Katarak merupakan kekeruhan lensa mata yang dapat menyebabkan penurunan ketajaman visual dan/atau cacat fungsional, memiliki derajat kepadatan (density) yang sangat bervariasi dan dapat disebabkan oleh berbagai hal, namun umumnya disebabkan oleh proses degeneratif. Â
Keluhan yang timbul akibat katarak seperti gangguan melihat jauh, gangguan melihat dekat, Â tajam penglihatan yang menurun pada malam hari, silau dan terkadang melihat dobel. Tanda-tanda lain juga sering muncul yaitu kehilangan kemampuan sensitivitas kontras dan warna dan seringnya berganti resep kacamata karena ukuran berubah-ubah. Dengan keluhan-keluhan ini tentunya dapat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari dan pekerjaan. Hingga saat ini pembedahan/operasi merupakan terapi untuk katarak.
Tindakan operasi yang dimaksud adalah mengeluarkan lensa yang keruh dan menggantinya dengan lensa tanam intraokular (intraocular lens). Namun demikian bila gejala katarak tidak mengganggu penglihatan dan dapat dibantu dengan kacamata, tindakan operasi dapat ditunda/belum diperlukan.
Apabila pasien katarak telah terganggu untuk aktivitasnya sehari-hari maka dapat dilakukan operasi katarak, sebagaimana yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/557/2018 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Katarak Pada Dewasa (selanjutnya disebut PNPK Katarak).Â
Di dalam PNPK Katarak terdapat 4 rekomendasi kapan operasi katarak dilakukan, dua diantara rekomendasi tersebut adalah  penurunan tajam penglihatan dengan koreksi sama dengan/kurang dari 6/18 dan penurunan tajam penglihatan akibat katarak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pedoman ini juga menyebutkan bahwa  fungsi visual (functional vision) sebaiknya juga turut dipertimbangkan.Â
Pertimbangan untuk dilakukan operasi katarak sulit bila ditentukan hanya berdasarkan tajam penglihatan semata karena pasien dengan usia yang lebih tua mungkin dapat menerima tajam penglihatan yang tidak maksimal, namun tidak demikian pada orang yang masih dalam usia produktif. Dari pernyataan ini dapat diartikan bahwa operasi katarak dilakukan tidak hanya pada pasien katarak dengan tajam penglihatan kurang dari 6/18 tetapi juga pada pasien yang sudah terganggu untuk aktivitas sehari-hari.Â
Ini berarti pula bahwa pasien katarak dengan tajam penglihatan meskipun belum kurang dari 6/18 tetapi sudah merasa terganggu seharusnya dapat  di lakukan operasi juga. Yang dimaksud tajam penglihatan 6/18 adalah bahwa seseorang dapat membaca tulisan pada jarak 6 meter, sedangkan orang normal dapat membaca tulisan tersebut pada jarak 18 meter.
Operasi katarak merupakan salah satu prosedur medis yang dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah melalui BPJS Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan akibat katarak. Penjaminan operasi katarak mencakup beberapa aspek penting seperti pemeriksaan pra operasi, tindakan pembedahan, dan pemeriksaan pasca operasi.Â
Namun tidak semua operasi katarak dapat dijamin oleh BPJS, Â ada pembatasan kriteria operasi katarak sebagaimana tercantum dalam peraturan BPJS Kesehatan nomor 1 tahun 2020 tentang Prosedur Penjaminan Operasi Katarak Dan Rehabilitasi Medik Dalam Program Jaminan Kesehatan, pada pasal 3 ayat 2 menyebutkan penjaminan pelayanan operasi katarak diberikan kepada peserta penderita penyakit katarak dengan indikasi medis, diantaranya adalah penurunan tajam penglihatan dengan tajam penglihatan kurang dari 6/18.Â
Keluhan pasien yang terganggu akibat katarak untuk aktivitas sehari-hari sebagaimana rekomendasi dalam PNPK Katarak bukan termasuk kriteria untuk operasi. Ini berarti bahwa pasien katarak dengan tajam penglihatan lebih dari dari 6/18 meskipun sudah merasa terganggu aktivitas sehari-hari tidak masuk dalam jaminan pembayaran oleh BPJS Kesehatan apabila pasien tersebut menghendaki untuk operasi katarak.
Kriteria medis yang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan untuk operasi katarak tidak dapat secara universal diterapkan pada semua kelompok masyarakat dengan mengabaikan konteks pekerjaan dan kebutuhan spesifik masing-masing individu.Â