Mohon tunggu...
Ilham Veriandi
Ilham Veriandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa Hukum IBA

Memiliki Hobi membaca serta memiliki bakat dalam seni berdebat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Boy's Don't Cry?

9 Oktober 2024   10:35 Diperbarui: 9 Oktober 2024   10:38 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang-orang di sekitar kita menyebutkan bahwa laki-laki harus kuat, tahan banting, dan tidak boleh nangis. Hal ini disebut dengan toxic masculinity atau maskulinitas toksik. Toxic masculinity merupakan tekanan budaya patriarki yang tidak jarang menghasilkan gangguan mental pada laki- laki. Salah satu bentuk tekanan toxic masculinity adalah keharusan laki-laki untuk menekan emosi mereka agar tidak terlihat lemah. Toxic masculinity mengacu pada ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki. Di masyarakat, laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, aktif, agresif, tangguh, berani, tidak ekspresif secara emosional, dan dominan. Hal ini dipaksakan oleh lingkungan sosial, pertemanan, bahkan dunia sosial media.

Jika dilihat dari sudut pandang manusia sejak lama bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat dan pemberani, sedangkan perempuan sebagai sosok yang lemah lembut. Hal itu semakin memperkuat stereotip yang ada bahwa lelaki tidak boleh nangis. Sebuah penelitian oleh Profesor Ad Vingerhoets, Profesor Psikologi Klinis Universitas Tilburg, Belanda, yang dilansir dari BBC, memperlihatkan bahwa menahan air mata dapat memiliki efek negatif pada cara anak laki-laki mengekspresikan diri.

Menangis merupakan bentuk ekspresi emosi yang ditujukan untuk meluapkan emosi atau disebut juga dengan emotional crying. Jika pandangan bahwa laki-laki tidak boleh menangis ditanamkan dalam pola asuh maupun budaya, itu dapat terinternalisasi dan mungkin menghambat laki- laki untuk meluapkan emosi melalui tangisan. Ketika seseorang di dalam keluarga merasakan secure attachment dan keterbukaan, itu menjadi salah satu faktor yang membantu laki-laki atau perempuan untuk terbuka pada emosinya, termasuk menangis.

Menangis dan berkeluh kesah berlaku bagi setiap gender untuk meluapkan emosi dan tekanan dalam diri. Ada banyak alasan mengapa menangis seharusnya menjadi hal yang wajar dilakukan semua orang, laki-laki ataupun perempuan. Sedih adalah perasaan yang normal dan mengekspresikannya dengan menangis lebih baik daripada hal lain terutama melampiaskannya pada kekerasan 

Sumber : Maheyra Qaseema

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun