"Feminisme adalah sinopsis dari konstruksi besar ketidakadilan. Hanya pada pengalaman perempuanlah seluruh praktik diskriminasi membekas. Seorang perempuan tidak lahir merdeka. Ia lahir dalam stigma: bahwa ia berkedudukan di bawah laki-laki. Bahwa ia bukan penyandang hak politik. Bahwa ia bukan pengucap ayat-ayat surga. Bahwa ia bukan pemikir rasional. Bahwa ia harus submisif dalam seks. Bahwa ia bukan dirinya".
Setelah berhenti membaca di kalimat tadi, perihal selanjutnya yang saya pikirkan adalah bahwa benar, tidak mudah bernapas menjadi perempuan. Mereka terlahir sebagai penjara. Seluruh wilayah kekuasaannya dipasung ketidakadilan. Hak merdekanya diasingkan jauh-jauh dari asalnya. Padahal, perihal merdeka tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun, apalagi untuk dibatasi.
Contoh realitas yang ada, malah lebih lucu lagi: suara napas mereka ikut dimonopoli jadi bahan dagangan.
Selama ini, kodrat perempuan selalu dijadikan pagar betis oleh lawan jenisnya. Perempuan seolah tidak boleh lepas dari borgolnya. Perempuan harus tetap jadi penjara. Perempuan harus tetap mengenakan semua jenis aksesoris diskriminasi pada tubuhnya: ekonomi, politik, seksual, hukum, kultur, teologi, semua jenis ketidakadilan berkumpul.
Perjuangan perempuan di dalam memperoleh haknya, seharusnya tidak untuk diterjemahkan sebagai langkah oposisi perlawanan terhadap kekuasaan. Sebab, merdeka bukanlah jenis kelamin.
Ketika feminisme justru dianggap sebagai sebuah ancaman, pengertian demikian hanya akan semakin menguatkan sinisme terhadap kemerdekaan peradaban, bahwa keadilan adalah bunga tidur di bumi ini.
***
Pemuda Pengangguran Asal Kota Indramayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H