Menjelang kontestasi lima tahunan pemilihan umum presiden, sejumlah partai politik semakin gencar menentukan arah sikap politiknya. Dinamika yang terjadi mulai menunjukkan kecenderungan arah masing-masing partai politik yang bersaing. Tiga koalisi sudah terbentuk atas segala pertimbangan dan perhitungan politik yang dilakukan setiap partai beserta aktor politik di dalamnya. Namun demikian, praktik politik hari ini semakin mengarah kepada pragmatisme, yakni sebatas cara-cara memenangkan pemilu dengan mengesampingkan identitas ideologis dan idealisme politik.
Kekhawatiran terbesar dari situasi yang semakin pragmatis adalah ketika para aktor politik semakin menjauh dari perdebatan ide-ide serta gagasan. Kecenderungan untuk berorientasi pada kemenangan semata tak jarang mendorong munculnya cara-cara berpolitik yang tidak sehat bagi kerukunan masyarakat. Misalnya muncul praktik populisme ataupun politik identitas yang justru mengarahkan kontestasi politik kepada perdebatan yang dangkal, sentimen negatif maupun provokasi melalui black campaign.
Kita lagi-lagi perlu untuk mengingat kembali konflik serta polarisasi yang terjadi pada pemilu presiden 2019 yang lalu. Maka dalam hal ini penting bagi para politisi ini untuk mengedepankan ide serta gagasan ketimbang melanggengkan pragmatisme politik dan jalan-jalan pintas demi mendulang suara.
Keterasingan Ideologi Partai Politik
Aktivitas politik seharusnya tidak terlepas dari yang namanya ideologi. Dalam hal ini, ideologi dipahami sebagai gagasan serta ide yang berangkat dari kondisi sosial masyarakat. Sayangnya, dewasa ini ideologi justru lebih sering mendapat pergeseran makna terutama di Indonesia. Seringkali ideologi dianggap sebagai hal-hal yang bersifat mendominasi, fanatik, dogmatik, atau irasional. Terlebih lagi ketika masyarakat seakan ditakut-takuti dengan sejarah kelam yang selalu diasosiasikan pada ideologi tertentu. Hal ini yang semakin mendorong kehidupan politik mulai menjauh dari hal-hal yang bersifat ideologis.
Partai politik sebagai unsur penting dalam kehidupan politik sepatutnya menempatkan ideologi sebagai sebuah fondasi. Ideologi harusnya dapat menjadi pedoman arah perjuangan partai politik yang membedakan antara satu partai dengan yang lainnya. Pada realitanya, saat ini sulit sekali untuk kita membedakan corak antara satu partai dengan yang lainnya. Partai A bisa berkoalisi dengan Partai B, partai B bisa berkoalisi dengan Partai C, padahal misalnya dalam AD ART dijelaskan bahwa partai A dan Partai C memiliki corak ideologi yang berbeda atau bahkan beseberangan.
Pada akhirnya, ideologi hanya menjadi sesuatu yang tersurat di dalam AD ART partai politik, namun pada kenyataannya hal itu tidak termanifestasikan dalam tindakan-tindakan serta arah kebijakan partai. Semua partai justu lebih bersifat pragmatis, dan melupakan konsep ideologi tadi. Hal ini membuat kontestasi politik mulai kehilangan maknanya. Kontestasi politik tidak lagi bicara soal perspektif, ide, gagasan dan konsep mengenai persoalan yang dihadapi masyarakat. Makna politik tereduksi menjadi hanya sebatas hitung-hitungan suara.
Pragmatisme Politik: Loncat Kiri Kanan
Proses pembentukan peta koalisi telah menunjukkan betapa dinamisnya pergerakan partai politik di Indonesia. Satu partai politik bisa begitu saja berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya, atau bahkan sikap mereka bisa berubah 180 derajat hanya dalam waktu singkat setelah terjadinya lobby-lobby politik. Setidaknya sampai hari ini terdapat tiga poros koalisi yang sudah terbentuk menuju pemilu 2024 nanti.
Pertama, Koalisi Perubahan yang berisi partai Nasdem, PKS, dan PKB yang baru saja menyusul untuk bergabung. Seperti yang kita ketahui partai Nasdem berpaling dari koalisi sebelumnya, mereka memilih berpindah haluan dan mengusung Anies Baswedan untuk menjadi calon presiden dengan membawa narasi perubahan. Nasdem membangun koalisi dengan PKS yang sebelumnya berada beseberangan dengan mereka, yakni berada di luar pemerintah. Kini yang terbaru PKB juga bergabung ke dalam koalisi, seiring deklarasi ketua umum mereka menjadi bacawapres koalisi perubahan, hal yang juga telah "mengusir" demokrat dari koalisi ini.
Kedua, koalisi pengusung Ganjar Pranowo yang berisi PDIP, PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo. Sebagai partai politik pemilik kursi terbanyak, PDIP kini banyak ditinggalkan oleh rekan koalisi lamanya. Mereka saat ini berkoalisi dengan sejumlah partai yang bisa dibilang sebagai partai-partai kecil, hal ini diukur misalnya dari jumlah kursi yang dimiliki. Ini menandai bubarnya koalisi besar yang memenangkan kontestasi pemilu sebelumnya.
Ketiga, Koalisi Indonesia Maju yang baru-baru ini mendeklarasikan diri. Koalisi ini mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden mereka. Berisi partai-partai yang sebelumnya berada dalam pemerintahan yakni Gerindra , PAN, Golkar dan PBB. Diisi sejumlah partai besar, koalisi ini juga berisi mereka yang meninggalkan koalisi pemerintahan sebelumnya.
Kita dapat melihat bahwa tiga koalisi yang sudah terbentuk saat ini tentu sangat berbeda dengan peta yang ada dalam kontestasi edisi sebelumnya. Dinamika yang terjadi menjadi begitu rumit dan pragmatis. Partai politik yang sebelumnya berbeda pandangan bisa kemudian bersatu, ada yang saling meninggalkan, ada pula yang sempat berseberangan namun kini terkesan membawa narasi 'menyontek' kekuatan sang mantan rival.
Pragmatisme politik sangat lekat dalam pembentukan koalisi, tentu saja semua partai juga tidak akan menafikan bahwa koalisi terbentuk atas adanya kompromi politik, walaupun pada akhirnya selalu dibalut dengan bahasa politis yaitu "tujuan yang sama" dan "kepentingan rakyat".
Makna Pertarungan Yang Hilang
Pragmatisme politik yang ditunjukkan oleh hampir semua partai membuat peta politik sulit untuk ditebak, selalu saja sewaktu-waktu bisa berubah. Kehidupan politik menjadi sangat dinamis sebab setiap partai politik selalu memiliki tujuan utama meraih kemenangan menuju kekuasaan, mengesampingkan kepentingan rakyat. Maka tidak jarang para aktor politik ini kemudian menggunakan jalan-jalan instan, melakukan apa saja yang dianggap akan memberikan keuntungan secara elektoral.
Kita perlu berkaca pada pemilu tahun 2019, dimana pada saat itu narasi yang dibangun menciptakan suatu polarisasi di dalam masyarakat. Kelompok masyarakat seolah terbelah dua hingga ke akar rumput dan tidak jarang menimbulkan konflik. Perdebatan di ruang publik lebih banyak diisi perdebatan sentimental ketimbang ide-ide serta gagasan. Hal ini terjadi akibat kontestasi politik yang lebih mengedepankan bagimana cara berkuasa ketimbang memperdebatkan apa yang akan dilakukan setelah berkuasa. Itulah dampak buruk dari sikap politik yang sangat pragmatis.
Sudah seharusnya kontestasi dijadikan ajang adu perspektif, gagasan, serta ide antar para aktor politik. Bukan hanya sebatas pertarungan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan. Politik seyogyanya memperbincangkan apa yang akan dilakukan setelah kekuasaan itu didapatkan, di sinilah ideologi sebagai identitas partai menjadi dasar yang menuntun arah sikap partai. Perdebatan yang hanya berisi tentang bagaimana caranya berkuasa, hanya akan merusak makna dari kontestasi politik itu sendiri.
Semakin hilangnya perdebatan ide serta gagasan membuat partai politik seolah tidak memiliki pegangan kuat terkait dengan arah perjuangan mereka. Sikap pragmatis pada dasarnya sah-sah saja apabila masih berada dalam tahap yang wajar, artinya ia tidak merusak makna dari kontestasi politik itu sendiri. Sebab apalagi artinya sebuah pertarungan apabila semuanya sama, untuk apa kemudian saling berkompetisi apabila pada akhirnya yang kalah bergabung dengan yang menang. Bukankah seharusnya kita bicara soal kepentingan rakyat? Bukankah pesta demokrasi ini sepatutnya menjadi kemenangan rakyat? bukan justru menjadi panggung sandiwara bagi para elit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H