Manajemen Kestabilan Emosi/Perilaku Terhadap Kesejahteraan Keluarga dengan Anggota Keluarga Handicap di Perkotaan
Zahra Alaysa Fatiha Lubis, Ilham Ramdhani Amir, Vanya Nirmala, Cindy Eka Putri, Chailla Zyaramadhani
Dosen Pengampu: Dr. Irni Rahmayani Johan, S.P., M.M. dan Dr. Megawati Simanjuntak, S.P., M.Si.
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Bogor, Indonesia
Surel: ikk_fema@ipb.ac.id | Telepon: +62 251 8628303
Manusia menghabiskan sebagian besar waktunya pada dua area utama, yakni pekerjaan dan keluarga. Semakin berkembangnya zaman, kebutuhan keluarga semakin meningkat yang menyebabkan keluarga harus memaksimalkan penggunaan sumber daya keluarga. Manajemen sumber daya keluarga adalah penggunaan sumber daya keluarga dalam usaha atau proses mencapai suatu tujuan yang dianggap penting oleh keluarga. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi manajemen sumber daya keluarga yakni kompleksitas kehidupan keluarga, stabilitas atau ketidakstabilan keluarga, peran dan perubahan keluarga, serta teknologi.
Menurut Kemenhan (2016), handicap dapat didefinisikan ketidakmampuan seseorang di dalam menjalankan peran sosial ekonominya sebagai akibat dari kerusakan fisiologis dan psikologis baik karena sebab abnormalitas fungsi (impairment), atau karena disabilitas (disability). Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam kehidupan dan penghidupannya.
Keluarga dengan anggota handicap seringkali menghadapi tantangan yang berbeda dari keluarga lainnya, terutama dalam hal manajemen waktu keluarga dan kesejahteraan keluarga. Di dalam keluarga tersebut, peran dan tanggung jawab untuk merawat anggota keluarga yang handicap seringkali menjadi prioritas utama. Hal ini dapat mengakibatkan terabaikannya manajemen waktu keluarga dan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Selain itu, kebutuhan perawatan anggota keluarga yang handicap juga memakan waktu dan tenaga terutama jika mereka membutuhkan bantuan dalam aktivitas sehari-hari seperti mandi, makan, atau berpakaian. Di perkotaan, keluarga dengan anggota handicap juga seringkali menghadapi tantangan lain seperti aksesibilitas yang terbatas, kurangnya dukungan sosial, dan tekanan finansial.
Keluarga handicap acapkali merasa terisolasi dan kesepian, terutama jika mereka tinggal di lingkungan yang kurang ramah terhadap orang handicap. Tantangan-tantangan ini dapat memperburuk kondisi keluarga dengan anggota handicap dan mempengaruhi kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan manajemen emosi/perilaku keluarga dan kesejahteraan keluarga pada keluarga dengan anggota handicap di perkotaan. Keterbatasan aksesibilitas dan dukungan sosial di lingkungan perkotaan dapat meningkatkan perasaan isolasi dan kesepian. Bila keluarga dengan anggota handicap tinggal di lingkungan yang tidak suportif dan hanya menebarkan perilaku negatif, maka dapat dipastikan keluarga dengan anggota handicap akan mengalami kesulitan tingkat tinggi dalam menangani anggota disabilitas.
Di Indonesia, angka penyandang disabilitas selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dilansir oleh Kemenkes tahun 2013 tercatat sebanyak 6,7 juta jiwa atau 3,11%. Behavior-based conflict atau konflik karena adanya perbedaan emosi atau perilaku di dalam keluarga akan menimbulkan konflik hingga pada akhirnya burnout. Burnout timbul karena seseorang merasa tidak mampu merubah perilaku yang bertentangan dengannya dan mendesak seseorang berada dalam kondisi tidak lagi mampu mengendalikan situasi yang dihadapi. Setiap individu memiliki keunikannya sendiri, dan keluarga dapat menjadi sumber cinta, dukungan, dan belajar bersama. Keluarga yang memiliki anggota dengan handicap seringkali mengalami perkembangan emosional dan keterampilan komunikasi yang kuat, serta dapat memperkaya kehidupan dengan berbagai cara.
Manajemen kestabilan emosi atau perilaku terhadap kesejahteraan keluarga dengan anggota handicap di perkotaan memerlukan suatu pendekatan khusus. Mengatasi perasaan emosional pada suatu keluarga anggota handicap bisa dengan memberikan perhatian dan berkomunikasi secara terbuka. Menurut Rahmawati dan Gazali (2018), komunikasi di sini merujuk pada interaksi antara individu-individu dalam keluarga yang melibatkan berbagai elemen seperti penyampaian pesan, penerimaan, serta tujuan bersama untuk membangun pemahaman satu sama lain. Komunikasi dalam konteks keluarga melibatkan pola dan perilaku interaksi yang berulang, yang dapat bervariasi antara keluarga yang kecil dan besar, serta berlangsung dalam jangka waktu yang singkat atau panjang (Muntaha 2011).
Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga dengan anggota handicap dapat diberi perhatian khusus dengan bantuan pelayanan sosial. Pelayanan sosial dapat mencakup tindakan dan intervensi kepada lingkungan sosial untuk membantu individu dalam melakukan penyesuaian. Pelayanan sosial terdapat dalam berbagai kegiatan yang memberikan layanan kepada klien dan berkontribusi dalam mencapai tujuan-tujuan yang mereka tetapkan. Sebagai contoh dalam hal penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi kepada individu agar dapat mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi (Muhidin 1992).
Manajemen kestabilan emosi dan perilaku terhadap anggota keluarga yang mengalami handicap di perkotaan adalah pendekatan komprehensif yang melibatkan pemahaman mendalam tentang handicap, dukungan emosional, perawatan medis, komunikasi terbuka, dan penggunaan sumber daya yang ada. Hal ini dapat membawa dampak positif seperti peningkatan kualitas hidup, dukungan sosial yang lebih baik, dan menciptakan lingkungan inklusif. “Tindakan yang dapat saya lakukan sebagai keluarga adalah dengan memberikan dukungan emosional yang kuat, mengikutsertakan mereka dalam aktivitas keluarga, mendukung perawatan kesehatan mereka, mengedukasi diri sendiri tentang handicap tersebut, mencari dukungan komunitas, berkomunikasi terbuka dan jujur, serta memastikan aksesibilitas fisik di rumah dan lingkungan”, ujar Mardiah (21 tahun) yang memiliki anggota keluarga handicap.
Dalam hal ini, berbagai strategi untuk membantu anggota keluarga yang mengalami handicap, yakni termasuk menjaga komunikasi yang baik, serta memberikan dukungan psikologis dan sosial. Terlepas dari tantangan yang dihadapi, manajemen kestabilan emosi dan perilaku terhadap anggota keluarga yang mengalami handicap dapat membawa dampak positif bagi keluarga tersebut.
“Whenever you're in conflict with someone, there is one factor that can make the difference between damaging your relationship and deepening it. That factor is attitude”
-William James
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H