Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Timnas Argentina dan sepak bola Argentina

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berburu Bangku di Hari Pertama Sekolah

16 Juli 2024   09:01 Diperbarui: 16 Juli 2024   09:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang kelas. (kompas.com/asip hasani)

Fenomena berburu bangku di hari pertama sekolah ternyata masih ada. Fenomena yang juga saya alami lebih dari 30 tahun yang lalu. Fenomena itu bisa dihilangkan jika ada aturan yang ketat dan pengawasan yang memadai.

Berita pagi ini, ada fenomena berebut bangku di hari pertama sekolah. Hal itu terjadi di SDN 4 Kedokanagung, Kecamatan Kedokan Bunder, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Bahkan, orangtua sudah sejak Subuh untuk berburu bangku. Begitu pintu kelas dibuka, orangtua berburu bangku di depan.

Caranya dengan mengikat bangku dengan tas si anak denan rafia. Ada juga yang bahkan menggembok tas dengan bangku. Sehingga, bangku tersebut tidak bisa diduduki anak yang lain. Mereka, para orangtua mengusahakan agar sang anak mendapatkan tempat duduk paling depan.

Fenomena berburu bangku sudah ada sejak saya sekolah dahulu. Di tahun 90-an awal, fenomena berburu bangku sudah dirasakan. Bedanya, dulu orangtua tidak ikut cawe-cawe. Banyak anak berburu bangku dengan berangkat sepagi mungkin.

Hanya saja, di masa lalu, saya dan teman-teman berburu bangku untuk mendapatkan bangku belakang. Bukan bangku depan. Mengapa dulu berebut bangku bagian belakang? Ya karena guru lebih sering menyuruh atau menunjuk anak yang ada di depan. Jadi, itulah mengapa malas duduk di bagian depan.

Fenomena berburu bangku itu sebenarnya bisa dihilangkan. Setidaknya jika wali kelas membangun mekanisme baru. Hal itu pernah saya alami di satu sekolah dahulu. Jadi, setiap hari, posisi bangku yang diduduki selalu berubah.

Hari ini duduk di bangku terdepan, besok di bangku nomor dua dari depan. Lusa ke bangku nomor tiga dari depan dan seterusnya. Jika sudah di bagian belakang, esoknya pindah di bangku paling depan kolom sebelahnya. Seterusnya seperti itu. Ketika seperti itu, maka ada fenomena berubah bangku. Sebab semuanya pasti akan merasakan bangku di depan dan bangku di belakang.  

Tapi aturan seperti itu juga tak selalu menjamin kemulusan. Sebab, kadang ada saja anak yang paling jagoan di kelas enggan untuk bergeser. Dia hanya mau duduk di situ saja. Jika ada yang melapor ke guru kelas, maka ceritanya akan panjang.

Ada juga siswa yang memanfaatkan tangisan. Jadi, kalau giliran digeser malah nangis sesenggukan merasa dizalimi. Bahkan di masa aku sekolah, ada yang memanfaatkan tangisan dengan sangat luar biasa. Tangisannya melebihi telenovela, sangat menyayat dan menyedihkan. Orang yang melihatnya sangat iba.  Sampai akhirnya tujuan untuk tidak bergeser dia dapatkan. Yang lain bergeser rutin, dianya tidak bergeser dengan senjata tangisan. Kadang tertawa sendiri mengingatnya.

Cara Pandang

Bisa juga membangun cara pandang bahwa posisi bangku tidak penting. Mau di depan atau di belakang tak masalah asal anak rajin menjalankan tugasnya. Cara pandang posisi bangku tak penting juga harus diselaraskan dengan realitas.

Misalnya membangun realitas bahwa semua anak di manapun posisi bangkunya akan mendapatkan volume suara memadai dari sang guru. Bisa saja misalnya dengan menggunakan pengeras suara yang memadai. Bisa juga dengan tidak membangun kelas yang besar penghuninya.

Selain itu, bisa juga dengan membangun view yang memadai. Jadi, anak yang di belakang dan di depan bisa melihat dengan sama baiknya. Misalnya sang guru menulis dengan huruf yang lebih besar. Sehingga semua memiliki kans yang sama untuk membaca apa yang ada di papan tulis.

Jadi, cara pandang juga harus diselaraskan dengan realitas. Menyuarakan kesetaraan posisi bangku tapi membangun kelas besar tanpa fasilitas yang memadai ya sama saja bohong. Kelas besar tanpa fasilitas memadai hanya akan membuat yang di belakang tidak mendapatkan kesetaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun