?Â
Tanganku gemetar, aku membawa nampan berisi 5 buah gelas dan setoples camilan---untuk keluarga Ilham. Aku berputar-putar di dapur. Aku gugup sekali. Perlahan, aku memantapkan langkahku. Aku memasuki ruang keluarga, kutundukkan pandangan sedalam-dalamnya. Aku tak berani menatap mereka. "Silahkan diminum," ucapku seraya meletakkan gelas dan toples. "Sini, Nak duduk," ucap ayahku sambil tersenyum. Duh rasanya semakin gugup aku ini. "Iya, Yah," ucapku. Deg! Saat itulah mataku dan Ilham beradu di titik yang sama. Cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku. Aku duduk di tengah-tengah ayah dan ibu. Berhadapan langsung dengan Ilham.Â
"Karena sudah ada Nara di sini, saya langsung ke intinya saja, saya ingin melamarkan putri bapak untuk anak saya, Ilham. Bagaimana kiranya, apakah putri bapak bersedia?" ucap ayah Ilham.Â
"Alhamdulillah, saya sangat senang dengan kedatangan bapak-ibu sekeluarga. Kami dengar-dengar, Ilham dan Nara juga sudah mengenal sejak lama. Untuk bagaimana keputusannya, kami serahkan sepenuhnya pada putri kami, Nara," tutur ayahku. Ibuku mengelus tanganku lembut. Hening beberapa saat.
"Ehm, jujur saya kaget sekali ketika Ilham tiba-tiba mengatakan akan melamar saya. Tapi itu adalah suatu bentuk keseriusan yang saya apresiasi. Dan, dan saya-saya menolak lamaran ini," kulihat raut kecewa dari wajah Ilham, ia menunduk semakin dalam. "kecuali-kecuali saya tetap diperbolehkan menempuh S2 saya," lanjutku. Kepala Ilham terangkat, memandangku penuh. Pun ayah dan ibunya. "Begitulah, Pak, Bu, putri saya sangat ingin melanjutkan pendidikan S2 nya. Bagaimana, apakah Nak Ilham menyanggupi?" tanya ayah.
"Insyaallah saya menyanggupi, Pak. Tapi saya ingin bertanya satu hal pada Nara," ucap Ilham tegas, kembali menundukkan pandangannya. "Silahkan, Nak," balas ayah.
"Nara, aku akan memperbolehkanmu melanjutkan S2 setelah kita menikah, tapi.. mm bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu bekerja?" ucap Ilham dalam. Aku meneguk ludah, lantas menjawab lirih, "Tak masalah, aku-aku hanya ingin bisa menjadi madrasah pertama yang baik untuk anakku kelak. Aku ingin bisa menuntut ilmu sebaik yang aku bisa. Jadi, kau memperbolehkan aku berkuliah?" ucapku seraya mengangkat kepala. Ilham mengangguk mantap. "Aku menerima lamaranmu," ucapku pada akhirnya. Kulihat wajah bahagia Ilham di sana. Senyum terukir di wajahnya. "Masyaallah, alhamdulillah terimakasih Nara," ucap lelaki yang tak lama lagi akan menjadi suamiku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H