"Ayo anak-anak, ibu kasih soal nih: Apa ibukota Negara Kita (baca: Indonesia)?"
Dengan teriakan serempak siswa dalam kelas pun berkata "Jakarta" sebagai jawaban bagi mereka yang paling benar.
Jika kita simak lebih dalam lagi dari cara komunikasi ibu guru dengan siswa di kelas, maka sederhana kita ketahui adalah transfer pengetahuan. Dan dengan begitu guru hanya melatih capability.
Selain itu pula, kita dapatkan pengetahuan bahwa kebenaran bersama lebih baik daripada kebenaran individu. Itulah kenapa mentalitas anak-anak kita lebih suka bersama-sama dalam menjawab pertanyaan.
Bisa dilihat dalam sehari-harinya, cenderung dari mereka ketika dewasa nanti susah untuk berpikir mandiri dan tanggungjawab. Sebab cara menjawab sebuah pertanyaan pun di utarakan bersama-sama. Inilah langkah dini dari membentuk anak.
Jika kualitas pembelajaran dalam kelas itu baik, maka siswa akan cenderung berani mengangkat tangan, dan berlatih tanggung jawab atas jawaban yang diutarakannya.
Sudah tentu pula (bagi penulis) guru harus memberikan pengantar lebih awal kepada siswa: bahwa jangan takut untuk berpendapat salah. Itu point utamanya, sebab rasa takut dari siswa membentuk alam bawah sadar mereka untuk tidak berani bertanggungjawab atas jawaban yang dimilikinya. Dan kemudian akan memilih, lebih baik
menjadi pengikut dari teman sekelasnya yang banyak.
Sadar ataupun tidak, aku pun pernah berada di posisi yang sama. Dan cenderung menjadi pengikut saja, sebab ada anggapan dalam diriku: daripada salah, mendapat hukuman, dan dimarahi. Tentu malu ketika dipandang anak satu kelas.
Disinilah berbedanya, Manusia berbeda dengan binatang dan tumbuhan. Sekalipun ketiganya adalah ciptaan dari Tuhan yang sama, tapi sisi hati dan pikiran yang membedakan antara ketiganya.
Mengajar tidak hanya tentang kita tahu apa? Akan tetapi bagaimana kita terbentuk dari pencapaian apa yang akan diajarkan. Terkadang kesalahan dari guru adalah tidak menempatkan sisi cinta dan humanity kepada siswa. Yang artinya, penilaian sekedar tuntas dari hasil belajarnya.
Kebebasan berpikir pun kadang menjadi terproteksi. Kalau tidak sesuai dengan kontek maka dihantam anak itu oleh guru, padahal jika kita jinak dan berpikir dan mencoba berada di posisi siswa, jatuh akhirnya lebih memahami dan mengerti. Bahwa pola pikir mereka berbeda, dan itulah yang mesti kita pahami sebagai kebutuhan.
Sapi tidak pernah mengerti cinta dan humanity, sebab sapi adalah binatang. Berbeda dengan Sapi'i: ia bias menjadi binatang jika tidak diperilakukan sebagai Sapi'i.
Mengajar tidak sekedar mengejar kemampuan dari dalam diri siswa, tapi idealnya lebih dari itu. Syukur jika siswa lebih paham akan etika.
Sebab, etika menjadi satu bagian sistem tak terpisahkan dari pendidikan. Itulah mengapa: guru tak sekedar
mengajar.