Dahulu di masa tahun 80-an saat aku masih hidup di Kendal Jawa Tengah, dua hal yang sering aku lihat di pagi hari sebelum sekolah adalah mengaji di surau dan penjual getuk lindri keliling.
Setiap pukul 06.00 WIB, di surau kami ada pengajian. Orangtua mengaji kitab tulisan ulama masa lampau. Sang kiai membaca dan menjelaskan kitab tersebut, sementara orangtua yang mengikuti pengajian tersebut menyimak. Pengajian itu sampai kisaran pukul 07.30 WIB.
Di waktu-waktu itu, ada penjual getuk lindri keliling. Si penjul getuk lindri itu mendorong gerobaknya. Sebagai tanda bahwa sang penjual datang adalah dia selalu membunyikan lagu-lagu dangdut dari kaset masa lalu dengan pengeras suara. Tapi suaranya bukan suara yang sangat keras, suara yang biasa saja.
Jadi, kalau ada lagu dangdut pagi hari di jalanan, maka itu adalah lelaki penjual getuk lindri. Lagunya macam-macam. Ada Hamdan ATT, Mansyur S, atau Rhoma Irama. Nah, beberapa meter sebelum melintasi surau yang ada pengajian, si pedagang ini selalu bertanya.
"Pak Kiai ngaji apa tidak?"
Biasanya bertanya ke orang sekitar, bisa juga ke bocah seperti aku. Lalu seperti biasanya dijawab. "Iya ada pengajian," jawab kami.
Otomatis, pedagang getuk lindri itu mematikan lagu-lagu dangdutnya saat akan, sedang, dan setelah melintasi surau. Baru ketika sudah jauh dari surau, dia kembali membunyikan suara lagu-lagu dangdut itu.
Pemandangan seperti itu pemandangan otomatis yang sering kulihat saat pagi. Jadi, si penjual getuk lindri, sekalipun tidak ada yang meminta, dia otomatis mematikan lagu-lagu dangdutnya ketika akan, sedang, dan setelah melintas surau yang di dalamnya ada orangtua yang mengaji.
Aku, orang kampung, juga tak ada yang kenal siapa nama penjual getuk lindri itu. Ya hanya tahu bahwa dia penjual getuk lindri. Sepertinya dia memang perantau. Aku menyebut apa yang dia lakukan sebagai kearifan. Orang tanpa diminta sudah tahu apa yang harus dilakukan dalam konteks kehidupan bersama.
Setelah belasan tahun berlalu dan aku tak lagi hidup di sana, aku tentu tak pernah melihat momen kearifan tersebut. Satu ketika saat aku menengok kampung tahun 2000-an, aku tak lagi melihat si penjual getuk lindri. Â Tak tahu juga di mana rimbanya.