Sebagaimana kita ketahui, dalam dunia pariwisata akhir-akhir ini banyak dibicarakan dan dikembangkan apa yang Namanya wisata halal, sebagai destinasi baru yang membedakanya dengan wisata konvensional yang sudah lama berkembang selama ini. Dikatakn berbeda karena destinasi yang pertama bernuansa agama (spiritualitas-regiousitas), sedangkan yang kedua bernuansa sekularistik-materialistik. Atau dengan kata lain, yang bertama dengan sentuhan ajaran wahyu (langit), sedangkan yang kedua bersentuhan dengan hasil pemikiran manusia (bumi-sains).
      Pertanyaan mendasar adalah justru mengapa dalam realitas tidak disebut dengan istilah wisata Islam atau wisata syariah. Kiranya, dalam dalam hal ini dapat dipahami dari dua kemungkinan. Pertama, menggunakan istilah "halal" nampaknya lebih umum dan lebih populis dikalangan masyarakat luas. Sedangkan yang kedua, jika menggunakan istilah "syariat", apalagi "Islam", secara politis sedangkala terseret kedalam konotasi yang negatif. Terutama oleh kalangan masyarakat Barat yang secara apriori kurang respek terhadap ajaran agama islam. Akhir-akhir ini, tidak jarang predikat Islam oleh mereka dikaitkan dengan paham terorisme dan sektarianistik yang dianggap sebagai sumber ajaran kekerasan di berbagai belahan dunia. Padahal tidaklah demikian, karena sejatinya ajaran agama Islam adalah merupakan Rahmatan lil 'alamin bagi seluruh kehidupan di dunia ini.
      Dengan demikian, mempersepsikan Islam sebagai sumber malapetaka kekerasan hanyalah biar semata yang seringkali dijadikan komoditas politik global untuk mendeskriditkan umat Islam di dunia internasional. Nampaknya steriotip yang demikian itulah yang terus menjadi sumber kebencian antara dunia Barat yang mayoritas Kristen versus dunia timur yang mayoritas Islam. Hingga saat ini segala isu yang beraromakan ajaran Islam terus digoreng oleh komunitas yang tak bersimpati sehingga muncul konflik yang berkepanjangan di berbagai peta bumi ini.
      Sebab itu bagi siapapun yang memahami Islam secara holistic penggunaan istilah halal, atau syariah, atau bahkan Islam sekali pun, pada hakikatnya adalah sama. Bukankah istilah halal itu merupakan salah satu terma dalam ajaran Islam yang seringkali juga dikorelasikan dengan istilah syariah. Namun demikian penggunaan istilah "halal" dalam aktivitas wisata mengandung pesan teologis, dalam arti, hendaknya segala aktivitas wisata yang dibangun tidak boleh bertentangan dengan ketentuan ajaran yang disyariatkan Islam.
      Karena itu Islam melarang segala bentuk perbuatan yang haram hukumnya, tanpa kecuali dalam dunia pariwisata karena akan lebih banyak mendatangkan kemadlaratan (bahaya-sisi negative) dari pada kemaslahatan yang akan diperoleh. Kendati secara realitas, tidaklah semua muslim menyadari bagaimana efek negatif ini karena praktik wisata yang sekularistik telah menjadi maindset di alam pikiran masyarakat global. Sampai akhirnya, menjadi semacam gaya hidup (lifestyle) masyarakat di berbagai belahan dunia.
      Karena itu, pada bagian ini, untuk selanjtnya, akan dikemukakan berbagai infrastuktur yang seyogianya steril dari perilaku haram secara syar'i dalam kaitan dengan wisata halal yang sejatinya bertujuan untuk menciptakan lifestyle yang berbasiskan syariah di kalangan masyarakat luas. Terutama di kalangan muslim sebagai implementasi dari ajaran agama yang dianutnya.
Hukum Islam: Gambaran Umum dan Ketentuan Hukum
      Hukum islam adalah salah satu system hukum yang berlaku di Indonesia. Disamping sistem hukum lain, seperti hukum adat, hukum Eropa (produk legislasi kolonial) dan sistem hukum yang merupakan produk legislasi nasional dalam berbagai bentuk perundang-undangang dengan segala turunannya yang diberlakukan di kawasan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tradisi pembentukan hukum Indonesia menunjukkan bahwa bentuk keempat bentuk dasar itu tidak pernah diabaikan menjadi sumber materiil pada tiap perumusan konsep hukum baru. Hukum islam pada awalnya mewakili paham tekstual keagamaan yang hidup dan mengikat masyarakat Islam.
      Sistem hukum yang bersumber, sekaligus yang menjadi bagian dari agama Islam itu berlaku hanya bagi umat Islam karena secara demografis mereka merupakan populasi yang paling banyak jumlahnya, dibanding penganut agama lain di Indonesia. Selanjutnya, dalam sistem hukum Islam, dikenal dua istilah yang biasa digunakan, yakni Syariat Islam (Islamic Law) dan Fiqih Islam (Islamic Jurisprudence). Atau dalam bahasa Indonesia, untuk syariat Islam digunakan istilah hukum syariat, sedangkan untuk fiqih Islam dipergunakan istilah hukum fiqih atau hukum (fiqih) Islam.Â
      Namun demikian di dalam praktik, seringkali, kedua istilah tersebut dirangkum dalam satu istilah hukum Islam saja. Ini disebabkan karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, sekalipun dapat dibedakan, namun tidak mungkin dipisahkan. Syariat merupakan dasar dari pada fiqih, sedangkan fiqih adalah ilmu untuk memahami syariat. Keduanya sama-sama mempunyai sumber dalam Al-Qur'an, seperti surat Al-Jaatsiah, 45:18 merupakan sumber dari ajaran syariat, sedangkan surat At-Taubah, 9:122 sumber dari ajaran fiqih.
      Sebagaimana ghalibnya, dalam sistem hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun fiqih mengandung dua ajaran pokok, yakni tentang ibadah dan muamalah. Ibadah mengkaji tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan secara vertical (habl min Al-Allah) yang tata caranya telah diatur oleh Allah SWT sendiri melalui Rasul-Nya. Berkaitan dengan ajaran ibadah ini berlaku asas fiqhiyyah yang menyatakan bahwa semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan, kecuali ada perintah untuk melakukannya. Sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian jika hal itu dilakukan maka haram hukumnya.