Syariat islam tentu sangat menganjurkan umat muslim untuk menunaikan sholat shubuh berjamaah di masjid. Gerakan sholat shubuh berjamaah juga mulai gencar di berbagai kota, namun sayangnya gerakan ini juga disinyalir sebagai sarana politisasi yang digunakan untuk meraup suara dari jamaah sholat shubuh.
Gerakan Sholat shubuh sejatinya merupakan simbol dari persatuan umat, namun gerakan ini juga harus tulus dan tidak dipolitisasi oleh golongan manapun.
Indikasi gerakan shalat shubuh yang dipolitisasi bisa dilihat dari isi ceramahnya, baik kultum maupun khutbah yang menggiring opini pada kepentingan politik tertentu. Bisa jadi hal ini disampaikan secara terang -- terangan maupun eksplisit. Hal ini tentu cukup mengkhawatirkan, karena penggiringan opini tentang politik dapat memicu perpecahan dalam lingkungan jamaah.
Gerakan Sholat Shubuh berjamaah untuk memakmurkan masjid bukanlah hal baru. Namun hal ini menjadi agak lain, ketika gerakan sholat Shubuh berjamaah dijadikan kelanjutan aksi sholat Jumat di Monas, yang dikenal dengan aksi 212 dan diberi titel Gerakan Shubuh Berjamaah 212.
Tentu ada perbedaan antara gerakan sholat berjamaah dengan gerakan politik sholat berjamaah, perbedaan tersebut terletak pada motif dan tujuan sholat, jika sholat berjamaah murni karena niat lillahi ta'ala, maka pada gerakan politik sholat shubuh berjamaah terdapat motif politik yang kental, dimana motif politik itu sama dengan aksi 212 di Monas.
Sholat ataupun bentuk ibadah lainnya bukan hanya "tindakan ibadah" agama semata, tetapi juga bisa disebut sebagai "aksi politik" jika dilakukan dengan motif dan tujuan politik tertentu.
Akibat perubahan aksi sholat shubuh berjamaah tersebut, sifat sholat itu juga tak bisa dipandang sebagai gerakan murni ibadah. Adanya embel -- embek gerakan bela Islam, menjadikan gerakan ini cukup layak disebut sebagai gerakan politik.
Fenomena Ibadah yang sarat dengan kepentingan politik ternyata pernah terjadi di Boliviam dimana para Buruh, Karyawan dan Pengusaha Perusahaan timah swasta menggunakan ritual tradisional bernama cha'alla untuk melancarkan protes atas kebijakan pemerintah yang melakukan nasionalisasi perusahaan timah.
Apabila memang ada gerakan dan mobilisasi massa untuk sholat jum'at di jalan raya, sementara banyak masjid atau lapangan yang kosong, hal ini tentu bisa menjadi indikasi bahwa penggerak dan penggagas shalat jum'at hendak menggunakan ritual ibadah sebagai "instrumen politik" untuk tujuan tertentu.
Yang masih menjadi tanda tanya adalah gerakan sholat berjamaah itu untuk apa?. Apa tujuan politis yang hendak diraih, kiranya apakah gerakan ini bisa benar -- benar murni dari muatan politis. Pertanyaan ini menjadi penting karena adanya kecondongan melebarnya pengawalan kasus penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok, yang berbelok hendak melengserkan.
Sholat berjamaah baik wajib maupun sunnah memang ajaran yang baik, bagi pemeluk agama Islam tentunya membawa kebaikan dan bukan kemudharatan. Sehingga, permasalahan ini bukan pada gerakan sholat shubuh berjamaahnya, tetapi kegiatan diluar sholat yang bermasalah jika tidak sesuai dengan tujuan sholat berjamaah itu sendiri.
Apabila gerakan ibadah ini dipolitisasi dengan mengumpulkan jamaah dalam jumlah besar, maka akan sangat rawan untuk dimasuki berbagai kepentingan yang dapat menghilangkan kemurnian tujuan dari ibadah itu sendiri, hal ini tentu kajian ulang dengan lebih bijak dan seksama.