Ketiga, Koalisi Indonesia Maju yang baru-baru ini mendeklarasikan diri. Koalisi ini mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden mereka. Berisi partai-partai yang sebelumnya berada dalam pemerintahan yakni Gerindra , PAN, Golkar dan PBB. Diisi sejumlah partai besar, koalisi ini juga berisi mereka yang meninggalkan koalisi pemerintahan sebelumnya.
Kita dapat melihat bahwa tiga koalisi yang sudah terbentuk saat ini tentu sangat berbeda dengan peta yang ada dalam kontestasi edisi sebelumnya. Dinamika yang terjadi menjadi begitu rumit dan pragmatis. Partai politik yang sebelumnya berbeda pandangan bisa kemudian bersatu, ada yang saling meninggalkan, ada pula yang sempat berseberangan namun kini terkesan membawa narasi 'menyontek' kekuatan sang mantan rival.
Pragmatisme politik sangat lekat dalam pembentukan koalisi, tentu saja semua partai juga tidak akan menafikan bahwa koalisi terbentuk atas adanya kompromi politik, walaupun pada akhirnya selalu dibalut dengan bahasa politis yaitu "tujuan yang sama" dan "kepentingan rakyat".
Makna Pertarungan Yang Hilang
Pragmatisme politik yang ditunjukkan oleh hampir semua partai membuat peta politik sulit untuk ditebak, selalu saja sewaktu-waktu bisa berubah. Kehidupan politik menjadi sangat dinamis sebab setiap partai politik selalu memiliki tujuan utama meraih kemenangan menuju kekuasaan, mengesampingkan kepentingan rakyat. Maka tidak jarang para aktor politik ini kemudian menggunakan jalan-jalan instan, melakukan apa saja yang dianggap akan memberikan keuntungan secara elektoral.
Kita perlu berkaca pada pemilu tahun 2019, dimana pada saat itu narasi yang dibangun menciptakan suatu polarisasi di dalam masyarakat. Kelompok masyarakat seolah terbelah dua hingga ke akar rumput dan tidak jarang menimbulkan konflik. Perdebatan di ruang publik lebih banyak diisi perdebatan sentimental ketimbang ide-ide serta gagasan. Hal ini terjadi akibat kontestasi politik yang lebih mengedepankan bagimana cara berkuasa ketimbang memperdebatkan apa yang akan dilakukan setelah berkuasa. Itulah dampak buruk dari sikap politik yang sangat pragmatis.
Sudah seharusnya kontestasi dijadikan ajang adu perspektif, gagasan, serta ide antar para aktor politik. Bukan hanya sebatas pertarungan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan. Politik seyogyanya memperbincangkan apa yang akan dilakukan setelah kekuasaan itu didapatkan, di sinilah ideologi sebagai identitas partai menjadi dasar yang menuntun arah sikap partai. Perdebatan yang hanya berisi tentang bagaimana caranya berkuasa, hanya akan merusak makna dari kontestasi politik itu sendiri.
Semakin hilangnya perdebatan ide serta gagasan membuat partai politik seolah tidak memiliki pegangan kuat terkait dengan arah perjuangan mereka. Sikap pragmatis pada dasarnya sah-sah saja apabila masih berada dalam tahap yang wajar, artinya ia tidak merusak makna dari kontestasi politik itu sendiri. Sebab apalagi artinya sebuah pertarungan apabila semuanya sama, untuk apa kemudian saling berkompetisi apabila pada akhirnya yang kalah bergabung dengan yang menang. Bukankah seharusnya kita bicara soal kepentingan rakyat? Bukankah pesta demokrasi ini sepatutnya menjadi kemenangan rakyat? bukan justru menjadi panggung sandiwara bagi para elit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H