Bagi sebagian masyarakat, istilah stunting mungkin masih terdengar asing. Padahal, kasus stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang membutuhkan penanganan secara serius karena masih menjadi ancaman menakutkan bagi kondisi kesehatan anak-anak di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan Studi Kasus Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2021, angka prevalensi stunting di Indonesia mencapai 24,4% dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, yakni 37,8%. Dengan angka yang cukup tinggi tersebut, sudah sepatutnya jika hal ini menjadi bahan pembicaraan di tengah-tengah masyarakat kita. Lantas, apakah sebenarnya stunting itu?
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh kembang pada bayi di bawah lima tahun (balita) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga berdampak pada kondisi tubuh anak yang terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi sebenarnya telah terjadi sejak bayi berada dalam kandungan sampai pada masa awal setelah kelahiran. Akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
 Oleh karena itu, asupan nutrisi dan gizi yang seimbang seharusnya telah dipenuhi oleh seorang calon ibu sejak saat masa kehamilan agar calon anaknya nanti mampu tumbuh dan berkembang dengan optimal. Karena proses tumbuh kembang anak tak hanya berlangsung pesat ketika anak memasuki usia balita, tetapi justru 1000 hari pertama kehidupan anak (dimulai sejak hari pertama konsepsi) menjadi momen penting yang memengaruhi tumbuh kembangnya di masa anak-anak hingga beranjak dewasa.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2017) menyebutkan jika stunting disebabkan oleh banyak faktor, meskipun secara umum dikaitkan dengan masalah gizi. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
1. Praktik pengasuhan yang kurang baik
Hal ini termasuk juga kurangnya pengetahuan ibu mengenai makanan bergizi pada masa kehamilan. Air Susu Ibu (ASI) yang seharusnya diberikan eksklusif selama 6 bulan seringkali diabaikan karena beberapa alasan. Selain ASI, terdapat Makanan Pengganti ASI (MP-ASI) yang seharusnya diperkenalkan saat bayi berusia minimal 6 bulan. Kedua faktor ini sering dianggap remeh.
2. Terbatasnya layanan kesehatan, termasuk ANC (Ante Natal Care) dan Post Natal Care, dan pembelajaran dini yang berkualitas
Data Kemenkes dan Bank Dunia tahun 2013 menyebutkan jika kehadiran anak di posyandu menurun hingga 64% yang menyebabkan anak kekurangan layanan imunisasi. Fakta lainnya adalah 2 dari 3 ibu hamil tidak mengonsumsi suplemen zat besi serta terbatasnya akses layanan kesehatan.
3. Kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi
Kurangnya akses makanan bergizi ini menyebabkan 1 dari 3 ibu hamil mengalami anemia. Makanan bergizi saat masa kehamilan sangatlah penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan janin. Selain itu, makanan bergizi juga penting bagi 1000 hari pertama kehidupan bayi.