Pernyataan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan tentang pemberian kewarganegaraan ganda pada diaspora, saya pikir hanya wacana. Sebab, setahu saya UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan tidak mengenal kewarganegaraan ganda kecuali untuk anak sampai usia 18.
Pasal 6 ayat 1 UU Kewarganegaraan menyebutkan, dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Dari pasal itu menyebutkan anak yang memiliki kewarganegaraan ganda harus memilih satu warga negara saja selepas usia 18 tahun atau sudah menikah.
Lalu pasal 6 ayat 3 menyebutkan, pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
Jadi dengan aturan UU tersebut, tidak bisa serta merta pemerintah memberi kewarganegaraan ganda bagi diaspora dewasa. Sebab, tidak ada landasannya karena UU Kewarganegaraan tidak mengenal kewarganegaraan ganda kecuali anak sampai usia 18 tahuh.
Realisasi Butuh waktu
Dengan masa jabatan Menteri Luhut yang tinggal beberapa bulan, maka wacana itu akan sulit terealisasi di masa pemerintahan saat ini. Sebab, merealisasikan pemberiaan kewarganegaraan ganda harus dengan mengubah UU. Mengubah UU pun ada waktunya. Ada waktu untuk meminta pendapat masyarakat, ada proses politik di DPR, dan lainnya.
Diskusi
Jika memang pemberian kewarganegaraan ganda akan dilakukan tentunya dengan mengubah UU Kewarganegaraan terlebih dahulu. Kemudian dalam proses perubahan itu, hendaknya meminta pandangan banyak pihak yang kompeten.
Pihak yang mengetahui apa keuntungan dan kerugian pembukaan keran kewarganegaraan ganda. Dengan adanya diskursus, masyarakat awam akan tahu apa kelebihan dan kekurangan adanya kewarganegaraan ganda.