"Tuhanku,
aku tak mampu berpikir cepat,
dan tubuhku tak sekuat mereka,
di keramaian aku bukan siapa2,
namun
aku masih punya harapan,
karena memiliki-Mu;
semua kesulitan bukanlah apa2,
merasakan keberadaan-Mu aku tenang
untuk terus berjalan, berlari, dan terbang ..." (based on true story)
"Spiritual intelligence is the central and most fundamental of all the intelligences, because it becomes the source of guidance for the others." SQ menjadi kemampuan paling dasar dari semua kecerdasan yang ada. (Stephen Covey, 2004).
Terminologi SQ (Spiritual Quotient) sebagai parameter dari Spiritual Intelligence diperkenalkan pertama kali oleh Danah Zohar pada 1997 dalam bukunya ReWiring the Corporate Brain. Dari tahun ke tahun terus berkembang dan mendapat dukungan riset dari berbagai institusi psikologi perkembangan dan universitas di seluruh dunia, hingga sekarang. Definisi SQ di-review oleh Oleh Cindy Wigglesworth dalam bukunyaThe Twenty One Skills of Spiritual Intteligence (2012) sebagai kemampuan untuk bersikap bijak dan sabar, menjaga keseimbangan batiniah dan lahiriah, dan menggunakan kemampuannya itu untuk hidup dan bertahan dalam berbagai situasi.
Spiritual intelligence dikonsepkan sebagai suatu evolusi teori kecerdasan terkini, melengkapi IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) yang lebih dahulu dikembangkan. Jika IQ adalah parameter kecerdasan logika klasik matematika dan verbal (pemahaman terhadap dunia fisik/material capital), dan EQ adalah parameter kemampuan inter-relasi (social capital); maka SQ didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mentranspose dua aspek kecerdasan IQ dan EQ menuju kebijaksanaan dan pemahaman yg lebih mendalam hingga dicapai kedamaian dan keseimbangan lahiriah dan batiniah (spiritual capital). Secara singkat, IQ adalah bekal untuk menjawab pertanyaan : "apa yg kupikirkan", EQ untuk "apa yang kurasakan?", sedangkan SQ untuk menjawab "siapa aku?"
Sama dengan Goleman sang perumus EQ, Cindy Wigglesworth mencoba merumuskan 21 aspek SQ dan menggolongkannya ke dalam 4 kuadran sebagai berikut (dengan rincian lengkap masing-masing kuadran bisa dilihat pada lampiran gambar di bawah) :
- Ego self Awareness : kemampuan mengenali diri sendiri secara menyeluruh
- Universal Awareness : kemampuan memahami kompleksitas diri sendiri dan kaitannya dengan lingkungan universal/realitas non-materi
- Ego self Mastery : kemampuan pengendalian diri secara transenden dan spiritual
- Spiritual Presence : kemampuan berlaku efektif dan membawa pengaruh spirit terhadap lingkungannya.
Sebelumnya David B. King (2009) seorang peneliti SQ dari Trent University in Peterborough, Ontario, Canada telah merumuskan SQ sebagai kapasitas mental yg berakar pada aspek non-materi dan transendental dari fakta dan realita, dlm pernyataannya sbb.:
"...contribute to the awareness, integration, and adaptive application of the nonmaterial and transcendent aspects of one's existence, leading to such outcomes as deep existential reflection, enhancement of meaning, recognition of a transcendent self, and mastery of spiritual states." (King, 2009).
King menyebutkan 4 dasar kemampuan SQ sbb. :
- Critical Existential Thinking: kemampuan untuk memahami eksistensi alam serta hal-hal non-eksistensial yg berada di baliknya.
- Personal Meaning Production: kemampuan untuk memaknai pengalaman fisik dan mental, termasuk merumuskan tujuan hidup.
- Transcendental Awareness: kemampuan memahami dimensi transenden dari diri sendiri, orang lain, dan dunia fisik dalam pemahaman non-materialistik.
- Conscious State Expansion: kemampuan untuk memasuki tingkat kesadaran yang lebih tinggi; mencapai pemahaman akan kesadaran murni, cosmic consciousness, kesatuan, ke-Esa-an; misalnya lewat kontemplasi, meditasi, doa, ritual ibadah.
Singkatnya, SQ adalah kemampuan sesorang untuk mentranspose segala permasalahan kepada makna dan fungsi yang paling mendasar/hakiki. Dengan bahasa saya sendiri, SQ adalah kemampuan seseorang untuk memahami kesejatian. SQ merupakan ukuran terhadap kemampuan seseorang untuk melampaui fase keinginan pemenuhan akan materi, pemenuhan akan status dan ketrampilan inter-relasi sosial, dan selanjutnya mengarahkan dan menggabungkan semua aspek ke muaranya, yaitu pemahaman pada Yang Paling Hakikat. SQ adalah kemampuan untuk terbang melebihi aspek materi (IQ) dan keriuhan relasi (EQ). Bukan tidak peduli pada kedua hal tersebut, melainkan mampu mengendalikan dan melingkupinya. Jika dalam teori klasik piramida kebutuhan Maslow, SQ adalah kemampuan untuk memahami kebutuhan melebihi puncak piramid yang tertinggi, yaitu pengakuan ego/eksistensial.
Apakah SQ tumbuh? Bekal SQ yang mendasar diperoleh dari keluarga, sejak jabang bayi ada di dalam kandungan. Secara alamiah sangat logis bahwa kondisi ibu sangat mempengaruhi spiritualitas janin yang dikandungnya. Berbagai neurotransmiter yang dikeluarkan oleh Ibu akan tembus plasenta dan mempengaruhi pertumbuhan neuron dan memori selama janin tumbuh. Dari aspek anatomi fisiologis, jaringan neuron otak terbentuk hingga 70 persen selama janin dalam kandungan, disempurnakan menjadi 90 persen sampai usia 5 tahun, sisanya hanya 10 persen dilanjutkan hingga awal usia remaja. Dengan demikian, situasi dan lingkungan saat bayi lahir, tumbuh,dan berkembang tentu sangat mempengaruhi kecerdasan, bukan hanya IQ, namun EQ, dan SQ. Pertumbuhan neuron bukan hanya didukung oleh makanan, namun juga oleh impuls-impuls/rangsangan dari luar. Saraf pendengaran dan perasa sudah berfungsi sejak dini saat janin tumbuh. Dia bisa bergerak, merasa, mendengar, mengikuti suara, tersenyum, juga menangis, selama masih ada di dalam kolam ketuban.
Timbul pertanyaan, sama dengan IQ dan EQ, apakah SQ bisa ditingkatkan? Kebanyakan psikolog tentu sepakat bahwa SQ bisa dikembangkan. Tanpa kenal batas usia. Semua terlahir dengan bekal dan kesadaran spiritual dari Sang Pencipta. Namun, seorang anak yang terlahir dengan bakat musik tak akan mampu menjadi seorang pemusik hebat jika tdk belajar baik secara teori maupun praktik, demikian juga dgn spiritual intelligence. Untuk itu, dalam pengembangan SQ, diperlukan pemahaman spiritualitas baik secara teori maupun praktis. Pendekatan teori bisa diperoleh dari berbagai sumber, bisa dari membaca/belajar sendiri, mengamati dan merenungkan alam, berdiskusi, mengkaji, mengaji, dsb. Sedangkan untuk aspek praktis bisa dengan berbagai simulasi maupun berhadapan langsung dengan permasalahn riil.
Sebagai catatan, meski pendekatan SQ biasanya dibahas secara universal, terlepas/tidak identik dengan pendekatan agama tertentu, namun mau tidak mau agama yang dianut akan sangat melatari spiritualitas dari seseorang. Misalnya untuk muslim, solat dan puasa adalah ritual yang diharapkan dapat menjaga dan meningkatkan SQ. Karena dalam solat dan puasa diajarkan kesabaran, kontemplasi, dan pemaknaan transendental. Demikian juga ritual ibadah agama lain, biasanya terkandung latihan untuk memasuki kesadaran tertinggi.
Pada masa kini, di seluruh dunia bermunculan para “motivator” yang dibayar mahal. Berbagai pelatihan SQ makin hari makin banyak penggemar. Di Indonesia, kita kenal tokoh seperti Mario Teguh dan Ary Ginanjar yang mempromosikan pendekatan SQ dan mendapat atensi sangat luas. Menurut saya, semua itu sah-sah saja dan menjadi fenomena positif. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk belajar sendiri dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari supaya lebih matang dan tidak terasa “artificial” . Untuk itu, saya juga berharap bahwa teori SQ tidak dikembangkan atau digembar-gemborkan sekedar menjadi lahan untuk popularitas dan perolehan materi semata, karena jika itu yang terjadi, ruh dari SQ itu sendiri tdk akan pernah dicapai.
Bandung, 16 Januari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H