Mohon tunggu...
Ilham Karbela
Ilham Karbela Mohon Tunggu... Administrasi - Surveyor Riset

Penulis lepas dan mitra Badan Pusat Statistik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buku Bajakan Dan Kegagalan Negara Menjaga Literasi

14 Januari 2025   02:08 Diperbarui: 14 Januari 2025   02:08 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Buku Bajakan  (Sumber: Pixabay/Hermann)

Sekakmat. Sintong gelagapan sejanak. Cengar-cengir. Yah, begitulah. Sintong tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Di toko yang dia jaga ini memang banyak logika yang tidak berlaku. Lihat saja, nama tokonya Berkah., entah kesambet setan mana dulu pemiliknya punya ide nama tersebut. Dimana coba berkahnya ilmu yang diperoleh dari buku bajakan ? (Novel Selamat Tinggal - Tereliye) 

Potongan cerita dalam novel Selamat Tinggal di atas masih relate dengan kondisi "perbukuan" di era digital sekarang. Mungkin akan terus terjadi hingga buku fisik benar-benar sudah tak lagi dibutuhkan. Entah sampai kapan negeri kita akan terus berada dalam ambang dilematis. Bangsa kita bercita-cita mencapai generasi emas, tetapi kepedulian negara terhadap perkembangan literasi masih harap-harap cemas.

Soal barang bajakan, negara sudah menyediakan peraturan perundang-undangannya. Misalnya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pada pasal 100 ayat menyebutkan bahwa “Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Pasal ini selintas bukan ancaman yang main-main. Tetapi dalam praktik penerapan dan pengawasannya tidak benar-benar dilaksanakan dengan baik. Sejak dimulainya era industri 4.0, penjual buku-buku bajakan justru semakin meroket. Terutama di pasar e-Commerce, banyak terjadi penjualan barang-barang palsu atau KW – tidak terkecuali buku. Para oknum seller memanfaatkan keceriaan para pembeli online ketika melihat harga yang jauh lebih murah dari barang di toko resmi. Dampaknya jelas sekali akan merusak nilai pasar dari harga barang resmi atau originalnya.

Tidak heran banyak para penulis hebat justru menyesalkan tindakan tidak terpuji para pemuja barang “rendahan”. Salah satu penulis yang sangat aktif menyuarakan keadilan bagi hak cipta para penulis adalah Tere Liye. Penulis Novel Selamat Tinggal yang saya kutip di atas. Para penulis lain juga terus aktif menyuarakan penegakan hukum bagi pelaku pembajakan. Malangnya, tuntutan mereka tersebut hanya bisa didengar sebagai sayup-sayup suara angin.

Peran “Angin-Anginan” Pemerintah

Pemerintah sebetulnya juga dilema. Satu sisi para oknum pembajakan adalah warga negara yang aktif membayar pajak kepada negara. Suatu ketundukan yang sangat diharapkan oleh semua pejabat. Disisi lain, keberadaan perpustakaan negara belum mampu menggerakkan minat baca bagi warga setempat. Tidak ada program unggulan, apalagi melakukan sosialisasi aktif di tengah masyarakat. Tingkat ekonomi yang masih rendah menjadikan masyarakat merasa harus lebih berhemat dengan membeli buku baru dengan harga rendah, dan buku bajakan adalah solusinya.

Pemerintah masih menganggap “operasi bajakan” sebagai aksi yang bukan darurat nasional. Lebih-lebih saat ini negara sedang disibukkan oleh program-program yang dinilai jauh lebih penting. Bahkan bisa jadi lebih genting. Program Makan Siang Gratis, misalnya. Setiap perpustaakan daerah – toh – juga sudah diberikan anggaran melengkapi buku demi membuktikan pehatian negara terhadap literasi. Maka soal kebijakan membeli buku bajakan diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran masing-masing.

Aktivitas pembajakan buku tentu saja dilakukan secara klandestin. Namun, agak mustahil bila pemerintah tidak tahu menahu soal itu. Kita tidak akan berani memprotes apalagi sampai menuduh negara secara sengaja melakukan pembiaran. Kita hanya bisa menahan diri dari suasana gerah ruang hukum yang sengaja ditutup. Meskipun kita sendiri sudah muak dengan bau busuk ketidakadilan.

Tentu saja pemerintah terbuka dengan pelaporan-pelaporan pembajakan buku. Tetapi soal penindakan lebih lanjut, dibutuhkan banyak sekali prosedur ribet dan belibet. Sehingga wajar saja sebenarnya bila kita pemerintah kita sebut “angin-anginan” dalam mengatasi permasalahan buku bajakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun