Mohon tunggu...
Ilham Putra Gita Farizki
Ilham Putra Gita Farizki Mohon Tunggu... Insinyur - Filsuf atap rumah

Emperan, Teras, Atap, Ruang tamu, Gudang.. semuanya bisa jadi sumber inspirasi dan sumber permasalahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lagu Tradisional yang...

29 Agustus 2019   21:04 Diperbarui: 29 Agustus 2019   21:07 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagu daerah mungkin bagi anak muda jaman sekarang (khususnya yang hidup di kota kota metropolis) terdengar sangat asing dimana mereka mungkin lebih hafal atau lebih paham atau bahkan lebih menjiwai lagu 'tradisional' yang diimpor dari bangsa lain.

Sungguh ironis memang, tapi apakah itu salah mereka anak muda kaum milenial jaman sekarang yang hanya menjadi konsumen dari produk impor impor tersebut? Mungkin iya, bisa jadi tidak sih. Kenapa demikian?

Jika dilihat dari konsep ekonomi (Tenang, kita tetep akan bahas lagu daerah kok), dimana ada demand (permintaan) and supply (ketersediaan), maka jika demand bertambah namun supply berkurang maka akan terjadi kelangkaan barang sehingga akan terjadi kenaikan harga. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengimpor barang atau menambah supply-nya tanpa menambah jumlah produksi.

Nah, konsep tersebut juga terjadi dalam dunia permusikan Indonesia dimana pada masa keemasan lagu tradisional khususnya jawa sekitar tahun 90-an hingga awal 2000-an tembang tembang tradisional sangat populer khususnya di jawa dengan "The GodFather of broken heart" yaitu Didi Kempot, Manthous dan lain lain sangatlah terkenal. 

Namun mereka seakan mulai pudar kesaktiannya ketika kecanggihan teknologi mulai muncul dan meluas, mulai sekitar pertengahan tahun 2000-an para remaja yang dulunya suka mendengarkan tembang jawa dengan berbagai genre dan arrangement mulai beralih haluan dengan musik pop, rock dan band yang pada saat itu sedang marak maraknya, sebut saja un*u, peterp*an atau D'Mass*ve.

Mereka sangat populer saat itu tapi musik tradisional jawa malah seakan akan tidur nyenyak atau mungkin mati suri. Seakan akan tidak ada perlawanan. Supply musik yang dibutuhkan masyarakat seakan akan dimonopoli oleh musik musik modern dari barat dan musik pop moderen, Karena demand mereka sudah terpenuhi, maka mereka sudah merasa cukup dengan hanya supply aliran musik modern tersebut.

Hal yang ironis memang di mana pada zaman itu tinggal didi kempot sendiri yang masih eksis mengelurakan karya karya lagu tradisionalnya melawan serbuan lagu modern. Namun kita patut berbangga pada generasi muda sekarang yang mulai banting setir lagi dengan menggaungkan kembali lagu tradisional dengan ketradisionalannya yang masih terjaga meskipun ada sedikit bumbu bumbu modern untuk memikat para penikmat musik itu sendiri.

Sedangkan pada saat ini saat artikel ini dibuat lagu tradisional jawa seakan akan mulai bangkit dari kerterpurukannya, dimana sangat banyak sekali di media sosial musisi yang berkarya menggunakan lagu tradisional.

Saya sebagai seorang manusia yang lahir dan besar di lingkungan jawa  sangat bahagia melihat musik tradisional jawa bangkit kembali. Terima Kasih musisi Indonesia, Matur suwun sanget

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun