Aku ingin cerita padamu, tentang kawanku yang bernama Kartimin. Kami lahir dan besar di tahun 60-an. Itu sudah sangat lama. Lama sekali.
Masa di mana belum ada telepon genggam canggih. Mimin, adalah sapaan Kartimin. Dia tipikal lelaki yang sangat irit. Saat sekolah, dia tak membeli buku. Bermodal main ke balai desa, dia dapat buku nota gratis. Maklum, bapaknya Mimin adalah pesuruh di balai desa.
Nota-nota itu dia jadikan buku. Dia jadikan buku catatan. Teman yang lain bawa buku, dia bawa nota. Catatan Kartimin rapi.
Di zaman itu, sekolah tak pakai sepatu tak apa. Boleh telanjang kaki. Dengan kengiritan Mimin itulah kadang ada guru yang iba. Hingga membelikan buku pada Mimin.
Selesai sekolah, Mimin jalan kaki ke pasar. Ya kisaran 3 Km dari sekolah kami. Dia mampir ke warung, menawarkan jasa cuci piring.
Mimin sangat rajin. Sehingga yang mempekerjakannya pun senang. Bukan hanya rajin, Mimin pandai cerita. Sehingga orang makin senang.
Di kampungku, orang yang pandai cerita akan seperti gula, dikerubuti. Yang pendiam tentu saja akan dijauhi.
Setelah membantu mencuci piring, Mimin dapat makan gratis. Kadang dia pulang bawa uang. Uangnya tak dijajakan, tapi ditabung.
"Aku mau kuliah," kata Mimin kala itu.
Aktivitas irit yang Mimin lakukan sampai dia selesai SMA. Dia memang tak bayar sekolah karena dapat beasiswa. Beasiswa dari orang-orang kaya di kecamatan.
Mereka menilai Mimin adalah mutiara yang harus dibantu. Kemudian, Mimin bisa lolos kuliah negeri di kota. Kampus Mimin jaraknya ya sekitar 15 Km dari kampung kami.
Kebiasaan Mimin saat SD dia lanjutkan di kuliah. Jika dulu dia dapat buku nota dari balai desa, maka saat kuliah dia dapat buku nota dari Pak Jamari, penjual kelontong di desa sebelah.
Hampir setiap hari, Mimin main ke Pak Jamari. Ngobrol sama ngobrol sini. Bermodal itulah, Mimin kadang dapat makan gratis. Juga dapat nota.
Mimin berangkat kuliah jalan kaki. Dia hanya modal air putih setiap ke kampus. Pulang pun jalan kaki. Kadang Mimin nebeng sama temannya. Kadang bermodal jempol, dia numpang truk. Kalau sudah dapat tumpangan, bibir manis Mimin mulai bergelayut. Semua akan terpesona, walaupun setelahnya merasa tertipu hehe.
Intinya Mimin tak modal. Super irit.
Saat tes pegawai, dia nebeng bapakku. Naik sepeda motor ke kota. Diterimalah dia sebagai pegawai negara. Dan sangat kebetulan, Mimin ditempatkan di kecamatan kami. Jaraknya hanya 1 Km dari kampung kami.
Mimin pulang pergi jalan kaki. Dia hanya modal air putih. Jika siang hari dia kadang menemani pak camat atau pak sekretaris kecamatan. Ngobrol ke sana ke mari, lalu ditawari makan.
Jika ada pertemuan atau acara resmi di kecamatan, maka setelah acars, Mimin mencari kotak makanan. Dia sangat yakin masih ada makanan ringan yang tersisa. Kadang pernah dapat satu kantong plastik dan dia bawa pulang.
Bisa kamu bayangkan, berapa uang yang terkumpul dari Mimin yang super irit itu. Mimin anak tunggal dan hidup bersama orangtuanya.
Dengan uang yang dia kumpulkan, memperbaiki rumah adalah hal yang mudah saja.
Kau tahu kalau ada yang nongkrong di kampung? Mimin paling suka. Sebab itu kesempatannya makan gratis. Modal cerita sana-sini, tangannya rajin mengambil makanan.
Jika rumahnya jadi tuan rumah arisan bulanan, Mimin hanya menyediakan air putih. "Jangan banyak makan. Minum air putih menyehatkan," kata Mimin pada tetangga.
Soal sedekah, Mimin sangat antusias. Dia sangat sering sedekah. Sedekah berupa senyuman. Baginya sedekah uang adalah keberatan yang amat sangat.
Jika ada sumbangan acara Agustusan misalnya, dia tak pernah mau keluarkan uang. Dia memilih yang keliling dari rumah ke rumah. Dia yang meminta uang dari tetangga.
Kadang, dia sempatkan agak lama ngobrol di tetangga yang berada. Dia datang di waktu makan. Di situ kadang ditawari makan besar.
Mimin adalah lelaki berpaham iritisme.
Mungkin karena itulah dia selalu gagal menjalin hubungan dengan wanita. Mana ada yang mau dengan lelaki irit seperti Mimin?
Dia pernah naksir adikku. Tapi, aku menolaknya.
***
Otak Mimin yang berpikir irit itu ternyata jadi referensi anak muda kini. Anak muda di kampung kami. Banyak dari mereka yang sangat enggan mengeluarkan uang.
Banyak dari mereka yang sangat suka menabung, pekerja keras, dan modal dengkul kalau perlu.
Di tengah kesulitan ekonomi di kampung kami, Mimin adalah contoh nyata keberhasilan. Setidaknya dari sisi ekonomi.
Anak muda menjadi pekerja keras, irit, dan kadang lebih sering pelit.
Tapi tahukah kamu? Sudah sepekan ini Mimin sakit luar biasa. Katanya tulangnya rapuh karena terlalu dipaksa semasa muda. Dalam waktu sepekan, dia berniat menjual rumahnya untuk pengobatan dirinya. Sebab, di masa tuanya tak ada lagi yang bisa dia mintai uang. Repotlah semua.
Sejak saat itu pula, anak muda di kampung kami jadi hobi berderma. "Aku ngga mau seperti Pak Mimin," kata pemuda tanggung di kampungku yang bernama Imun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H