Saat ini hampir siapapun bisa memotret dirinya sendiri memakai telepon genggam. Tapi dulu, memotret diri sendiri adalah sebuah kemustahilan.
Di dekade 80-an, di kampungku masih ada orang yang bekerja sebagai pemotret keliling. Saat itu aku hidup di Kabupaten Kendal Jawa Tengah.
Si pemotret keliling ini mengayuh sepeda masuk keluar kampung. Dia menenteng kamera. Biasanya ada yang meminta jasanya untuk dipotret.
Tinggal hentikan saja bapaknya dan minta dipotret. Cekrek, cekrek, cekrek. Jangan bayangkan seperti saat ini. Saat ini kita sudah tahu gambaran foto dari kamera di foto. Jika fotonya kurang ok, maka bisa diulang.
Zaman dahulu kita tak tahu seperti apa fotonya. Hanya tukang foto yang tahu. Sebab, kamera dulu setahuku memang tak ada kamera untuk mendeteksi hasil foto.
Nah biasanya setelah foto, kita membayar ke bapak yang jual jasa itu. Jangan kira kita tahu hasilnya dalam hitungan jam. Kita baru tahu hasilnya beberapa hari. Mungkin malah sepekan saat pak tukang foto masuk kampung kami.
Sebab prosesnya memang rumit. Ada negatif film dan foto harus dicetak dulu. Negatif film itu dulu macam mereknya. Ada fuji, kodak, dan sebagainya. Eh, negatif film seperti itu masih adakah?
Jangan kira setiap foto akan berhasil. Ada kalanya si tukang foto kembali tanpa hasil. "Fotonya tidak jadi karena terbakar," jawabnya.
Kami hanya iya saja. Ya begitulah zaman dahulu. Untuk mengabadikan sesuatu dalam bentuk foto, repotnya bukan main.
Paling foto bisa gratis jika ada hajatan. Sebab, di situ disewa tukang foto. Nanti bocil bocil numpang difoto.