Mohon tunggu...
ilham gunawan
ilham gunawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekasih Tanah Air

6 November 2017   20:55 Diperbarui: 11 Desember 2017   23:15 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PAHLAWAN barangkali bukan sebatas 'bumbu' narasi sejarah. Tidak cukup jika diletakkan sebagai personifikasi belaka. Lebih luas dari itu, penulis menempatkannya sebagai perwujudan 'organisme' kebajikan dalam sendi kehidupan sebuah bangsa dan Negara. Pahlawan bukan prasasti yang dibekukan dalam angka pada hari besar. Lalu, dianggap sebagai arsip berdebu yang habis perkara setelah iringan terompet dibunyikan.

Keberpihakan dalam memaknai 10 November sebatas arsip berdebu, masih amat begitu kental hingga sampai saat ini. Meski sudah diperingati sebagai hari pahlawan, sebagai bentuk komitmen atas penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat, sekaligus cerminan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Penulis rasa, masih perlu kiranya ada kecenderungan khusus secara luas dalam memahami arti kata 'Pahlawan'. Bukan hanya lewat memaknai warisan yang ditinggalkan, atau pun pengorbanan yang telah diberikan saja. Tetapi lebih dari itu. Ada tindakan khusus secara metafisis yang lebih serius. Agar kiranya, momentum peringatannya tidak lagi dianggap sebatas pepesan kosong, seperti angin lalu.

Menjadi pahlawan bukanlah pekerjaan mudah. Karena syarat awal yang harus dilakoni adalah berbuat suatu hal yang bukan untuk kepentingan diri sendiri. Melainkan untuk kepentingan bersama. Mampu memberikan kontribusi berskala makro terhadap keberlangsungan orang banyak. Lewat definisi yang amat dipersingkat, tindak kepahlawanan itu artinya bisa membunuh dan siap terbunuh. Bidang ini tertutup bagi mereka yang suka usia panjang. Itu sebabnya, jumlah pahlawan senantiasa lebih sedikit daripada penduduk kebanyakan. Pahlawan bagaikan zamrud di tengah-tengah batu kali. Maka dari itu, orang-orang yang tidak memadai bakatnya jadi pahlawan, lagi pula tidak berkesempatan memalsu diri. Begitu kata si burung Parkit, Mahbub Djunaidi. Karena seyogianya, pahlawan merupakan manifestasi keadilan dalam panggung semesta. Meski siapa saja bisa berkesempatan menjadi pahlawan di bumi ini. Bukan tanpa syarat. Bagi siapa saja yang siap dan memang berbakat. Tidak pandang bulu. Gelar ini begitu sakti. Bisa meluhurkan derajat diri siapa saja. Bangsat sekalipun. Siapa yang menolak? Kalau pun pantas, jelas, saya tidak. Kecuali Fir'aun. Dia tidak pernah berminat menjadi pahlawan. Ambisi satu-satunya hanyalah ingin menjadi Tuhan.

Pada masa negara-negara imperialis menduduki tanah air, pahlawan hadir  karena ingin mewujudkan bangsa yang merdeka. Karena ingin bangsanya bersatu, berdaulat secara utuh. Mereka lahir dengan nyawa di tangan. Mengesampingkan batasan antara hidup dan mati. Berpikir bahwa hidupnya saat itu adalah milik seribu kehidupan generasi mendatang. Tidak banyak pilihan, tetap hidup sebagai kebijaksanaan, gugur sebagai wangi bunga atau mati sebagai bangkai yang hina. Logika bukan lagi jadi prioritas, yang dibutuhkan hanyalah keberanian dan ambisi untuk merdeka. Ini bukan olah skenario fiktif. Ini adegan yang serius. Sama sekali bukan kepatutan untuk dianggap kejenakaan, alat untuk mengocok perut. Lebih serius daripada pertunjukan singa yang bisa melompati lingkaran api. Atau sebatas tembakan gas air mata yang berhamburan beberapa jengkal di atas kepala. Mereka benar-benar hidup-mati bukan sekadar membela dirinya, namun juga untuk bangsa dan Negaranya. Benar-benar bertaruh nyawa demi para generasinya. Raganya, jiwanya, mereka sumbangsihkan sepenuhnya untuk berkibarnya merah putih di udara. Bukan malah menjadikan sarung atau jubahnya sebagai bendera partai politik semata. Mati yang memang benar-benar mati karena tekad perjuangan. Jihad dengan pengertian sebenarnya. Bukan mati dengan alasan yang 'katanya' kebenaran, tetapi melibatkan nyawa saudaranya sendiri yang tidak se-iman. Sungguh bukan pekerjaan yang mudah, saat nyawa seseorang dipasang harga murah.

Lalu, pahlawan ada karena bangsa sepatutnya mendapatkan haknya untuk merdeka. Pahlawan ada karena bangsa butuh disejahterakan. Pahlawan ada karena bangsa harus dicerdaskan. Pahlawan ada karena segala bentuk perdamaian harus diwujudkan. Pahlawan ada karena keadilan sosial harus merata.

Kini, pasca perang usai, para veteran yang berkesempatan masih dikaruniai hidup, bisa ikut menikmati hasil kemerdekaan. Bersama generasinya. Namun disayangkan, biji-biji mata bangsanya yang satu ini, justru dijadikan pemain figuran di era penerusnya. Mereka disamarkan dari pahatan  sejarah. Tidak banyak penghormatan yang diperoleh selain buah tangan yang tidak seberapa nilainya. Sesekali cuma jadi hiasan saksi hidup, tidak lebih. Atau yang paling sering adalah sebatas jadi pelengkap pada upacara-upacara peringatan. Setidak-tidaknya.

Mereka yang gugur, hidup abadi sebagai kebajikan. Ada yang memang diakui hingga kini, ada pula yang sengaja disembunyikan dari narasi sejarah. Bagai gula yang larut dalam kopi mendidih. Meskipun demikian, masih saja kerap ditarik-ulur tentang kepantasan jasanya. Sebab, pengertian pahlawan sudah dibatasi sebuah regulasi. Sudah disederhanakan sedemikian rupa ke dalam butir-butir konstitusi.

Selanjutnya, gelar pahlawan beralih dimensi ke pundak orang-orang yang masih hidup. Berpindah era di mana umur lebih diperhitungkan di sini. Apalagi, perang fisik sudah termasuk jadi barang langka. Risiko kematian kadarnya lebih sedikit. Pencapaiannya lebih tergolong praktis, karena tidak perlu harus repot-repot mandi darah. Publik pun bisa lebih dengan mudah mengenal pahlawannya tanpa harus berduka cita terlebih dahulu. Tanpa harus terpaksa menyanyikan lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki. Lebih gampang seperti mengunyah daging saat gigi masih komplit. Namun, terlepas dari itu semua, entah dulu atau kini, esensinya masih tetap sama. Ini tentang apa yang sudah diberikan terhadap bangsa dan Negara. Belum cukup hanya dengan taat bayar pajak. Atau hanya karena rajin menghibahkan suara pada setiap pemilihan umum. Dirasa belumlah cukup.

Pada sisi yang berbeda, ada juga yang justru malah berusaha memanfaatkan situasi ini dengan mencoba memalsukan diri sebagai pahlawan. Bernapas dalam rezim, serta buku-buku dan karya visual yang dicetaknya sendiri. Memanipulasi sejarah. Pintar bermain akrobat. Merubah kebenaran menjadi kebohongan besar sebagai konsumsi publik. Sayangnya, pahlawan yang satu ini gemar sekali bangun siang. Bahkan kelewat siang. Terlalu banyak begadang malamnya. Sibuk bermasturbasi dengan kursinya. Sibuk jual-beli 'pesanan' mengatasnamakan ideologi bangsa. Ciri fundamental kaum pragmatis dan oportunis. Dia suka sekali mencuci. Mulai dari mencuci tangan, mencuci uang, sampai mencuci 'dalaman' tetangganya sendiri. Namun pada akhirnya, tidak ada yang bisa memalsu diri. Bangsat akan tetap hidup abadi sebagai kebatilan.

Pahlawan tetaplah pahlawan. Bangsa yang tidak mengakui jasa pahlawannya, sama halnya seperti membuat peti matinya sendiri. Terkecuali pahlawan kesiangan yang gemar bangun siang tadi, itu jangan dihitung. Kalau pun sebagai personifikasi, para pahlawan lebih erat jika disebut sebagai bunga sejarah, kekasih tanah air, mahligai bangsa, ketimbang sebatas 'bumbu' narasi sejarah. Bahkan, jauh lebih luas daripada itu. Gelar sakti ini berisi kumpulan orang-orang hebat. Para pelaku keberanian.

Sebagai bangsa yang besar, sudah sepatutnya untuk menghargai dan meneladani jasa pahlawannya. Itu merupakan sebuah hal wajib. Semangat mereka masih relevan hingga saat ini. Kemudian, resolusi jihad, yang menjadi dasar Hari Pahlawan  ̶ serta latar belakang Hari Santri Nasional ̶  menegaskan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan dar al-Islam yang patut dibela dari segala bentuk agresi. Fatwa Kiai Hasyim Asy’ari ini, dengan demikian, menegaskan kepada kita bahwa tidak ada kontradiksi inheren antara nasionalisme dan Islam. Penulis kira, dengan diperingatinya hari pahlawan, bukan sepenuhnya  berisi untuk memuliakan semata. Tetapi, (masih) ada teguran bermakna 'titipan' yang harus tetap diteruskan perjuangannya oleh generasi  pahlawan selanjutnya. Mudah-mudahan.

***

Ilham Gunawan

Pemuda pengangguran asal Kota Indramayu

*Tulisan ini pertama kali dipost oleh Okezone.com dengan judul "Kekasih Tanah Air"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun