***
Setahun aku ada di desa ini. Dan sebentar lagi ada ritual doa yang seperti tahun lalu. Aku datang kembali ke ritual itu. Mereka menangis di keheningan. Awan menutup seperti terpal. Keteduhan terjadi.
Tak ada suara apapun di tengah doa itu. Seperti biasa dan seperti tahun lalu. Aku merasa ini adalah kontradiksi kehidupan yang menyakitkan. Aku ambil pistol di bagian belakang tubuhku. Aku muntahkan peluru ke langit tiga kali.
Suara keras pistolku tak mengubah keheningan, tak mengubah redup langit. Aku tetap mematung di tepi lapangan.
Setelah semua selesai, mereka pulang. Tak ada yang menangkapku karena aksiku. Salah satu warga mendatangiku. "Kami semua adalah binatang yang terbiasa dengan darah dan tangis. Suara pelurumu tak ada artinya sama sekali!" katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H