Menurut penulis, korupsi ini seperti jerawat apabila dihilangkan satu akan muncul lagi atau bagaikan sebuah peribahasa hilang satu tumbuh seribu. Jadi korupsi ini selalu bermunculan, kasus ini selesai muncul lagi kasus itu. Selain seperti jerawat, yang lebih parah parah lagi, korupsi ini bagaikan penyakit kanker yang menyebabkan kematian orang yang mengidapnya, jadi harus dihilangkan sampai keakar-akarnya. Sama halnya dengan korupsi, apabila tidak dibasmi sampai keakar-akarnya, maka korupsi ini dapat menghancurkan suatu negara. Penulis juga heran kenapa kejadian korupsi terus ada. Padahal pemerintah sebenarnya menanganinya dengan sangat serius. Apa ada yang salah dengan sistem atau dengan sumber daya manusianya atau mungkin para koruptor juga semakin cerdik.
Berbicara mengenai korupsi, tindak pidana ini menggeronggoti diseluruh bidang di negara kita tercinta ini, mulai dari bidang sosial, ekonomi, politik, transportasi, olahraga, jasa dan lebih mencengangkan lagi pengadaan Al-Qur’an pun tak luput dari incaran para koruptor. Disini penulis cukup heran, karena ini yang dikorupsi bukan hal main-main, yang dikorupsi ini pedoman hidup umat islam, Kitab suci Al-Qur’an. Apa mungkin koruptor di Indonesia ingin tampil beda dari koruptor di negara lain, kalau di negara lain mungkin yang dikorupsi yaitu dalam hal duniawi terus di Indonesia karena ingin tampil beda jadi yang dikorupsi pengadaan kitab suci.
Berbicara mengenai korupsi pasti erat kaitannya dengan pelaku yang melakukannya yaitu koruptor. Melihat koruptor yang ada di Indonesia, mereka merupakan orang yang memiliki pendidikan yang tinggi dan memiliki posisi yang cukup strategis serta mereka orang yang pintar. Sebagian besar dari mereka pernah mengenyam pendidikan sampai bangku perkuliahan. Apakah karena tingkat ekonomi yang rendah, sepertinya juga tidak karena sebagian besar koruptor tingkat ekonomi tinggi serta memiliki penghasilan yang tinggi.Â
Dari paparan diatas terlihat tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi tidak berpengaruh terhadap perilaku korupsi. Mungkin ada sebagian orang melakukan korupsi karena penghasilan mereka kurang serta tuntutan hidup yang terus mendesak. Tetapi seperti kasus yang penulis paparkan diatas sepertinya tidak mungkin karena faktor ekonomi. Lebih tepatnya, korupsi ini disebabkan karena merupakan sifat dasar manusia yaitu yang selalu kurang dan adanya sifat serakah serta ingin menguasai segalanya. Jadi sama Allah SWT diberi rezeki sekian tetapi terus kurang. Dalam tingkat pendidikan tidak berpengaruh, tetapi yang berpengaruh yaitu pada moralnya. Apa gunanya berpendidikan tinggi tetapi moral dan kejujurannya rendah, lebih baik berpendidikan tinggi diimbangi dengan moral dan kejujurannya kejujuran juga tinggi. Jadi sebaiknya lembaga pendidikan lebih meningkat pembelajaran yang mengarah pada peningkatan dan penguatan moral serta pengintensifan pendidikan religi dan antikorupsi. Selain dari rendahnya moral dan kejujuran, korupsi ini juga disebabkan karena hukum tentang pemberantasan korupsi dan kawan-kawannya kurang menekan.Â
Sanksi yang diberlakukan kurang berat, sehingga tidak memberikan efek jera kepada pelakunya. Berbicara soal sanksi tindak pidana korupsi, sepertinya di Indonesia selangkah tertinggal dari beberapa negara lainnya. Misalkan di Malaysia, di negara tetangga Indonesia ini diterapkan hukuman gantung bagi koruptor. Di Tiongkok, negara ini juga menerapkan hukuman mati. Saudi Arabia juga menerapkan hukuman mati lebih tepatnya hukuman pancung. Korea Selatan, negeri gingseng ini menerapkan hukuman yang berat dan hukuman dikucilkan bahkan oleh keluarganya sendiri, hal ini menyebabkan depresi berat bagi pelakunya dan bisa menyebabkan bunuh diri. Tetapi hukuman-hukuman seperti ini tidak terlihat di Indonesia, malah di Indonesia ada discount atau istilah hukumnya remisi atau pengurangan massa tahanan.Â
Selain itu, lembaga penegakkan hukumnya yang rawan penyuapan sehingga tidak terjadi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada istilah, hukum tumpul keatas, runcing kebawah. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan supremasi hukum karena hukum merupakan pilar dari keadilan. Pengawasan pemerintah lebih ditingkatkan terhadap dana-dana yang dialirkan baik dari pusat ke daerah atau ke lembaga-lembaga lainnya. Sistem birokrasi yang rumit juga bisa menimbulkan korupsi sebagai contoh dalam pengurusan KTP, penulis pernah mengalaminya, dibutuhkan waktu yang cukup lama sehingga para pemohon KTP mengambil cara instan yaitu dengan memberikan suap kepada petugas agar lebih cepat. Dalam kasus ini juga terlihat bahwa masyarakat juga memberi peluang korupsi kepada petugas.Â
Jadi penanganannya sistem birokrasi harus seefektif mungkin dan masyarakat jangan memberi peluang terhadap setiap tindak pidana korupsi dan kawan-kawannya. Harus ada sinergi antara pemerintah dengan masyarakat agar tercipta negara Indonesia yang bebas dari korupsi. Penulis yakin Indonesia pasti bisa menekan korupsi sampai seminimal mungkin asalkan ada keseriuasan pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, tutup semua celah untuk melakukan korupsi tetapi juga harus ada dukungan dari masyarakat.
[1] Margono. 2012. Pendidikan Pancasila Topik Aktual Kenegaraan dan Kebangsaan. Malang:UM PRESS Hlm 188
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H